Namanya Dinda seorang muslimah yang ramah dan cantik parasnya, di usianya yang sudah mencapai 27 tahun
membuat orangtuanya selalu menyuruhnya untuk menikah. Bagi seorang Muslimah
yang taat ia yakin kalau jodohnya pasti ada dan Allah pasti sudah ciptakan pasangan
hidup untuknya. Sebagai seorang penulis novel sekaligus pekerja di salahsatu
penerbit majalah islam terkemuka di ibukota membuat hari-hari selalu sibuk.
Siang itu saat ia sedang asyik dengan komputernya meng-edit ulang novel
barunya. Seorang wanita paruh baya yang selalu menemaninya setiap saat masuk ke
dalam kamarnya.
"Din, anterin mama menjenguk teman lama mama yah di rumahnya. Sekarang
ia sedang sakit dan mama ingin berkunjung kerumahnya."
Awalnya aku ingin sekali menolak permintaan mama namun aku tega melihat
mama pergi sendirian, dan mama juga punya penyakit asma yang sering kali kambuh
setiap saat. Dengan alasan ingin berbakti kepadanya akhirnya aku mau
menemaninya.
Dari sanalah awal pertemuan aku dengannya, sosok yang aku anggap sebagai
malaikat, wajahnya yang bersih, tingkah lakunya yang sopan dan tutur katanya
yang menawan membuat aku tertawan begitu melihatnya. Yang belakangan aku tahu
namanya adalah Yusuf
Beberapa hari setelah aku bertemu dengan lelaki yang mampu menggetarkan
hatiku. Ibu mengabarkan kalau keluarga Bu yunita beserta suami dan anak
lelakinya akan datang untuk bersilaturahmi sekaligus membicarakan hal yang
sangat penting. Awalnya aku tidak tahu
tentang hal penting apa yang akan di bicarakan aku hanya menurut apa kata mama
agar nanti malam aku bisa menemaninya dan bersua dengan keluarga besar Yusuf.
Malam itu merupakan malam yang indah untukku, penantian ku yang panjang
kini ber akhir sudah aku telah di khitbah olehseorang ikhwan yang di mataku
sangat sempurna. Aku merasa cintaku padanya tidak bertepuk sebelah tangan. Aku
menyangka Yusuf juga memiliki perasaan yang sama denganku.
Namun kebahagianku hanya sesaat, kebahagianku hancur berkeping-keping
setelah aku membaca surat dari Yusuf yang aku sangka isinya adalah surat cinta
untukku.
Di surat itu jelas di katakan kalau
ia melakukan semua itu hanya karena orang tuanya. Ia tidak mau melihat ibunya
masuk rumah sakit untuk kesekian kalinya gara-gara penolakannya untuk menikah
dengan gadis pilihanya. Yang lebih lagi sakit aku rasakan ia bilang tidak
mencintaiku dan sangat sulit untuk mencintaiku karena ada nama lain yang kini
bersemayam dihatinya. Ia bilang akan sulit untuk mencintaiku karena aku buka
wanita yang ia cintai.
Singkat cerita acara pernikahanku berjalan dengan lancar, meskipun hatiku
berontak ingin rasanya aku berteriak agar semua orang tahu bahwa aku tidak
mengingankan pernikahan ini terjadi. Namun aku tak kuasa menyakiti dan
mengecewakan orang –orang yang aku sayangi. Ku lihat wajah itu sungguh kaku dan
tak ada senyuman pun tersungging dari bibirnya, ia berdiri di sebelahku namun
seakan-akan ia berada jauh dari jangkauanku.
Tibalah saat malam pertama pernikahanku, sebagian orang bilang malam
pertama adalah malam yang terindah yang tak bisa terlupaka namun berbeda
denganku, malam itu merupakan awal kesabaran dan cintaku di uji. Tidak ada
kata-kata sayang aku dapatkan yang ada hanya kebisuan, kesunyian dan kehampaan.
Meskipun ia sempat mencium kening dan mengucapkan doa yang seperti Rasulullah
ajarkan padaku dan itupun karena aku yang memintanya. Aku dan dia sempat
melakukan ibadah itu namun itu semua bukan karena dasar cinta tapi karena
sebuah keterpaksaan.
Malam itu berjalan amat lamban aku rasakan, aku sesaatpun tidak bisa
memejamkan mataku, aku muak, aku benci, aku sedih dengan semua kejadian ini. sebagai seorang istri aku mempunyai hak untuk
mendapatkan kasih sayang dari suamiku. Dan sebagai seorang suami ia mempunyai
kewajiban untuk membahagiakanku. Namun apa yang aku dapatkan sebaliknya suamiku
tidak bisa mencintaiku karena di hatinya hanya ada satu nama yaitu ”Alifa”
Alifa seorang akhwat berkerudung panjang nan cantik dan sopan. Seorang gadis
yang membuat suamiku tidak bisa mencintai wanita yang menjadi istrinya kini. Aku
tidak mengenalnya sebelumnya, aku melihatnya saat ia dan teman-temannya datang
di hari pernikahanku.
Tak terasa sudah lima bulan usia pernikahanku, namun aku belum bisa
merasakan menjadi istri yang sesungguhnya, sikap Yusuf kepadaku masih belum
berubah, ia begitu kaku dari sorot matanya tak ada sama sekali tanda-tanda
cinta untukku. Sudah menjadi kewajiban seorang istri untuk melayani suami,
meskipun suamiku belum bisa mencintaiku, namun aku selalu berusaha menjadi
istri yang berbakti padanya, aku menjalankan tugasku sebagai istri dengan tulus
mengharap ridha-Nya. Setiap pagi aku membuatkan sarapan untuknya, menyiapkan
baju kerjanya, dan mengantarkannya sampai kedepan pintu ketika ia hendak pergi
kerja. Aku ingin menjadi istri yang bisa mengantarkannya ke syurga-Nya.
Tak bisa ku pungkiri setiap hari rasa cintaku kepadanya semakin besar,
meskipun rasa cinta ini belum bisa terbalas namun aku tak peduli karena bagiku
ia adalah suamiku orang yang layak aku cintai. Dalam do’a di penghujung malam aku
selalu menyebut namanya berharap agar Allah selalu melindunginya di manapun dia
berada.
Undangan pernikahan Alifa dengan ikhwan bernama guntur ku berikan pada Mas
yusuf, dari raut wajahnya nampak kemurungan. Aku yakin Mas Yusuf merasa kecewa
meskipun ia tak mampu menunjukan perasaannya itu padaku.
Meskipun Alifa kini sudah menikah namun sikap Mas Yusuf tidak jauh berbeda,
ia masih sama seperti dulu. Hanya buku harian dan sajadah panjangku yang menjadi
saksi betapa tersiksa nya hatiku dan betapa
tulusnya cintaku untuknya.
Dua bulan setelah pernikahan Alifa, aku mendapat kabar dari temannya bahwa
Alifa masuk rumah sakit karena setiap hari kesehatannnya menurun, ia mengalami
tekanan bathin karena suami nya meninggal saat usia pernikahannya baru satu
minggu, ia tidak bisa menerima kenyataan yang ada sehingga membuatnya koma. Mendengar
kabar itu aku langsung menjenguknya di rumah sakit tempat ia di rawat. Keadaan
Alifa sungguh sangat memprihatinkan, dokter bilang semangat hidupnya hanya akan
kembali lagi jika ia mendapat kasih sayang dari sosok lelaki yang bernama
suami. Hanyakata- kata mesra dari suaminya lah yang mampu menghidupkan gelora
hidupnya kembali. Dan dokter menyarankan agar secepatnya mencarikan suami untuk
Alifa sebelum terlambat. Aku pun berinisiatif membantunya mencarikan seorang
suami untuknya. Ada tanda tanya besar di hatiku siapa dan dimana aku harus
mencarinya??
Tiba-tiba nama mas Yusuf terlintas di pikiranku, apakah aku harus
menikahkan suamiku sendiri dengan Alifa, apakah aku harus melakukan itu, apakah
aku mampu melihat laki-laki yang sangat aku cintai bersama wanita lain. Tapi aku
tidak bisa melihat Alifa menderita ia butuh seorang suami untuk menyelamatkan
hidupnya.
Pikiran itu terus menerus menghantui ku, keinginanku untuk menikahkan Mas
Yusuf dengan Alifa begitu besar. Aku belajar untuk berdamai dengan hatiku,
biarlah aku tidak bisa mendapatkan cintanya asal aku bisa membahagiakan orang
yang aku cintai. Salah satu cara adalah membiarkan Mas Yusuf menikah dengan
wanita yang di cintainya. Jika ini merupakan jalan untuk suamiku hidup bahagia
aku rela meskipun aku harus di madu.
Malam itu juga aku sampaikan niat hatiku pada suamiku, ia begitu kaget dengan
kabar tentang Alifa dan kekagetan itu semakin bertambah mendengar permintaanku
untuk menikahinya. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya ia
terdiam. Membisu seperti patung yang bernyawa.
Sehari setelah mendengar kabar itu malam harinya suamiku tidak pulang
kerumah, aku menjadi resah, HP nya aku hubungi tidak aktif, aku telpon
kantornya pun tak ada jawaban, tidak sampai di situ aku mencari kabar melalui
teman-temannya tapi tak seorang pun mengetahui keberadaannya. Aku tak bisa
menahan airmata ini, aku menangis aku merindukannya, aku sangat
mengkhawatirkannya.
Berita itu sontak mengagetkanku, suamiku kecelakaan dan kini di rawat
ditempat Alifa di rawat. Menurut seorang polisi yang menghubungiku suamiku
terpelanting sejauh 15 meter dari motornya. Dengan segera aku pergi kerumah
sakit tempat suamiku di rawat, airmata ini tak berhenti mengalir
mengkhawatirkan keadaannya. Di sebuah ruangan VIP suamiku dirawat dan ia tidak
sadarkan diri, anggaota badannya penuh dengan perban, meskipun menurut dokter
tak ada luka yang serius dan dalam beberapa hari ini akan sadarkan diri namun
melihat keadaannya aku tak tega. Aku tidak mau melihat suamiku menderita.
Suamiku sudah hampir dua hari dalam keadaan koma, ia belum juga sadarkan
diri aku bertambah cemas di buatnya, selama dua hari itu aku tak pernah
meninggalkannya, aku selalu di sampingnya, merawatnya dengan tulus, di saat
yang seperti itulah aku bisa memandangnya sepuasnya. Melihat wajahnya dan
menggenggam tangannya yang sebelumnya tak pernah aku lakukan. Wajah itu sungguh
bersih, sama seperti pertama kali aku melihatnya, mengenggam tangannya
membuatku merasa nyaman dan tenang. Dan untuk pertama kali aku menciumnya, ya
aku menciumnya dalam keadaan ia tak sadarkan diri. Namun rasa bersalah
tiba-tiba terlintas di pikiranku, aku merasa telah berbuat kurang ajar dengan
menciumnya, aku takut ia tidak meridhainya.
Aku memilih duduk dikursi menjauh darinya aku tak kuasa jika terus menerus
memandangnya. Tiba-tiba aku lihat tangan suamiku bergerak-gerak dan ia mulai
membuka matanya. Betapa bahagianya hatiku ketika yang keluar pertama kali dari
mulutnya adalah namaku. Ia memanggil namaku dengan suara yang sangat lirih,
mendengar suaraku di panggil aku langsung menghampirinya. Melihat suamiku
sadarkan diri aku bermaksud memanggil dokter untuk memeriksa keadaannya. Namun belum
jauh kaki ini melangkah tiba-tiba pandanganku kabur, badanku lemas dan aku
terjatuh tak sadarkan diri.
Selama dua hari aku tak sadarkan diri, aku berbaring lemas di rumah sakit,
aku terlalu capai dan kurang istirahat yang membuat kondisi badanku menurun. Begitu
terkejutnya diriku begitu aku sadarkan diri suamiku berada di sisiku ia sedang
mencium keningku dan memanggilku dengan pangilan sayang, panggilan yang tak
pernah aku dengar sebelumnya. Ia juga mengenggam tanganku begitu erat. Dan yang
membuatku terkejut ia menangis sambil menciumi tanganku. Sungguh aku tak tahu
apa yang terjadi dengannya. Mungkinkah ia sudah bisa menerimaku dan
mencintaiku. Apakah cinta ini sudah terbalas, berbagai pertanyaan bermain-main
di pikiranku. Dan sebuah perkataannya yang tak akan pernah aku lupa yang mampu
mebuat hatiku berbunga-bunga serta tak kuasa menahan haru.
”Dinda, istriku maafkan aku yang selama ini telah menyia-nyiakanmu, kini
aku sadar engkau adalah karunia yang terbesar yang Allah berikan untukku. Sayang
maafkan aku karena telah membuatmu selalu menangis di malam-malammu, maafkan
aku yang pernah membohongimu. Kini aku sadar aku telah melakukan kesalahan
besar. Dan terimakasih Dinda atas buah hati yang kini sedang bersemai di
rahimmu, buah hati cinta kita.”
Aku tak kuasa menahan airmata ini, aku bahagia, aku terharu aku tak bisa
menjelaskan kebahagian ini dengan kata-kata, aku hanya bisa menangis sambil aku
menggenggam erat tangan suamiku yang kini sudah memberikan cintanya padaku.
Tiba-tiba aku teringat dengan Alifa, aku tidak mungkin egois dengan
memikirkan diriku sendiri, aku sudah bertegad untuk menikahkan Alifa dengan Mas
Yusuf. Akhirnya aku memberanikan diri
bertanya tentang Alifa padanya dan meminta nya untuk menikahinya. Mendengar permintaanku
tiba-tiba suamiku meminta izin untuk keluar sebentar sebelum menjawabnya, aku
tak tahu apa yang suami aku lakukan di luar sana. Yang aku tahu ketika ia
datang kembali ia tak sendiri ia bersama Alifa yang duduk di kursi roda dengan
di dorong oleh seorang lelaki yang tak asing lagi dan ia adalah Randi sahabat
Mas Yusuf. Ternyata Alifa sudah menikah dengan Randi dua hari yang lalu. Dan kini
Alifa sudah menemukan semangat hidupnya kembali.
Kini kebahagianku lengkap sudah, aku menemukan cintaku, kesabaran ini
berbuah kemanisan, ketulusan cinta ini terbalas sudah. Ketika cinta harus
bersabar, di situlah ketulusan cinta di uji. Kesabaran pasti akan berbuah
keindahan karena Allah selalu bersama dengan orang-orang yang bersabar.
Ringkasan dari novel yang berjudul ketika cinta harus bersabar dengan gaya bahasa
yang telah di ubah sesuai gaya bahasa tulisanku.
Semoga bermanfaat.
Isi surat Yusuf untuk Dinda
Assalamu'alaikum Wr Wb.
Kepada yth : Adinda Altharina putri
Ditempat
Aku sengaja menulis surat ini dengan tulisan tanganku sendiri. Berharap kau bisa merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Aku tak tahu apalagi yang harus aku lakukan ketika orang tuaku memaksaku untuk menikah denganmy. Asal kau tahu saja, pinangan atas dirimu sebenarnya bukan aku yang menginginkan, melainkan orang tuaku.
Merekan bilang, sejak pertama kali Melihatmu, hati mereka langsung bergerak untuk menjadikanmu sebagai menantu. Lagi pula orangtuaku dan orang tuamu berteman sejak lama. Tapi maaf sekali lagi, aku tidak pernah berniat menikahimu.semua ini adalah rencana orangtuaku dan orangtuamu untuk menjodohkan kita.
Aku tahu hal ini adalah hal bodoh yang pernah aku lakukan sepanjang hidupku. Aku juga tahu bahwa jika semua ini benar-benar terjadi, maka banyak orang yang akan aku bohongi, aku akan menjadi seorang pecundang dan pengecut karena telah menyakiti perasaanmu.
Tapi aku juga tidak bisa berbuat lebih banyak lagi sebab melihat kondisi ibuku yang sudah lemah, aku takut bila aku menolak permintaannya, sakitnya akan semakin parah. Asal kau tahu saja, dua hari yang lalu ibu masuk rumah sakit karena aku menolak permintaannya.
Jadi aku mohon bantulah aku memainkan sandiwara ini di depan orangtua kita masing-masing. Aku tau segala sesuatunya itu akan di pertanggung jawabkan di hadapan Allah Ta'ala, tapi aku tak bisa berbuat banyak lagi untuk hal itu.
Aku merasa belajarku selama beberapa tahun tentang islam sia-sia saja karena akhirnya aku harus membohongi banyak orang atas kepura-puraanku mencintaimu. Maaf sekali lagi.
Pernikahan bukanlah hal yang main-main untuk di jalankan terlebih lagi bila tidak di landasi dengan rasa cinta. Sesungguhnya ada nama lain yang mengisi relung hatiku. Dan sepertinya, mulai saat ini aku harus menghapus nama itu dan berusaha menggantinya dengan namamu.
Jika memang tak ada cara lain lagi untuk kita mencegah kebohongan ini, maka sebagai langkah awalku dalam menjalankan kehidupan baruku nanti, aku ceritakan semuanya ini padamu. Jujur. Tidak ada yang di tambahkan atau di kurangkan. Aku tidak mau mengawali semua ini dengan kebohonganku pada dirimu. Maafkanlah aku yang tak mencintaimu.
Mungkin ketika membaca surat ini, matamu sudah di penuhi dengan airmata. Aku akan berusaha mengganti airmatamu itu dengan usahaku untuk dapat mencintaimu. Maaf, beribu-ribu maaf aku pinta kepadamu.
Tolonglah malam ini kau sholat tahajud dan minta kepada Allah agar memberikan yang terbaik untuk kita. Aku tak sanggup, bila selamanya harus menyakitimu dengan kepalsuan cintaku.
Dan tolong jangan ceritakan hal ini pada siapapun. Aku yakin kau mengerti seperti apa posisiku. Sekian dulu surat dariku, bila semua ini kurang berkenan di hatimu, mohon di bukakan pintu maafmu untukku,. Afwan.
Wassalamu'alaikum Wr Wb.
Dari seorang pengecut
Yusuf Abdullah Fattah