Jumat, 25 Mei 2012

AYAH UNTUK AISYAH (Cerpen)

"Bunda, kenapa menangis?" Ucap Aisyah dengan lirih sambil mengusap airmata yang menetes di ujung pipiku.

Kelembutan tangannya yang menyentuh pipiku membuatku semakin terharu, ucapannya yang manja, gerakannya yang lincah menambah kecinta-anku padanya kian membuncah. Tak terasa kini Aisyah seudah berumur 5 tahun, waktu berjalan begitu cepat, tak terasa sudah lima tahun aku hidup tanpa seorang suami, hari-hari aku lalui dengan buah hatiku.buah dari hasil cintaku pada suamiku.

Hari ini merupakan hari lahirnya namun tak seperti kebiasaan anak-anak lain seumurnya yang selalu merayakan hari lahirnya setiap tahunnya. Tapi tidak dengan Aisyah, ia hampir tidak pernah merasakan bagaimana rasanya berulang tahun. Karena aku tidak pernah merayakan hari lahirnya.


Suatu hari sepulang kerja,di dalam keadaan ku yang penat dan letih karena sehari-an aku bekerja membanting tulang mencari nafkah untuk menghidupi anak si mata wayangku, ketika aku sandarkan kepalaku di sebuah kursi yang nampak lusuh Aisyah menghampiriku dengan gayanya yang riang, senyumnya yang membuat kepenatan yang aku rasakan hilang seketika,

" Bunda capek yah.. Aisyah pijat Bunda yah biar capeknya hilang.."

Seketika aku langsung memeluknya, wanita mana yang tidak bahagia jika melihat buah hatinya tumbuh menjadi anak yang cerdas,dan penurut meskipun Aisyah tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Namun ia tidak pernah kelihatan bersedih, hari-harinya selalu dalam keceriaan.

***

Suamiku meninggal semenjak Aisyah masih dalam kandungan, ketika itu kandunganku masih berumur enam bulan.

"Apakah ini dengan Ibu Rasti." Tanya seorang wanita dari ujung telepon

"Ya betul saya sendiri.."

"Maaf Ibu, suami Anda kecelakaan dan saat ini sedang di rawat di ICU harap kedatangannya secepatnya. Ia dalam keadaan parah dan kemunginan besar tidak bisa tertolong lagi."

Detak jantungku berdenyut begitu kencang, aliran darahku seakan-akan berhenti mengalir, tubuhku lemas lunglai tidak berdaya mendengar berita yang sontak mengejutkanku, kakiku tak kuasa untuk melangkah hanya airmata yang terus menerus mengalir tiada henti. Di sebuah kontrakan mungil ku menangis seorang diri. tak seorang pun yang bisa di ajak berbagi. Sungguh kejadian ini di luar dugaanku. Aku tidak menyangka kebahagianku dengan suamiku hanya sesaat. Kebahagian yang baru kukecap seketika kini harus pergi berlalu dari hidupku.

***###***

Aku meniti hari demi hari seorang diri, semenjak kematian suamiku aku memilih untuk bertahan hidup di kota metropolitan ini,bukan aku tidak mau menikah lagi, berulang kali ibuku mencoba mengenalkanku dengan seorang laki-laki, namun entah mengapa aku seakan-akan lebih nyaman dengan kesendirianku, sebagai seorang wanita yang hidup sendiri tanpa suami apalagi aku mempunyai kewajiban untuk menghidupi Aisyah berbagai pekerjaan rela aku geluti hanya untuk menyambung hidup, dari karyawan toko sampai tukang cuci aku tekuni, dengan gaji yang tak seberapa itulah aku berhasil menyambung hidup hingga kini. Meskipun masih ada sedikit uang peninggalan suamiku yang bisa aku manfaatkan untuk pendidikan anakku kelak. Sebagai single parent aku mempunyai tugas yang cukup berat.di satu sisi Sebagai seorang ibu aku harus merawat dan membesarkan anakku seorang diri.
Dan disisi lain sebagai wanita pekerja aku harus mengikuti segala peraturan yang ada di tempat kerjaku. Sedapat mungkin aku bagi waktuku untuk Aisyah anak kesayanganku. Buah hati dari cinta pertamaku, peninggalan suamiku yang amat berharga bak intan berlian dan permata.


Sebagai seorang ibu aku sangat bahagia melihat Aisyah tumbuh menjadi anak yang penurut ia sangat mandiri, di usianya yang masih balita ia begitu kelihatan dewasa di banding anak-anak yang seusianya, tak pernah terdengar ia merengek-rengek minta mainan ini dan itu. Ia lebih suka belajar mengaji di rumah Ustadz Farid yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari kontrakanku.

"Bunda, kata Ustadz Farid kalau mau jadi anak yang pinter harus patuh sama orang tua ya Bun..?" Tanyanya kepadaku saat aku membuatkan susu untuknya.

Saat itu juga airmataku mengalir, tak tau kenapa akhir-akhir ini aku sering terharu melihat tingkah laku dan kata-kata anakku. Aku mudah menangis di buatnya. Airmata ini mungkin airmata kebahagiaan, airmata seorang ibu yang menyayangi dan mencintai buah hatinya.

"Bun, Aisyah pengen punya ayah seperti Ustadz Farid yang pinter ngaji jadi nanti bisa mengajari Aisyah baca al-Qur'an. Aisyah kan pengen bisa hafal al-Qur'an, Aisyah pengen masuk surga agar bisa bertemu dengan Ayah. Bunda kan pernah bilang kalau Ayah Aisyah sekarang ada di surga, dan untuk bisa kesurga kata Bunda Aisyah harus hafal al-Qur'an. Aisyah pengen bisa hafal al-Qur'an agar bisa melihat wajah ayah."


Mendengar kata-kata yang terucap dari mulutnya airmata ini kembali jatuh, kudekati anakku, kupeluk ia begitu erat aku cium pipinya yang tembam,aku tak menyangka anakku akan berkata seperti itu perkataan yang mampu membuat hati seorang ibu luluh. Lalu ku bisikkan kata-kata yang lembut padanya

"Nak, bunda bangga pada Aisyah, Bunda yakin kalau Aisyah bisa menghafal al-Qur'an, belajar yang rajin ya nak sama Ustadz Farid, biar cepet hafal al-Qur'annya."


"Oya Bun..tadi Ustadz Farid tanya ke Aisyah, katanya kalau Ustadz Fardi jadi ayahnya Aisyah kira-kira Aisyah setuju tidak?"

"Terus Aisyah jawab apa?" Tanyaku kepadanya

"Aisyah kan pengen punya ayah jadi Aisyah jawab setuju Bun.."

Benarkah anakku merindukkan figur seorang ayah, selama ini aku tidak pernah memikirkan akan hal itu, aku pikir dengan kasih sayang yang aku berikan kepadanya itu sudah lebih dari cukup. Tapi ternyata tidak, ia merindukan belaian seorang ayah.tapi bagaimana caranya agar ia bisa mendapat kasih sayang seorang ayah, apakah aku harus menikah lagi? Apakah benar apa yang di katakan Aisyah kalau Ustadz Farid ingin menjadi ayahnya? Berbagai pertanyaan kini bermain-main di otakku pertanyaan yang entah apa jawabannya aku pun tak tau.


***###***

Cuaca sore ini begitu mendung, langit tak seindah biasanya, awan mendung kini menaungi kota jakarta, langit yang biasanya berwarna biru kini berganti warna menjadi hitam pekat. Ku percepat langkah kakiku menuju rumah Ustadz Farid, seketika aku lihat jam di tanganku, sudah pukul 16.30 aku terlambat setengah jam pasti kini Aisyah sedang menungguku, bisikku dalam hati. Bukan hari ini saja aku terlambat menjemputnya sudah terlalu sering bahkan hampir setiap hari, pekerjaanku yang menumpuk membuatku selalu terlambat untuk menjemputnya, untung Ustadz Farid begitu baik, saking baiknya terkadang timbul perasaan tidak enak di dalam hatiku.

Ustadz Farid adalah kawan sepengajian suamiku dulu, di usianya yang sudah cukup dewasa ia belum memiliki istri. Sifatnya yang baik, tingkah lakunya yang sopan dan pembawaanyab yang menarik membuat ia banyak di sukai anak-anak termasuk Aisyah, bahkan Aisyah selalu mengidolakan Ustadz Farid di hadapanku.

Dari kejauhan aku lihat Aisyah sedang duduk bersama Ustadz Farid di teras rumah, dari raut mukanya aku lihat keceriaan dan kebahagiaan. Kasihan Aisyah mungkin ia begitu merindukan seorang ayah, pantes kalau ia mengagumi Ustadz Farid, karena dari dia-lah Aisyah menemukan sosok seorang Ayah.gerutu ku dalam hati sambil ku berjalan mendekatinya.

"Assalamu'alaikum Ustadz..maaf saya telat lagi menjemput Aisyah..jadi merepotkan Ustadz"
ucapku dengan nada merasa bersalah.

"Tidak apa-apa bundanya Aisyah, saya bahagia bisa bermain-main dengan Aisyah apalagi ia anak yang manis dan lucu." Jawabnya dengan senyuman yang mengambang.

"Terimakasih Pak Ustadz dan maaf sudah merepotkan, kami pamit dulu ya. Assalamu'alaikum"

Kaki ini baru mau melangkah keluar teras rumah tiba-tiba dari belakang suara ustadz Faridz memanggilku.

"Tunggu Bundanya Aisyah, ada sesuatu yang pengen aku kasihkan ke Rasti. Aku harap Rasti mau membacanya. Jika nanti sudah membacanya, ambillah keputusan. Saya tidak pernah memaksa, apapun keputusan Rasti akan saya terima dengan lapang dada." Ucapnya sambil menyodorkan sebuah amplop putih kepadaku.


***###***

Masih ku pandangi surat itu, hati ini masih enggan untuk membukanya, rasa ragu selalu menyelimuti hatiku, entah rasanya hati ini belum bisa menerima cinta dari laki-laki lain, apa mungkin karena terlalu lama hidup sendiri jadi merasa tidak butuh pendamping hidup lagi, entahlah yang pasti aku masih trauma akan kecelakaan yang menewaskan suamiku dulu.

Malam kian merayap, Aisyah sudah terlelap dalam tidurnya, seketika ku pandangi wajah gadis kecilku ada kedamaian, ia begitu tenang dalam tidurnya. Sesaat aku ambil amplop putih yang bergeletak di samping ku. Aku paksakan diri untuk membuka dan membacanya.

"Assalamu'alaikum Bundanya Aisyah.."

Maaf jika saya lancang menulis surat ini, dan saya minta maaf jika saya terlalu kurang ajar. Sungguh saya tidak bermaksud seperti itu. Sudah terlalu banyak saya mendengar cerita Rasti dari Aisyah Ya..Aisyah gadis cantik dan pintar, entah kenapa aku begitu menyayanginya seperti anak saya sendiri. Suatu hari ia bertanya kepadaku dan pertanyaannya membuat hatiku luluh seketika,

Kata-kata itu masih tersimpan jelas di dalam memori ingatanku. Seperti ini pertanyaannya,

"Ustadz kan punya ayah pasti Ustadz bahagia tidak seperti Aisyah yang tidak punya Ayah, bahkan wajah ayah aja Aisyah belum pernah lihat,terkadang Aisyah iri melihat teman-teman Aisyah di gendong sama ayahnya, Aisyah ingin seperti mereka, di cium dan di peluk sama ayah, tapi keinginan Aisyah hanya sekedar mimpi karena kata bunda Ayah Aisyah sekerang sudah ada di surga.jika Aisyah boleh minta Aisyah pengen punya ayah yang sebaik dan sepintar Ustadz, kalau Ustadz jadi ayah Aisyah mau tidak?"

Pertanyaan itulah yang sampai kini masih tersimpan rapi dalam memori saya, permintaan yang tulus dari seorang anak kecil yang merindukan seorang ayah, dari situlah terbesit di dalam hatiku untuk membuat mimpinya menjadi kenyataan. Aku ingin rasa iri kepada teman-temannya terobati dengan kehadiran seorang ayah dalam hidupnya.

Sekali lagi niat ini tulus lahir dari dalam hati. Saya ingin menikahi Rasti dan menjadi ayah dari Aisyah. Namun saya tidak memaksa, Rasti berhak menolak jika emang Rasti tidak menginginkannya. Namun pikirkanlah terlebih dahulu yang terlalu gegabah dalam mengambil keputusan, sholat istikharah-lah minta pertolongan dari Allah.. Kapanpun jawaban dari Rasti akan selalu saya tunggu

Mohon maaf atas kelancangan dan kekurang ajaran saya

Wassalamu'alaikum

Farid Hassan


***

Berulang kali ku usap airmataku yang menetes di kedua pipiku, betapa aku sadar selama ini aku egois aku tidak pernah memikirkan perasaan anakku, aku selalu berpikir kalau ia bisa hidup bahagia tanpa seorang ayah namun pada kenyataannya tidak seperti itu dalam hati kecilnya ia hampa, ia rindu belaian dan kasih sayang seorang ayah, kini aku sadar akan ke-egoisan diriku, berkali-kali kupandangi wajah Aisyah yang sedang terlelap dalam tidurnya, ku hampiri dirinya dan kuciumi pipinya, beribu maaf ku ucapkan padanya. Ku lipat kembali surat yang aku baca, kini tak ada alasan untuk aku menolak niat baiknya. Sekarang yang lebih aku utamakan kebaikan aku akan menerima tawarannya, aku akan menikah dengannya, ya aku akan menikah dengan seseorang yang aku rasa pantas untuk menjadi ayah dari Aisyah.

"T A M A T"

1 komentar: