Kamis, 24 Januari 2013

Jilbab Biru Milik Sofia


Mentari belum belum terlihat di langit yang indah  ketika ku langkahkan kakiku keluar rumah, jalanan masih basah oleh siraman air hujan semalam, dedaunan di tepi jalan begitu segar kulihat di tambah embun yang bergelayutan di dahan-dahan menambah keindahan pemandangan pagi hari.

Ku lalui jalanan yang penuh dengan kerikil batu, sepatu lusuhku yang mungkin untuk sebagian orang sudah tidak layak pakai lagi  aku kenakan sebagai pelindung kakiku dari menginjak kerikil batu yang tajam.

"Kak sofia tunggu.." Teriak bocah kecil persis di belakangku.

Aku serta merta menghentikan langkahku dan memalingkan kepalaku kebelakang. Ku lihat tak jauh dari tempatku berdiri Mizan dengan tergopoh-gopoh lari menghampiriku.

"Ada apa Miz, kok sampai berlari-lari seperti itu..". Tanyaku melihat keadaan Mizan yang terengah-engah karena mengejarku

"Kakak harus kembali rumah, ibu semakin parah batuknya dan tadi dari mulut ibu keluar darah kak..Mizan takut, dan sekarang Ibu di temani bik marni karena ibu kini tak sadarkan diri. " Cerita bocah kecil itu sambil menangis sesenggukan.

Mendengar kabar itu. Kakiku langsung lemas, aliran darahku seakan berarti mengalir, jantungku berdetak begitu kencang. Aku hampir terjatuh jika tidak bersandar pada tiang di sebelahku berdiri. Ku usah wajahku menggunakan kedua tanganku, bermaksud untuk menenangkan diri, dan usahaku ternyata tidak sia-sia, aku mulai sedikit tenang. ku rengkuh bocah kecil yang ada di sampingku dengan begitu erat. Sebelum aku memutuskan untuk berbalik arah kembali ke rumah.

Mizan adalah adikku satu-satunya. Ia kini menjadi tanggungan hidupku. Semenjak ayahku meninggal dunia dan ibuku sakit-sakitan semua keperluan hidupnya menjadi tanggung jawabku. Lima tahun yang lalu ayah pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Pesawat yang ayah tumpangi raib entah kemana bahkan jasad ayah sampai kini pun tidak di temukan. Berbulan-bulan aku dan ibu selalu menunggu kabar tentang keberadaan ayah namun tetap sia-sia. Pencarian terus di lakukan namun tak seorang pun yang berhasil menemukan jejak pesawat tersebut.

Ayah ku anak orang berada. Orangtuanya tinggal di jakarta dan perusahaan di mana-mana. Pernikahan ayah dengan ibuku-lah yang membuat ia di usir dari keluarganya. Bahkan orangtuanya tidak mengakui sebagai anaknya lagi. Menurut cerita ibu, ayah tidak pernah pulang kerumah orang tuanya semenjak pindah ke kampung ini.

Ibuku memang hanya seorang gadis kampung, bahkan ia pun bukan orang yang berpendidikan, namun karena akhlak dan tingkahlakunya yang sopan membuat ayahku jatuh cinta padanya. Ayahku saat itu sedang menjadi relawan korban banjir di kampung ini. dari situlah awal pertemuan ayah dan ibu hingga berlanjut ke pelaminan.

*********

Dari jauh nampak sebuah rumah mungil yang sudah kelihatan tua, itulah tempat dimana aku, ibu dan adikku tinggal. Jantungku semakin  berdetak tidak beraturan ketika ku lihat banyak orang di rumahku, dari jauh ku lihat Mang Suryo suami dari Bik Marni mondar-mandir di depan rumah. Perasaan tidak enak mulai menyeruak di hatiku. Pikiranku mulai berpikir yang tidak-tidak. Ku percepat langkahku sambil ku gandeng adikku yang sedari tadi hanya diam membisu.

Ku singkap kain yang menutupi kepala ibu, tak ada suara, tak ada senyum yang menghiasi bibirnya. Ibuku kini terbujur kaku. Ibuku sudah pulang ke haribaan-Nya. Belum sempat lisan ini berucap maaf padanya. Belum sempat diri ini membahagiakannya, namun kini ibu telah pergi untuk selama-lamanya. Tak kuasa aku menahan air mata ini. Berulang kali ku menghapus airmata yang menetes di pipi. Adikku masih mendekap ibuku begitu erat ia memanggil namanya sambil menangis tersedu-sedu. Melihat keadaannya airmata semakin deras mengalir. Namun aku tak mau ikut-ikutan lemah sepertinya. Aku harus bisa menjadi penguatnya. Kuraih adikku dan kupeluk ia begitu erat. Airmatanya kini membasahi bahuku, ku belai kepalanya memberi ketenangan padanya, "Dik jangan menangis lagi yah masih ada kak yang tetap akan menjaga adik sampai kapan pun. " Bisikku lirih di telinganya.

Bik Marni yang yang sedari tadi hanya diam, ia kini angkat bicara.

 "Nak sudahlah relakan ibumu pergi, biarkan dia tenang di sana. Ia sudah terlalu lama menderita karena penyakitnya. " Ucapnya sambil memegang bahuku dengan tangannya.

"Bik..terimakasih atas semua bantuan dan kebaikan Bik Marni. Kami tidak tahu bagaimana cara membalasnya. Kami sangat berhutang budi pada Bik Marni dan Mang Surya. " Ucapku

"Nak..tidak perlu berterimakasih. Kalian adalah keluarga ku juga. Sudah menjadi tanggung jawab Bik Marni untuk membantu. "

"Sof..sekarang sepertinya sudah waktunya ibumu di makamkan. Cuaca begitu medung. Takutnya nanti hujan dan bisa menghalangi pemakaman ibumu. " Lanjutnya lagi

Aku hanya mengangguk tanda menyetujuinya. Ku pandangi ibuku yang kini terbujur kaku terbungkus selembar kain kafan, matanya terpejam, ku mendekat padanya ku cium dahinya untuk terakhir kalinya sambil ku berbisik lirih, Bu selamat jalan..maafkan sofia yang belum bisa membahagiankanmu. Sofia janji akan jadi kakak yang baik untu Mizan. Air mataku kembali menetes namun secepat mungkin ku menghapusnya karena aku tak mau air mataku jatuh di jenazah ibuku.


***

Malam kian larut, suara celoteh anak manusia tak lagi terdengar,  hujan yang sedari tadi sore turun belum lagi berhenti di selingi suara guntur dan kilat yang menyambar. Suasana yang sepi begitu aku rasakan, sekilas ku pandangi wajah adikku yang sedang tertidur pulas di sebelahku. Tak tau kenapa bening-bening kristal kembali menetes. Aku sedih..amat sedih.. Dulu aku merasa kehilangan ayah dan sekarang aku harus kehilangan ibu. ku beranjak dari tempat tidurku dan berjalan menuju kamar tidurnya
Sebuah ranjang lusuh di sudut kamar tempat dimana ibu menghabiskan harinya.  Ku pandangi setiap sudut kamar dengan begitu teliti. Sudut kamar yang mengingatkan ku akan seseorang yang begitu berjasa dalam hidupku. Namun seseorang kini telah pergi dan tak akan pernah kembali. Kepergiannya membuat luka di hati dan meninggalkan kenangan yang tak akan pernah bisa di lupakan oleh hati.
Ku buka lemari baju tempat ibu menyimpan baju-baju dan barang berharganya.  Ku buka laci kecil yang ada di dalamnya. Mataku tertuju pada sebuah buku kecil berwarna hitam , ku jambil buku itu ku pandangi sesaat sebelum memutuskan untuk membuka lembar per lembarnya. Di sampul depan ter pampang foto pernikahan ibu dan ayah, sudah kelihatan lusuh memang namun melihat foto itu membuat bibir ini tersenyum.

Saat ku buka bagian tengah buku itu hatiku berdetak lebih kencang, mata ku terbelalak melihatnya, sebuah tulisan yang ibu tulis khusus untukku. Dengan tangan yang bergetar aku membacanya :
Untuk anakku sofia
Saat tulisan ini engkau baca mungkin ibu sudah pergi jauh, saat tulisan engkau temukan mungkin engkau tidak akan pernah bertemu dengan ibu lagi.  Nak, maafkan ibumu yang belum bisa membuatmu bahagia, penyakit ibu yang tak kunjung sembuh membuat ibu sering meropotkanmu. Sebenarnya ibu tak tega melihat keadaanmu, di usiamu yang masih belia kamu harus menanggung beban seberat ini, kamu bekerja siang dan malam untuk menghidupi ibu dan adikku. Satu yang membuat hati bui miris dan sedih melihatnya, engkau korban kan hijabmu hanya untuk menafkahi ibu. Kau korbankan hijabmu untuk pekerjaanmu. Dalam hati ibu amat tidak rela kamu melakukan itu. Ibu merasa menjadi penyebab hal itu terjadi.
Nak..maafkan ibumu yang hanya bisa menjadi beban dalam hidupmu, nak kalau ibu boleh pinta kenakan hijabmu kembali, ibu masih simpan rapi hijab birumu di lemari baju, kenakan lah kembali, tanggalkan gaya tomboymu, kenakan baju muslimahmu dulu seperti saat engkau masih duduk di bangku sekolah, penuhilah impian ayah ibumu. Hijabmu akan menjadi pelindungmu.
Nak..ibu titip Mizan, jaga adikmu ajari ia ilmu agama agar kelak ia bisa menjadi mujahid kebanggaan agamanya. Pergilah kekota nak..carilah keluarga ayahmu. Ayahmu mempunyai seorang adik yang baik hatinya namanya tante Salma, ia pernah menawarkan ibu untuk tinggal bersamanya namun ibu menolak karena saat itu ibu masih bisa menghidupi kamu dan adikmu.
Tinggal kan pekerjaanmu, carilah pekerjaan yang lain bisa menerimamu dengan hijabmu, taati ajaran agamamu. Hanya itu permintaan terakhir ibu.
Semoga kelak kita bisa di persatukan di syurga-Nya
Peluk cinta dari ibu untukmu dan Mizan

Berulang kali aku baca tulisan itu, berulang kali juga airmata ini menetes. Aku tersadar betapa selama ini aku telah melupakan-Nya. Melupakan Sang Pemberi hidup aku tak lagi mengerjakan perintah-Nya, larangan-Nya sering aku kerjakan. Bahkan hanya karena pekerjaan aku rela melepas hijabku yang sedari kecil aku pertahankan. Ku pandangi wajahku di depan cermin ku lihat diriku yang sungguh berbeda dari yang dulu, rambut yang ku potong pendek, kaos ketat dan celana jeans yang aku kenakan. Aku hampir tak mengenal diriku sendiri. Seperti ini kah diriku?? seperti inikah harus ku jalani hidupku?? Begitu jauh dari syariat agama?? Saat itu juga aku tersadar.. saat itu juga aku tersungkur sujud dihadapan-Nya.  Airmata ini tak berhenti mengalir menyesali perubahan diri, menyesali tentang dosa-dosa diri.  Ya Allah ampuni segala dosa-dosaku. Bisikku dalam hati. Ibu terimakasih engkau telah mengingatkan kembali akan jilbab biru pemberian ayah. Jilbab yang dulu pernah menjadi kebanggaan di hatiku.