Sabtu, 12 Mei 2012

Cinta dan pengorbanan (Cerpen)

Senja kini mulai nampak di ufuk barat, matahari kini mulai kembali keperaduannya, awan di langit nampak indah berwarna keemasan, burung-burung yang terbangan kini mulai pulang ke sarangnya, begitu juga dengan kehidupan anak manusia yang bergegas meninggalkan aktivitas hariannya, untuk bergegas menemui anak dan keluarganya.

Di teras depan rumah aku duduk sendiri memandangi keindahan langit di senja hari, awan-awan yang berbentuk seperti istana menambah pesona keindahan langit. aroma wangi dari bunga-bunga bermekaran membuatku semakin betah duduk berlama-lama di teras ini. sesaat aku teringat akan semua lika-liku kehidupan yang akan aku hadapi setelah ini.

Besok adalah hari bersejarah dalam hidupku, hari di mana aku akan di nikahi oleh seorang laki-laki yang aku pilih menjadi pendamping hidupku, tapi menjelang hari bersejarah itu tak ada hal-hal yang special yang biasa di lakukan oleh kebanyakan orang pada umumnya, tak ada janur kuning, tak ada pesta ataupun semisalnya serta tak ada penyambutan ataupun persiapan.

Pernikahanku tidak di setujui oleh kelurga ibuku, keluargaku menentang keras pernikahan ini hanya di karenakan calon yang aku pilih menjadi pendamping hidupku bukan kriteria mereka,.Hanya karena laki-laki yang aku cintai dari Besok adalah hari bersejarah untukku, hari di mana aku akan di nikahi oleh laki-laki pilihan hatiku, ya.. kalangan orang biasa, mereka sampai sebegitu besar marahnya padaku. Masih terngiang-ngiang di kepalaku perkataan Ibu yang begitu kasar saat aku mengatakan kepadanya tentang rencanaku ini, namun dengan nada yang begitu menghina ibu tidak memberikan restu padaku dan tidak juga menyetujui rencanaku.

“Sampai kapan pun Ibu tak akan pernah merestui pernikahanmu, ibu tak kan pernah sudi menerima dia menjadi menantu ibu, dia tidak pantas menjadi bagian keluarga kita, kehidupan kita sangat jauh di banding kehidupannya, apa yang bisa di andalkan darinya. Hanya seorang penjual bakso yang buat makan sendiri aja dia belum bisa apalagi nanti jika sudah punya anak istri, mau di kasih makan apa anak istrinya?? Mau di taruh di mana kehormatan keluarga kita jika kamu sampai menikah dengannya? Pokoknya sampai kapanpun ibu tak akan pernah merestui pernikahanmu dengan nya.”

Betapa sedihnya aku saat itu, aku tak menyangka akan mendapat respon yang seperti itudari ibu. hanya karena masalah harta ibu tidak merestui pernikahanku. apakah hanya harta yang menjadi tolak ukur kebahagiaan dan kehormatan, apakah hanya kekayaan yang menjadikan seseorang mulia dan terpandang, sebegitu dangkalkah pemikiran ibuku?? Apakah salah jika aku menikah dengan orang yang baik akhlak dan budi pekertinya meskipun dia tak kaya harta. Bukankah Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada ummat-nya untuk mencari pendamping hidup dengan menjadikan agama-nya sebagai tolak ukur yang utama, bukan harta ataupun kekayaan. .

Tabiat keras ibuku-lah yang menjadikan alasan ayah menceraikan ibu, Semenjak usiaku lima tahun ibuku sudah berpisah dari ayah, ibuku lebih memilih menjadi single parent dari pada hidup dengan seorang lelaki yang hanya bekerja sebagai negeri sipil yang mempunyai pendapatan tidak seberapa, menurut cerita ayahku,ibuku yang biasa hidup mewah tidak tahan dengan kehidupan yang serba pas-pasan. Ibu lebih memilih pulang ke rumah orangtuanya dan menjalani hidupnya dengan bergelimangan harta. Dulu Ibu dan ayah menikah karena cinta namun karena ke-egoan ibu yang besar rumah tangganya hancur di tengah jalan. Mungkin itu juga salah satu penyebab ibuku tidak merestui pernikahan ku. Ibuku takut kalau aku hidup sengsara. Tapi aku bukan Ibu, aku bukan seorang yang gila harta ataupun jabatan, aku sadar kalau aku biasa hidup berkecukupan namun apakah aku salah jika aku mematuhi ajaran nabiku.

……………………………………..

Meskipun mendapat pertentangan keras dari keluarga ibu aku masih tetap keukeuh dengan rencanaku. Aku meminta ayahku untuk menjadi wali dalam pernikahanku dan beliau menyetujuinya bahkan acara walimahan pun aku adakan di rumah ayah, begitu sangat sederhana acara pernikahanku. Aku bahagia meskipun tak ada kehadiran keluarga ataupun saudara karena aku amat yakin dengan pilihanku. Aku yakin aku bisa bahagia dengannya meskipun pada akhirnya nanti kami akan hidup didalam gubug yang sederhana.

Enam bulan pernikahanku aku di kejutkan oleh kabar gembira, aku di nyatakan hamil, aku begitu bahagia begitu juga dengan suamiku, perhatiaannya dan kasih sayangnya semakin bertambah, Dia begitu sempurna di mataku, dia pekerja keras, telaten, dan satu yang membuatku semakin bangga dengannya dia tidak pernah mengeluh ataupun mengaduh. Hasil jerih payahnya selalu dia berikan padaku meskipun jika di bandingkan dengan gajian bulananku saat itu tidak ada apa-apanya,namun aku bahagia dengan nya. Kata-katanya yang begitu halus mampu menentramkan hati ku. Sifatnya yang begitu lembut mampu meluluhkan hatiku.

“Ummi…apakah umi bahagia hidup dengan Abi, hanya ini yang bisa Abi berikan untuk Umi, tak ada rumah mewah ataupun harta yang melimpah. Dan beginilah kehidupan Abi sangat jauh dari kehidupan umi yang dulu. Abi harap umi tidak akan pernah menyesal dengan memilih abi sebagai suami umi.” Ucapnya dengan nada yang begitu lembut.

“Bi.., umi bahagia bersuamikan Abi, dari pertama kali Umi bertemu Abi, Umi sudah amat terpesona dengan kehidupan Abi, dan sampai saat inipun Umi semakin terpesona dengan Abi, Umi semakin sayang dan cinta sama Abi. Umi beruntung mendapatkan Abi. Mungkin para bidadaripun cemburu melihat betapa besar cinta umi untuk Abi dan perlu Abi tau Umi tidak akan pernah menyesal menikah dengan Abi . Biarlah kita hidup kekurangan harta yang terpenting kita selalu ingat dan bersyukur kepada Sang pencipta.” Jawabku

“Wah..istriku sudah pintar ternyata.” Pujinya sambil mencubit pipi tembamku

“Ini hasil dari didikan Abi..Hee..” ucapku sambil tersenyum manis padanya.

“Abi, ajari Umi menjadi istri yang sholehah, istri yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya menjadi tujuan hidupnya, istri yang tau berterimakasih dan balas budi pada suami, Ajari umi agar umi bisa menjadi istri yang baik untuk Abi. Istri yang bisa membuat bangga suaminya, istri yang menjaga diri dan menjaga harta suami, ingatkan umi jika umi lalai, tegur umi jika umi mulai kurang ajar pada Abi. Umi ingin menjadi pendamping hidup Abi selama-lamanya bukan hanya di dunia ini sampai di akhirat nanti.”

Mendengar perkataan ku yang begitu tulus dia memelukku erat, ada kehangatan yang aku rasakan, ada ketenangan bathin yang tak bisa aku utarakan. Ketenangan dan ketentraman aku dapatkan darinya. Dialah orang yang kini menjadi suamiku. Akan ku jaga dirinya akan ku layani dia bak seorang raja. Karena surga dan nerakaku ada pada dirinya.

Kehidupan kami begitu bahagia, penuh dengan canda dan tawa meskipun tak bergelimangan harta. Dari situlah aku semakin yakin kalau harta bukanlah penyebab orang hidup bahagia. Kebahagiaan kami semakin bertambah begitu anak pertama kami lahir. Bayi mungil kini menjadi pelipur hati kami serasa sempurna sudah kehidupan kami.

*******_____*****

Tiga tahun pernikahan kami, aku dan suamiku serta anakku menjenguk ibuku yang sedang sakit di rumah sakit, dua minggu yang lalu aku mendapat kabar dari adikku kalau ibu sakit parah dan ingin bertemu denganku. Ini pertama kali aku bertemu dengan ibuku semenjak aku menikah, bukan aku tidak mau bertandang kerumah ibu. Berulang kali aku mencoba kerumah ibu namun adikku selalu mengatakan kalau ibu tidak mau bertemu denganku. Semenjak itulah aku lost contact dengannya.

Ibuku divonis penyakit kanker stadium akhir, menurut dokter umurnya tidak akan lama lagi. Penyakitnya sudah terlambat untuk di obati. Dan sudah satu minggu ini penyakitnya kian marah sehingga dia hanya bisa berbaring di rumah sakit.

“Mir…Ibu minta maaf karena selama ini terlalu kasar sama Mirna, Ibu egois dan ibu hanya mementingkan kepentingan ibu semata, ibu menilai sesuatu dari sisi duniawi saja. Ibu sadar ibu salah sudah lama ibu ingin minta maaf pada Mirna namun Ego ibu terlalu tinggi..ego ini lah yang selalu menghalangi ibu untuk meminta maaf ke Mirna, saat ini yang ibu butuhkan dari Mirna adalah kata maaf..Mirna maukan maafkan Ibu..” ucap Ibu begitu lirih sampai aku pun sulit untuk memahaminya.

Saat itu aku langsung memeluk ibuku airmataku tak terasa mengalir di dada ibuku, sudah lama aku merindukan pelukan itu, pelukan yang sering aku dapatkan ketika aku masih kecil dulu, hatiku kecilku begitu rindu dengan ibuku. Bagaimana pun juga orang yang berbaring tidak berdaya ini adalah ibuku ..Ya..Dialah orang yang paling berjasa dalam hidupku, sebesar apapun rasa tidak sukanya terhadap pernikahanku pasti di hati kecil nya rasa cinta dan sayangnya padaku tak pernah berkurang, sebesar apapun egonya aku yakin rasa kasihnya mampu mengalahkan ego nya itu.

“Ibu, maafkan Mirna juga yang pernah menyakiti ibu, Mirna yang sering melukai hati Ibu, Mirna yang sering menentang Ibu, Mirna yang suka membuat ibu marah. Maafkan mirna ibu.”

Berulang-ulang aku ucapkan kata maaf kepada ibuku, berulang-ulang kali juga kuciumi pipi ibuku. Saat itu juga aku merasakan hembusan nafas terakhir ibuku..Ya..Ibuku sudah pergi, kini ibuku sudah pergi kea lam yang lain. Allah telah mengambil miliknya. Allah telah mengangkat semua rasa sakitnya. Kuhapus airmata yang mengalir dipipiku, kucium pipi ibuku untuk yang terakhir kalinya dan aku ucapkan selamat tinggal padanya. Karena sesungguhnya semua milik Allah dan semua pasti akan kembali pada-Nya.

Hujan rintik-rintik mengeiringi pemakaman ibuku. Banyak kenangan yang di tinggalkannya, kenangan yang tidak mungkin untuk aku melupakannya. Namun aku bahagia di akhir hayatnya aku bisa meminta maaf padanya, aku bisa memeluknya aku bisa merasakan desah nafasnya yang terakhir. Aku bahagia karena tak ada lagi permusuhan antara anak dan ibu. Kini aku harus melanjutkan hidupku kembali bersama suami dan anakku. Meniti hidup yang panjang dan penuh liku. Perjalanan masih panjang. Pengorbanan masih tetap harus di lanjutkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar