Minggu, 20 November 2011

Patutkah manusia sombong?



 "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang ber akal, (yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) , "Ya Tuhan kami, Tidaklah Engkau menciptakan semuai ini sia-sia; Maha suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka."(QS.Ali-Imran 190-191)


Pernahkan kita merasa besar dan sombong?. Seringkah kita merasa lebih hebat dari pada yang lain. Padahal kita hanya setitik debu dibandingkan dengan dunia ini. Dunia ini pun setitik debu jika dibandingkan dengan tata surya.

1.Perbandingan Bumi dengan planet terdekat. Bumi (Earth), Venus, Mars dan Mercury 

Dalam skala ini, Planet Bumi(earth) terlihat lebih besar dari planet terdekat

2. Perbandingan seluruh planet dalam tata surya. Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, Bumi (Earth), Venus, Mars, Mercury dan Pluto

 Dalam skala ini, Bumi terlihat planet terbesar kelima dari tata surya

3. Perbandingan planet-planet dengan Matahari (Sun).

Dalam skala ini, Planet bumi (Earth)  terlihat hanya seperti titik kecil dari Matahari (the sun)

4. Perbandingan Matahari dengan bintang-bintang yang lain. Matahari (Sun), Sirius, Pollux dan Arcturus.

 Dalam skala ini, Bumi sudah tak terlihat. Matahari (Sun), Sirius, Pollux dan Arcturus.

5. Perbandingan Bintang-bintang yang lebih besar. 


 Dalam skala ini Mataharipun sudah hampir tak terlihat. Matahari (Sun), Sirius, Pollux, Arcturus, Rigel, Aldebaran, Betelgeuse dan Antares.



Bila kita perhatikan jagad raya ini:

Bila matahari di bandingkan dengan antares matahari hanya sebesar debu didekat bola basket besar

Pantaskah pengatur alam raya adalah matahari atau salah satu seorang di antara kita?

Bila matahari sebesar sartu pixel di samping bola basket besar, bagaimana bumi dan bagaimana penghuninya?

Pantaskah Pencipta dan pengatur alam raya ini salah satu penghuni bumi yang bumi hanyalah planet kecil di antara planet-planet lain yang amat besar??

Ciptaan-Nya sangat besar, Maka bagaimana dengan Pencipta-Nya


            ALLAHU AKBAR....!!!!!


"Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. janganlah bersujud kepada matahari jangan (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya."(QS Fussilat : 37)

Sabtu, 08 Oktober 2011

Nantikan Aku di Istana Syurgamu

Oleh: Bila Hati Rindu Menikah




"Nantikan Aku Di Istana Surgamu"
(Abu Lathifa)

Larik-larik benang perak mulai teruntai dari langit. Seiring gemuruh langit yang memaksaku menghentikan laju sepeda motorku. Padahal belum lama aku meluncur dari perusahaan textile di kawasan industri Batujajar. Tepat di bawah jembatan tol Cilame, Padalarang aku berteduh. Hitung-hitung melepas lelah setelah seharian bekerja, pikirku. Tak hanya aku, belasan bahkan mungkin puluhan motor berteduh di bawah jembatan itu. Sebaian kecil memilih melanjutkan perjalanannya setelah mereka mengenakan jas hujannya. Sedangkan aku memilih untuk menunggu hingga reda.

Hampir satu jam hujan tak kunjung reda. Separuh dari mereka yang berteduh sudah meninggalkan tempatnya semula. Sementara aku masih menunggu. Hingga ponselku bernyanyi, “Assalaamu’alaikum… Ya akhii, Ya ukhtii…”, sebuah panggilan masuk dari Mamah.
“Assalaamu’alaikum, Mah…” sambutku.
“Wa’alaikumsalaam…kamu lagi di mana, Adnan? Kenapa belum pulang?” tanyanya resah.
“Iya Mah, masih di Cilame…hujannya belum reda.”
“Tuh kan…tadi pagi udah Mamah ingetin ‘bawa jas hujan’, bandel sih kamunya…”
“Iya Mamaaah, maafin Adnan…”
“Iya… Mamah cuma khawatir, takutnya ada apa-apa sama kamu…”
“InsyaAllah semua baik-baik aja, Mah…” jawabku menenangkan beliau.
“Ya sudah…pulangnya hati-hati ya…asalaamu’alaikum.”
“InsyaAllah…wa’alikumsalaam.” jawabku mentup percakapan.

Kekhawatiran seorang Ibu, yang terkadang membuatku merasa risih. Tapi kenapa harus risih? Memang begitulah naluri seorang Ibu. Apalagi karena besok adalah hari bersejarahku. Ya…besok adalah hari yang aku rindukan. Karena besok aku akan menggenapkan separuh agamaku. Maka wajar saja bila Mamah semakin khawatir.

Namun satu hal yang masih kusangsikan. Bahwa aku akan menikahi seorang perempuan yang tidak aku cintai. Kulitnya memang putih, tetapi wajahnya biasa saja (untuk tidak mengatakan jelek, maaf!), juga tidak begitu tinggi. Sejujurnya, tak ada sedikit pun rasa mahabbah di hati. Tak pernah ku lalui satu malam pun tanpa istikharah pada Allah. Bahkan hingga malam terakhir sebelum aku menikahinya, aku tetap istikharah. Tetapi semakin aku beristikharah dengan segenap kesungguhanku, kecenderungan itu semakin mantap kepadanya. Hingga kuyakinkan bahwa dirinya adalah pilihan Allah.

Namanya Nurul Azkiyya, gadis kelahiran Palembang yang besar di Bandung. Ia besar di tengah keluarga yang cukup sederhana, bersama seorang Ibu dan dua adik lelakinya. Karena sudah 8 tahun lebih mereka ditinggal wafat Bapaknya. Azkiyya seorang mahasisiwi semester lima di Fakultas Tarbiyah UNISBA (Universitas Islam Bandung). Kepeduliannya terhadap pendidikan agama Islam begitu besar. Untuk tambahan biaya kuliahnya, ia kerap mengajar di berbagai lembaga pendidikan. Mulai dari TAAM (Taman Asuh Anak Muslim), TKA (Taman Kanak-kanak Al Quran), TPA (Taman Pendidikan Al Quran), dan TQA (Ta’limul Qur’an lil Aulad). Kesibukannya cukup menguras waktu dan tenaganya. Hingga tak jarang ia jatuh sakit karena kelelahan.

***

Pagi itu mentari cukup hangat menyapa embun. Sehangat bathinku yang sudah siap mengucap akad. Tepat jam 07.30 WIB, kami sekeluarga sudah tiba di halaman masjid Raudhatul ‘Irfan daerah Cipaganti. Kaum hawa di arahkan ke pintu belakang masjid, sementara kaum adam masuk lewat pintu depan. Ruang utama masjid disekat dengan tabir hijau setinggi dada. Kaum adam berada di sebelah utara, sedangkan kaum hawa berada di selatan ruang utama. Di sana sudah hadir kerabat dari Azkiyya dan beberapa orang petugas dari KUA. Setelah semua menempati tempatnya, rangkaian acara penyambutan hinga serah terima pun dilaksanakan.

Anehnya, menjelang akad, tak sedikit pun rasa gugup menyapaku seperti cerita sahabat-sahabatku yang sudah menikah. Hingga aku duduk di hadapan meja akad nikah. Di sekitar meja sudah ada dua orang petugas KUA, dua orang saksi, dan Zakky adik kandung Azkiyya yang bertindak sebagai wali. Sedangkan Azkiyya belum dihadirkan sesuai kesepakatan hingga akad nikah ditunaikan.

Khutbah nikah telah disampaikan. Pemeriksaan keakuratan data pengantin sudah dilakukan. Semua rukun nikah pun sudah disiapkan. Kini tanganku menjabat tangan Zakky. Sejak itulah rasa gugup mulai menjalar menyusuri tanganku. Suara Zakky mulai kudengar dengan jelas saat mengucapkan ijab,
“Saya nikahkan anda Muhammad Adnan bin Rasyid Musthofa dengan kakak kandung saya Nurul Azkiyya binti Zainul ‘Arifin, dengan mahar 20 keping uang dirham dan 11 gram perhiasan emas, dibayar tunai…”

Tatkala Zakky mungucapkan kalimat sakral itu, pikiranku mulai tak focus. Serasa ada ribuan batu angin menghujani wajahku, menyumpali mulutku. Seakan-akan menghalangiku untuk mengucap kalimat qabul. Ini upaya syetan, tepisku. Bagaimana tidak? Hanya dengan satu kalimat saja, yang semula haram akan menjadi halal. Yang semula dosa akan menjadi pahala. Seraya memohon perlindungan kepada Allah dari tipu daya syetan yang terkutuk, akhirnya Allah memampukan aku mengucap,
“Saya terima nikahnya Nurul Azkiyya binti Zainul ‘Arifin, dengan mahar 20 keping uang dirham dan 11 gram perhiasan emas, dibayar tunai…”

“Bagaimana para saksi, Sah?”, “Sah…!”, “Sah…!”
“Alhamdulillah…” suara serempak mereka yang menyaksikan.

“Barokallohu laka wa baaroka ‘alaika wa jamaa’a bainakuma fii khoir”
“Semoga Allah memberkahimu dan menetapkan berkah atasmu, serta mengumpulkan engkau berdua dalam kebaikan.” (HR Ahmad)

Serangkaian do’a-do’a pun dilantunkan. Seketika itu pula air mataku bercucuran. Berharap agar kami diterima sebagai ummat Nabi SAW, seperti yang pernah beliau sabdakan,
“Nikah itu sunnahku. Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia termasuk golongan (ummat) ku.” (HR Ibnu Majah)

Usai berdo’a, Azkiyya pun dihadirkan. Ia keluar dari balik tabir, dari arah selatan. Tak henti kupandangi kedatangannya, yang kusambut dengan berdiri dan mengulurkan tangan. Ia pun segera meraih kedua tanganku hingga kami bergenggaman. Terang saja kejadian itu mengundang senyum dan tawa bahagia yang tidak kami pedulikan. Kulihat semburat senyum di wajahnya yang bermake-up sederhana. Selaksa embun pun menghias di pelupuk matanya. Yang perlahan terjatuh menyusuri pipinya.

Setelah ucapan-ucapan selamat dan do’a kami terima, rangkaian acara akad pun ditutup. Dari masjid kami semua berjalan menuju kediaman Azkiyya yang tak jauh dari sana. Dengan resepsi seadanya, kami hanya mengundang kerabat keluarga dan para tetangga. Tak lupa pula sahabat-sahabat dekat. Dan hari itu menjadi hari bersejarah dan melelahkan bagi kami.

***

Senja telah berganti malam. Malam ini malam zafaf (malam pengantin) bagi kami. Usai berjama’ah ‘Isya di masjid, aku bergegas pulang. Memasuki kamar Azkiyya yang sudah bertabur aroma wewangian. Di dalam kamar Azkiyya sudah menggelar dua sajadah. Satu digelar di depan dan satu lagi sedang ia duduki di belakang. Akupun melihat segelas air susu yang diletakkan di atas meja dekat tempat tidur. Sementara di bawah dekat tempat tidur ada bejana kecil berisi air. Nampaknya Azkiyya sudah faham. Segelas air susu untuk kami minum bersama, seperti ‘Aisyah RHa yang menyiapkannya untuk Rasulullah SAW. Lalu air di bejana, untuk membangunkan salah satu di antara kami yang belum bangun di sepertiga malam nanti. Sebagaimana Beliau SAW sabdakan:
"Allah merahmati suami yang bangun di malam hari dan menunaikan shalat. Kemudian ia membangunkan istrinya, dan jika ia enggan maka dipercikkan air ke mukanya. Allah juga merahmati seorang wanita yang bangun di malam hari untuk menunaikan shalat. Dia bangunkan suaminya dan apabila suaminya enggan maka dipercikkan air ke wajahnya." (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban, An Nasa'i dan Ibnu Majah)

“Asslaamu’alaik Yaa Baabar Rohmah…” ucapku sambil memasuki kamarnya.
“`Alayya wa `alaika salaam…” sambutnya seraya bangkit dari simpuhnya.

Tak lama kemudian kami bersalaman. Lembut bibirnya mengecup punggung tangan kananku. Betapa bahagianya aku. Begitupun Azkiyya yang wajahnya sudah merona saat menatapku. Sebelum kukecup keningnya, kuletakkan telapak tangan kananku pada ubun-ubunnya seraya berdo’a,
“Allahumma innii as`aluka min khairiha wa khairi maa jabaltaha. Wa a’udzubika min syarriha wa syarri maa jabaltaha.”
Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan wataknya . Dan aku mohon perlindungan –Mu dari kejahatannya dan kejahatan wataknya. (Hadits Imam Bukhari,Ibnu Majah, Abu Dawud dan Ibnu Sinni)
Perlahan lisan Azkiyya pun meng-aamiin-kan dengan membaca,
“Barakallahu likulli waahidin minna fi shaahibihi.”
Semoga Allah memberkahi masing masing di antara kita terhadap teman hidupnya. (Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkaar)

“Sajadahnya udah Kiyya siapin, Bang…”
“Kok masih manggil Abang? Kita kan udah halal…” cumbuku seraya mencubit pipi ‘chubby’nya.
“Oh…iya…” jawabnya sambil merunduk tersipu, menyembunyikan wajahnya yang memerah.
“Sajadahnya sudah siap, Abi…sholat sekarang yuk?” ujarnya dengan wajah masih tersipu.
“InsyaAllah, syukron Ummi…” sahutku sambil mendaratkan kecupan di keningnya. Membuat putih wajahnya menjadi semakin merah merona.

Kami menunaikan shalat sunnat dua raka’at, seperti atsar shahabat yang disarankan kepada Abu Sa’id Maulana Usaid RA. Ia mengatakan : “Aku menikah, sedangkan aku seorang budak. Maka aku mengundang segolongan sahabat Nabi SAW. Di antara mereka ada Ibnu Mas’ud RA, Abu Dzar RA dan Hudzaifah RA. Dan mereka kemudian mengajariku dengan berkata, ”Jika engkau mendatangi istrimu, maka shalatlah dua rakaat, kemudia mintalah kepada Allah terhadap apa yang masuk kepadamu dan berlindunglah dari kejelekannya, kemudian keadaanmu dan istrimu.”

Usai sholat, kulafadzkan do’a ,
“Allahumma baarik lii fii ahlii, wa baarik lahum fiyya.
Allahumma ijma’ bainana kamaa jama’ta fii khair, wa farriq bainana idza farraqta ilaa khair.”
Ya Allah , barakahilah bagiku dalam keluargaku, dan berilah barakah mereka kepadaku.
Ya Allah kumpulkan diantara kami apa yang engkau kumpuljan dengan kebaikan dan pisahkan antara kami jika engkau mememisahkan menuju kebaikan (Hadits Abdullah bin Mas’ud)
Dengan suara lembut dan perlahan Azkiyya meng-aamiin-kan. Setelah serangkaian do’a-do’a kami lantunkan, tiba-tiba Azkiyya menyandarkan tubuhnya merangkulku dari belakang.

“Abi…Ummi lelah, Bi…lelah sekali.” dengan suara lemahnya.
“Ya udah Ummi istirahat aja…Abi mau witir dulu ya.” ujarku.
Namun Azkiyya tak beranjak dari rangkulannya di punggungku. Tampaknya ia tertidur. Memang hari yang melelahkan setelah seharian melaksanakan resepsi meski sederhana. Namun kodisi tubuh Azkiyya yang mudah lelah memaksa ia menyerah pada pertahanan tubuhnya. Maka kurangkul ia dan memangkunya, menuju pembaringan. Usai kubaringkan tubuh lemahnya, di awal malam zafaf itu aku tunaikan 3 raka’at witir, khawatir nanti tidak sempat bangun di sepertiga malam terakhir. Seperti Shahabat Abu Bakar RA, yang dikisahkan oleh Abu Qatadah,
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Bakar, " Kapankah kamu melaksanakan witir?" Abu Bakr menjawab, “Saya melakukan witir di permulaan malam”. Dan beliau bertanya kepada Umar, "Kapankah kamu melaksanakan witir?" Umar menjawab, “Saya melakukan witir pada akhir malam”. Kemudian beliau berkata kepada Abu Bakar, "Orang ini melakukan dengan penuh hati-hati." Dan kepada Umar beliau mengatakan, “Sedangkan orang ini begitu kuat." (HR. Abu Daud)

Memang Rasulullah SAW biasa mengakhirkan witir, namun terkadang beliau melaksanakannya di awal malam. Sebagaimana yang diungkapkan Ummul Mu’minin ‘Aisyah RHa,
“Kadang-kadang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan witir di awal malam, pertengahannya dan akhir malam. Sedangkan kebiasaan akhir beliau adalah beliau mengakhirkan witir hingga tiba waktu sahur.” (HR. Muslim)

Usai sholat witir aku memperhatikan istriku yang sedang terbaring lemah. Azkiyya nampak lelap sekali dengan tubuh yang masih terbalut mukena. Perlahan kutanggalkan mukena yang masih dipakainya. Aroma melati pun lembut tercium dari tubuhnya. Rupanya istriku cantik sekali malam ini. Perlahan kubelai rambut panjangnya. Seakan tak percaya bahwa kini ia sudah menjadi milikku. Seekor nyamuk pun takkan kubiarkan menyentuh putih kulitnya, maka kutarik selimut untuk melindunginya.

Setelah memadamkan lampu aku berbaring di sebelah kirinya dengan posisi sunnah, miring ke sisi kanan di mana Azkiyya tengah terlelap. Tak lupa kulafadzkan do’a,
“Allahumma aslamtu nafsii ilaiKa, wa fawadhtu amrii ilaiKa, wal ja`tu zhohrii ilaiKa, rohbatan wa roghbatan ilaiKa, laa mal jaa`a wa laa manjaa minKa illaa ilaiKa, aamantu bi kitaabiKalladzii anzalta wa bin nabiyyiKalladzi arsalta
Ya Allah, kuserahkan diriku kepada-Mu, kuserahkan urusanku kepada-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dalam keadaan harap dan cemas, karena tidak ada tempat berlindung dan tempat yang aman dari adzab-Mu kecuali dengan berlindung kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan aku beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus.
Dengan membaca do’a ini, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu meninggal (pada malam itu) maka kamu mati dalam keadaan fitrah (suci).” (HR Bukhari)

***

Hari ketiga dari tujuh hari pertama berumah tangga, aku tinggal bersama keluarga Azkiyya. Kuhabiskan hari cutiku bersama mereka. Keluarga yang harmonis nan cukup sederhana. Saling membantu dan pengertian adalah kebiasaan mereka. Tak jarang mereka pun saling bercanda. Kedua adik Azkiyya kerap menggoda Kakak perempuan satu-satunya. Karena sudah ada aku di samping Azkiyya. Suasana hangat itu membuatku tak kaku tinggal bersama mereka. Sesekali aku pun sering berbincang dengan Ibu dan kedua adiknya. Seperti menemukan keluarga yang sudah lama tak jumpa.

Suatu pagi selepas dhuha bersama, di ruang keluarga kupetik gitar milik Zainal, adik bungsunya. Mengungkapkan perasaanku pada Azkiya melalui sebuah lirik lagu yang disukainya.

“Kau bagaikan angin di bawah sayapku
Sendiri aku tak bisa seimbang
Apa jadinya bila kau tak di sisi

Meskipun aku di surga mungkin aku tak bahagia
Bahagiaku tak sempurna bila itu tanpamu
Aku ingin kau menjadi bidadariku di sana
Tempat terakhir melabuhkan hidup di keabadian”
(Tempat Terakhir - Padi)

Azkiyya pun tersenyum-senyum. Seiring senyum yang semakin melebar, ia berkata,
“Subhanallah, suaranya bagus Bi…”
“Ada tapinya enggak?” tanyaku seraya menggoda.
“Tapi lebih bagus lagi kalau Abi gak usah nyanyi…” lanjutnya seraya berlari kecil menuju ruang depan.

Tak kubiarkan, aku pun mengejarnya ke ruang depan. Kami berlarian seperti anak-anak yang sedang bermain ‘petak umpet’. Dari ruang depan Azkiyya berhasil menghindari kejaranku menuju kamarnya. Aku pun masih mengejarnya sampai ke kamar. Di kamar aku berhasil menangkapnya, lalu menggelitik badan dan pinggangnya. Ia tertawa-tawa tak kuasa menahan serangan jari-jariku di seputar badannya. Saat kulihat tawanya, Azkiyya semakin cantik saja.

Azkiyya hanya pasrah dalam belenggu pelukanku. Lalu kami terdiam dan saling menatap. Tatapan yang penuh cinta nan suci. Mengundang tatapan Allah pada kami dengan tatapan penuh rahmat-Nya.
Jemari tangan kami bergenggaman penuh mesra. Mengundang Allah mencurahkan maghfirah atas kami. Ketika itu malaikat-malaikat bertasbih, karena menyaksikan guguran dosa yang berserakan dari tubuh kami.

Perlahan, kudekatkan bibirku pada bibirnya. Hingga kedua bibir kami berpagutan penuh cinta nan mesra. Namun Azkiyya terperanjat dalam pelukan dan segera menarik bibirnya. Dengan mata yang tampak kaget ia berrtanya,
“Abi masih punya wudhu enggak, Bi?”
“Masih, Ummi sayang…kenapa?”
“Syukurlah, Ummi cuma takut aja. Jangan sampai syetan menyentuh Ummi mendahului Abi, hanya gara-gara Abi belum berwudhu.”
“MasyaAllah…makasih Ummi, udah ngingetin. InsyaAllah Abi masih punya wudhu.”
“Sekalian aja yuk Bi…” sahutnya sambil menarik tubuhku ke arah tempat tidur dengan bibir yang masih bertautan.
Aku mengerti apa yang diinginkannya. Sebelum semua kemesraan itu berlanjut, segera ku lafadzkan do’a
“Allahumma Jannibnasy Syaithon wa Jannibisy Syaithon Maa Rozaqtanaa.”
Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari kami terhadap apa yang Engkau rizqikan kepada kami.”
Sebab Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya seorang dari kalian ingin mendatangi istrinya, hendaklah dia berdoa (seperti do’a di atas). Sesungguhnya jika dikehendaki diantara mereka berdua seorang anak saat itu maka setan tidaklah dapat mencelakakannya selamanya.” (Muttafaq Alaihi)
Dan pagi itu, kami habiskan dengan becumbu mesra. Berpeluh rindu dalam surga dunia. Berbuah rahmat, maghfirah dan surga yang dijanjikan-Nya.
"Masuklah kamu berserta istrimu ke dalam surga untuk digembirakan." (QS. Az Zukhruf: 70)

***

Masa cutiku telah selesai. Aku harus kembali bekerja. Bergelut kembali dalam Laboratorium obat pewarna. Kali ini bukan lagi menafkahi diri sendiri, tetapi ada seorang istri yang wajib aku nafkahi. Hari itu aku bekerja shift dua (14.00-22.00 WIB). Ba’da ‘Isya sekitar jam 20.00 WIB telpon kantor menyala, ada suara Zakky di seberang sana.

“Assalaamu’alaikum, Kak Adnan…bisa pulang sekarang Kak?”
“Wa’alaikumsalaam, ada apa Zak?”
“Kak Kiyya sakit lagi Kak…”
“Inalillah… sudah ditangani dokter? Coba hubungi Dr. Bobby…”
Dr Bobby adalah seorang mualaf yang pernah kuajar mengaji.
“Belum Kak, masih dikamar ditemani Ibu…tunggu Kak Adnan aja kata Ibu”
“Iya..iya…Kak Adnan pulang sekarang ya. Syukron, Zak…”

Setelah menutup perbincangan dan telponnya. Aku segera meminta izin pulang lebih awal. Dengan rasa penuh cemas kutancap gas motorku tak seperti biasanya. Pikiranku hanya tertuju pada Azkiyya. Sepenjang perjalanan Batujajar-Bandung lisanku tak henti berdo’a,
“Allahumma Robbannaasi adzhibil ba’sa isyfii, Anta Syafii`, laa syifaa`an illaa syifaa`uKa, syifaa`an laa yughoodhiru saqoman.”
Ya Allah Tuhan sekalian manusia hilangkanlah penyakit dan sembuhkanlah, Engkaulah Maha Penyembuh, tak ada yang menyembuhkan selain kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tiada sakit lagi. (HR. Bukhari Muslim)

Sebelum menuju rumah, aku mampir ke Klinik Kita untuk menjemput Dr. Bobby. Tak lama kami pun tiba di rumah. Nafas Azkiyya tampak berat. Tubunya pun sedikit membengkak. Kami segera menghampiri, lalu aku berdiri di samping kanannya. Dengan bantuan Ibu, Dr. Bobby memeriksa Azkiyya sangat hati-hati, tanpa menyentuh kulitnya. Menurut Ibu, Azkiyya terlalu lelah mengajar dari pagi hingga sore.
“Mungkin sakit asmanya kambuh….” ujar Ibu.
“Sudah berapa lama Kiyya sakit begini, Bu…” sela Dr. Bobby.
“Sudah hampir setahun ini, Dok..” jawab Ibu.

Dr. Bobby termenung sesaat. Dia menatapku dalam-dalam. Seakan-akan matanya mengatakan sesuatu yang tidak kami harapkan.
“Saya mohon maaf…untuk saat ini saya belum bisa menangani Azkiyya...” ujar Dr. Bobby
“Maksud Dokter…?” sahutku cemas.
“Saya butuh hasil pemeriksaan dari Rumah Sakit, dan sebaiknya kita periksakan Azkiyya ke sana…”

Tanpa berpikir lagi kami menyetujui saran Dr. Bobby. Dr. Bobby segera menelpon sopirnya untuk membawa mobilnya ke rumah kami. Sebuah Avanza pun tiba, aku bergegas menggendong Azkiyya yang sudah tak sadarkan diri ke dalam mobil. Sementara Ibu menyusul dari belakang setelah menyiapkan segala sesuatunya. Kami berlima menuju Rumah Sakit Hasan Sadikin. Zakky dan Zainal tinggal di rumah.

Setibanya di RSHS, Dr. Bobby mengurus semuanya. Aku menggendong Azkiyya yang masih tak sadarkan diri menuju pelataran rumah sakit. Azkiyya pun segera ditangani beberapa perawat menuju ruang ICU. Sementara aku bersama Ibu menunggu dengan penuh khawatir cemas. Tak henti-hentinya bathinku memohon segala kebaikan untuknya. Setelah pemeriksaan selama 15 menit, Dr. Bobby muncul di hadapan kami.
“Istri saya sakit apa, Dokter…” tanyaku cemas.
“Dr. Syarif ingin bicara dengan kalian, mari ikut saya…!”

Di ruangan itu, Dr. Syarif sudah menunggu. Setelah memperkenalkan diri kami masing-masing, Dr. Syarif menerangkan,
“Menurut keterangan dari Dr. Bobby, Azkiyya sudah lama mengalami gejala seperti ini, betul Bu?”
“Betul, Dokter…udah hampir setahun.” sahut Ibu.
“Setiap sakit seperti ini, apakah tubuhnya selalu membengkak?” lanjut Dr. Syarif.
“Betul, Dok…memangnya Azkiyya sakit apa, Dok…?” ujar Ibu menimpali.
“Gejala apa yang dialami istri saya, Dokter?” tanyaku semakin cemas.

Dr. Syarif perlahan menatap ke arah Dr. Bobby, yang hanya menganggukkan kepala. Hey….ada apa ini? ungkapku dalam bathin. Setelah melepas kacamatanya, Dr. Syarif melanjutkan,
“Gejala yang dialami Azkiyya ini, bukan penyakit biasa. Bukan karena kelelahan ataupun sebagainya. Juga bukan karena sakit asma. Gejala-gejala ini diakibatkan oleh sebuah virus, yang kami kenal sebagai ‘Systemic Lupus Erythematosus’ (SLE), atau biasa kami sebut ‘Lupus’.”

INNALILLAAH…penyakit apa lagi ini? umpatku membathin seraya menatap Dr. Bobby yang tengah berdiri di sebelah meja Dr. Syarif. Seperti memahami bathinku Dr. Bobby ikut menerangkan,
“Jenis penyakit Lupus ini memiliki tiga macam. Pertama, Cutaneus Lupus, seringkali disebut discoid yang mempengaruhi kulit. Kedua, Systemic Lupus Erythematosus(SLE) yang menyerang organ tubuh seperti kulit, persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati, otak, dan syaraf. Ketiga, Drug Induced Lupus(DIL), timbul karena menggunakan obat-obatan tertentu.”
“Betul…dan rupanya istri Bapak mengidap jenis yang kedua. Virus itu tidak hanya menyerang organ tubuh, tetapi ia juga menyerang system imun dan seluruh jaringan sel dalam tubuh. Maka wajar, ketika virus ini aktif pasien akan mudah lelah, karena kekebalan tubuhnya melemah. Tetapi ketika virus ini nonaktif pasien tidak akan merasakan apa, layaknya orang sehat biasa saja.” lanjut Dr. Bobby.

MaasyaAllah…mendengar penjelasan itu membangkitkan rasa berkecamuk dalam dada. Rongga dadaku seakan dipenuhi sesuatu hingga menyesak di dalamnya. Ibu hanya mampu menangis mendengar semuanya.
“Kasihan Kiyya…Ya Allah. Ini salah Ibu, kenapa enggak dibawa kedokter dari dulu…” lirihnya menyesali keadaan.
“Ibu…tenang, Bu… Azkiyya pasti sembuh.” ujarku meyakinkannya.

***

Di ruang ICU Azkiyya terbaring lemah tak sadarkan diri. Ditemani Ibu yang tak henti-henti mengalirkan tangis kasih sayangnya. Sementara aku berbincang lebih dalam bersama Dr. Syarif dan Dr. Bobby. Menurut mereka virus ini belum ditemukan obatnya. Tetapi bisa dicegah agar tidak menyebar dan menyerang organ tubuhnya lainnya. Ditengah perbincangan, seorang perawat menghampiri kami, menyerahkan amplop besar berwarna cokelat kepada Dr. Syarif. Kami pun segera kembali menuju ruang Dr. Syarif. Di dalam ruang itu Dr. Syarif membuka amplopnya.
“Ini hasil rontgen istri Bapak…” sambil mengeluarkan isinya.
Setelah melihat hasil rontgen, Dr. Syarif dan Dr. Bobby hanya saling menatap. Seakan-akan tak ingin mengabarkan hasilnya padaku. Lalu Dr. Bobby menatap ke arahku, dan tiba-tiba merangkulku sambil terisak-isak.

“Ada apa ini, Dok…? Bagaimana hasilnya?” tanyaku semakin heran dan penuh kecemasan.
“Maaf Pak Adnan…istri Bapak sudah tidak memiliki ginjal. Virus itu sudah menghabiskan kedua buah ginjalnya.” ujar Dr. Syarif.

Laksana gelegar halilintar di tengah siang, aku kehilangan keseimbangan. Tubuhku melemah dalam rangkulan Dr. Bobby. Seakan tak percaya apa yang dikatakan Dr. Syarif. Dan sejak itu aku tak ingat apa-apa lagi. Aku pingsan…

Selama kurang lebih satu jam aku baru siuman. Dr. Bobby mengabarkan bahwa Azkiyya sudah sadar dan menanyakan keberadanku. Aku segera bergegas menghampirinya di ruang ICU. Tampak Azkiyya sedang duduk di dampingi Ibu. Aku segera memeluknya dan menangis dalam pelukannya.
“Abi, kenapa nangis? Ummi enggak apa-apa kok, Ummi udah baikan…” ucapnya meyakinkanku.
“Iya…Ummi pasti sembuh…Allah sayang sama Ummi.” jawabku.
Padahal aku lebih tau apa yang sedang menimpanya, dan tetap menangis dalam peluknya.

Tepat jam 02.00 WIB, aku diminta pulang untuk menyiapkan perlengkapan yang belum sempat disiapkan Ibu. Karena Azkiyya harus dirawat beberapa hari di sana. Setelah sholat witir dan membereskan semua perlengkapan, termasuk selimut dan pakaian ganti untuk Azkiyya, aku segera kembali ke rumah sakit.

Azkiyya masih terjaga, sedangkan Ibu terlelap di kursi ruangan itu. Setelah menyimpan semuanya aku kembali menghampiri Azkiyya. Menemani kesendiriannya dini hari itu.

“Abi…semester depan Ummi pengen istirahat aja, Bi…” ujarnya sambil memeluk tubuhku dan menyandarkan kepalanya di atas dadaku.
“Iya…Ummi harus banyak istirahat, Sayang…biar cepet sembuh.”
“Ummi udah sembuh Bi, nih lihat…Ummi udah enggak apa-apa kan?” ujarnya manja.
“Iya, iya…mudah-mudahan Ummi sudah benar-benar sembuh ya?
“Aamiin…”

Suasana cukup hening dini hari itu. Hanya kami berdua yang terjaga di ruang itu. Masih dalam pelukanku, Azkiyya bersenandung. Menyenandungkan sebuah nasyid ‘Muhasabah Cinta’.
“Eh…Abi kok nangis lagi?” ujarnya manja sambil menatap wajahku.
Aku tak mampu menjawab, sesak dalam dadaku semakin mendesak ke tenggorokanku.
“Abi…Ummi pengen pulang, Bi…Ummi gak betah di sini.” suaranya yang kembali memelukku.
“Iya…kita tunggu keputusan Dokter dulu ya. Mudah-mudahan nanti pagi atau siang kita bisa pulang.”
“Ya harus dong, Abi…masa mau nginep di sini terus…pulang sekarang aja yuk, Bi…”
“Iya…sabar, Sayang…! Kita harus tunggu dulu keputusan Dokter. Udah bisa pulang atau enggak…”

***

Lantunan syahdu adzan shubuh serasa merdu terdengar di telinga. Menyeru jiwa-jiwa yang tertidur untuk segera menghadap pada Sang Maha Pencipta. Aku pamit pada Azkiyya untuk mencari mushola. Sementara Ibu dan Azkiyya sudah siap untuk sholat di tempatnya.

Di mushola aku sholat bersama beberapa orang yang sudah ada di sana. Selesai sholat kupanjatkan do’a-do’a memohon kesembuhan untuk Azkiyya. Di tengah nikmat bermunajat, ada suara memanggil mengejutkanku. Rupanya Dr. Bobby menginap di rumah sakit malam itu.
“Nan…Adnan…Azkiyya, Nan…”
“Ada apa dengan Azkiyya, Dok…?”
“Azkiyya tak sadar lagi, Nan…Kali ini cukup kritis.”

Aku segera berlari menuju ruang ICU. Kulihat Ibu sedang menjaga Azkiyya. Dengan tubuh yang masih terbalut mukena, nafas Azkiyya kembali tersenggal-senggal. Aku tak mampu menahan tangis. Ia menatap lemah ke arahku. Lisannya seakan-akan ingat berkata-kata.
“Katakan Sayang, katakan…” ujarku seraya mendekatkan telingaku ke bibirnya.
Dengan nafas tersenggal-senggalnya, dan suara lemah yang terputus-putus, Azkiyya membacakan,
“Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah, irji’ii ilaa Robbiki roodhiyatam mardhiyah, fadkhulii fii ‘ibaadii, wadkhulii janatii.” (QS Al Fajr : 29-32)

Allahuakbar… Aku faham maksudnya. Ia meminta keridhoanku agar ia segera bertemu dengan Rabbnya. Sekalipun aku tidak merelakan kepulangannya tetapi Allah sudah merindukan jiwanya.

Semburat senyum perlahan menghias di bibirnya. Seolah mengabarkan pada kita semua bahwa ia telah melihat istananya di surga. Keringat lembut pun mengembun disekitar keningnya. Pertanda syahid di akhir hayatnya. Rupanya keinginan Azkiyya untuk istirahat semester depan, adalah istirahat untuk selamanya. Keinginannya untuk pulang dini hari itu adalah pulang ke sisi Rabbnya.

“Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun…”

***

Proses pemulasaraan usai dilaksanakan. Aku sendiri turut memandikan, memimpin sholat jenazah, dan menidurkannya di pembaringan terakhir. Usai pemakaman, aku masih duduk di sebelah kiri pusaranya. “Allahummaghfir li Nurul Azkiyya binti Zainul ‘Arifin, warfa’ darojataha fil mahdiyyin, wafsahlaha fii qobriha, wanawwir laha fiiha, wakhlufha fii ‘aaqibiha…”
Ya Allah berikan ampunan bagi Nurul Azkiyya binti Zainul ‘Arifin, angkatlah derajatnya di pembaringan terakhirnya, lapangkanglah kuburnya, dan terangilah ia di dalamnya, serta gantikanlah ia dengan keturunannya…”

Siang itu suasana duka meliputi kami sekeluarga. Kepulangan Azkiyya harus kami terima dengan lapang dada. Karena tak lama lagi kami pun akan segera menyusulnya kesana. Banyak kerabat yang berdatangan. Termasuk Mamahku yang sejak pagi tak kuasa menahan tangisnya. Yang senantiasa mengingatkanku untuk tetap ikhlas dan bershabar.

“Kak Adnan, ini buku harian Kak Kiyya…” suara Zakky menyadarkanku dari lamunan. Sambil menyerahkan sebuah diary.
“Apa Kakak boleh membukanya, meski tak seizin Kak Kiyya?” tanyaku.
“Zakky pernah berusaha membacanya,Kak. Tapi Kak Kiyya mmelarangnya. Dan waktu itu Kak Kiyya bilang bahwa buku catatannya itu hanya boleh dilihat sama suaminya nanti. Jadi hanya Kak Adnan lah yang berhak membaca isinya…” tutur Zakky.

Lembar demi lembar kubaca catatannya. Isinya hanya catatan pengalaman sehari-harinya. Namun ada satu halaman yang mengundangku untuk terus membacanya,

“Semestinya aku banyak berdzikir
Bukan hanya menyesali takdir
Seharusnya aku banyak berfikir
Sebelum hidupku harus berakhir…

Ya Rabbi…
Jika sakit ku ini karena dosa-dosaku yang harus digugurkan
Maka ampunilah dosa-dosaku..
Tetapi jika sakit ini adalah kasih sayang-Mu
Maka biarlah aku menikmati sebentuk kasih sayang-Mu
Hingga nanti kunikmati syurga-Mu…”

Kemudian bait berikutnya sebuah lirik nasyid yang ia senandungkan sewaktu memelukku di ruang ICU,
“Tuhan kuatkan aku
Lindungiku dari putus asa
Bila ku harus mati
Pertemukan aku dengan-Mu…

Kata-kata cinta terucap indah
Mengalir berdzikir di kidung do;aku
Sakit yang kurasa biar jadi penawar dosaku…
Butir-butir cinta air mataku
Teringat semua yang kau beri untukku
Ampuni khilaf dan salah slama ini Ya Ilahi
Muhasabah Cintaku…”

Setelah membaca semua catatannya, rupanya Azkiyya sudah tahu kondisi fisiknya. Hanya saja Ia tidak ingin membuat Ibu cemas. Ia tidak ingin menyusahkan Ibu. Ia ridho dengan segala keadaannya. Karena itu adalah bentuk kasih sayang Allah kepadanya.

Di buku catatan itu aku menulis balasan atas semua catatannya,
“Pulanglah istriku, temui Rabbmu
Karena Allah lebih merindukanmu
Pulanglah istriku dengan jiwa tenangmu
Karena aku telah meridhoimu
Pulanglah istriku ke tempat terakhir di sisi Rabbmu
Dan nantikan aku di istana syurgamu

Minggu, 02 Oktober 2011

Aku, Dia dan Sahabatku

Siang itu udara sangat panas sudah hampir satu bulan ini jakarta tidak di guyur hujan di tambah polusi udara yang kian marah menambah kegersangan kota jakarta.Jam kuliah sudah pun selesai namun rasanya melihat teriknya sinar matahari siang itu membuat aku malas beranjak dari ruang kelas. Namun tidak rasanya aku duduk lama-lama di kelas ini karena sebentar lagi waktu sholat dzuhur. Dengan agak malas ku paksa melangkahkan kakiku meninggalkan ruangan itu. baru sampai di depan pintu kelas terdengar suara seseorang memanggilku.

"Mir, tunggu bentar, " Teriak Sarmila sambil bergegas mendekatiku
"Kamu mau langsung pulang yah, mau ga kamu menemani aku makan siang kali ini, ada sesuatu yang pengen aku bicarakan sama kamu, it's very urgent for me,please..please..please.. " Bujuk Sarmila dengan penuh harap.

Dari kata-kata dan raut wajahnya nampak keseriusan sehingga aku pan tidak tega untuk menolak ajakannya. ku pandangi wajahnya beberapa saat, ku lihat dia tersenyum manis dengan gaya dan tingkahnya yang sangat aku hafal, aku pun menenuhi permintaannya namun dengan satu syarat yaitu setelah sholat dhuhur, karena bagiku makan siang sebelum sholat dhuhur tidak akan terasa nikmat sebelum mengerjakan kewajiban sebagai seorang hamba.

Sarmila adalah teman ku dari semenjak kecil. Dari SD sampai kuliah kami selalu satu sekolah meskipun kini kami beda  jurusan. Aku lebih memilih memperdalam agama islam. sedang ia lebih memilih sastra. Sarmila gadis yang cantik, siapa yang tidak terkagum-kagum melihat kecantikannya. saat duduk di bangku SMA ia sempat menjadi primadona di kelas. Kecantikanya bak Ratu sejagat julukan seperti itulah yang sering aku dengar dari mulut teman-temanku Namun kalau mau jujur aku sedikit tidak suka dengan tabiatnya, ia gadis yang centil, urakan dan manja apalagi ia belum mau berhijab, ia masih suka memamerkan rambutnya yang baginya merupakan mahkota yang memperindah penampilannya. Sudah berulang kali aku jelaskan kepadanya pentingnya jilbab bagi wanita namun jawaban yang sama yang selalu aku dengar darinya yaitu "belum ada hidayah dari Allah."

Suasana kantin agak sepi, hanya terlihat beberapa orang yang sedang duduk dan asyik menikmati makan siangnya, aku dan Sarmila memilih tempat duduk di pojok, karena di situlah tempat yang strategis untuk kami menikmati makan siang. kami bisa berbicara sesuka hati kami tanpa takut ada orang yang mendengarnya.

"Mir, kamu mau kan ajari aku pakai jilbab, sudah lama rasanya hidupku dalam kubangan dosa, tidak tentu arah, aku ingin berubah Mir, aku ingin menjadi orang baik, aku tidak mau hidup sengsara dunia-akhirat, aku ingin seperti mu, anggun, dan cantik. bukan hanya cantik dalam penampilan namun juga cantik di dalam hati." ucapnya dengan lembut

Saat itu juga aku peluk dirinya, tak terasa kami menangis, inilah airmata kebahagiaan tidak ada kata yang bisa terucap selain ucapan syukur pada-Nya, syukur yang tiada terkira atas semua nikmatnya. Sungguh Dia-lah Allah yang menggenggam jiwa-jiwa hamba-Nya. jika Dia sudah berkehendak tak akan ada yang bisa menghalanginya.

"Alhamdulillah, aku seneng banget mendengar ini, aku pasti akan bantu semampuku, " jawabku penuh kegembiraan sambil ku lupeskan pelukanku padanya.

"Dan kamu mau kan ajari aku ngaji dan ilmu agama, karena aku tidak mau kelihatan bodoh di hadapannya."

spontanitas aku langsung meng-iya-kannya, karena bagiku membantu teman adalah misi utamaku dalam hidupku, apalagi perubahan itu adalah perubahan ke arah yang lebih baik. aku teringat dengan Hadits Rasulullah yang mengatakan bahwa manusia yang baik adalah manusia yang paling bermanfaat untuk sesamanya, aku ingin mempraktekkan hal itu dalam kehidupanku. apa-lah artinya hidup ini jika tidak bisa berbagi dengan sesama. jika harta tak punya sekedar berbagi ilmu pun tak apa.

*****#####****

Seperti biasa seusai sholat shubuh aku membantu ibu untuk bebenah rumah, dari menyapu, mengepel hingga menyiram tanaman di depan rumah, dan membantu merawat bunga-bunga adalah hal yang paling aku senangi selain bisa menikmati keindahan dan keharuman bunga aku juga bisa menikmati kesegaran udara pagi. bertemankan lagu-lagu nasyid dari negera jiran aku melakukan aktivitas pagi hariku. bunga-bunga mawar yang ada halaman rumah kini mulai bermekaran, duri-duri yang tajam kini siap melukai tangan jika tidak berhati-hati.




Jumat, 30 September 2011

Arti Kebahagiaan

Bahagia, siapa yang tak menginginkannya. semua manusia mengingkan dalam hidupnya selalu bahagia tak perduli orang itu cantik, jelek, tampan, miskin, apalagi orang yang kaya? Namun apa sebenarnya kebahagiaan itu? Apakah orang yang dalam hidupnya selalu berkecukupan itu selalu bahagia? Sehingga apa yang ia inginkan selalu di dapatkan? atau Apakah orang yang parasnya cantik/tampan sehingga ketika ia pergi kemana-kemana semua mata memandang kepadanya dan memujinya? Seperti itukah arti Kebahgiaan???


Apakah orang Kaya dan orang yang cantik parasnya selalu hidup bahagia?? Maka "Tidak" jawabnya. Kebahagiaan tidak dapat di ukur dengan banyaknya materi apalagi dengan cantiknya paras, semua itu tidak bisa menjamin seseorang untuk hidup bahagia. Banyak orang yang kaya hidupnya tidak tenang, keluarganya berantakan, anaknya jadi tidak karuan karena salah pergaulan. Dalam hidupnya yang ia pikirkan hanya bagaimana cara mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya dan pada akhirnya keluarga ia abaikan.

Kebahagian tidak bisa di ukur oleh banyaknya fasilitas dunia yang di miliki, mobil mewah, rumah mewah, kantor besar, jabatan tinggi dan segala macam fasilitas dunia lainnya yang mengakibatkan kesombongan, kecongkakakan sehingga selalu meremehkan orang lain yang di anggap berstatus di bawahnya. Rasulullah SAW pernah bersabda barang siapa menjadikan dunia sebagai tujuannya maka ia akan sengsara, namun barang siapa menjadikan akhirat tujuannya ia akan hidup bahagia.

Sebaliknya orang yang miskin tidak selalu hidup sengsara, meskipun di dalam kehidupan nya ia selalu kekurangan namun ia selalu bersyukur akan pemberian rizki-Nya, ia selalu yakin akan rizki-Nya yang tidak akan pernah tertukar,ia tidak pernah meminta-minta apalagi mengharap bantuan dari orang lain.orang yang seperti itu hidupnya akan bahagia, meskipun di lihat dengan kasat mata ia hanya orang yang miskin dan tidak punya apa-apa. Orang yang mulia di sisi Allah bukan orang yang kaya, cantik ataupun miskin. orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang bertakwa.

Sekarang jelas sudah bahwa kehidupan tidak akan tercipta jika yang di tuju adalah dunia.namun kebahagian akan tercipta jika yang di tuju adalah akhirat. Kehidupan akhirat adalah kehidupan yang kekal, kehidupan yang abadi di sana akan ada kebahagian yang sebenarnya.kebahagian yang asli yang hanya akan di berikan bagi orang-orang yang bertakwa.

Kebahagian hanya lahir di dalam hati, Kebahagiaan akan tercipta dengan hati yang tenang, dan hati yang tenang hanya bisa di dapat dengan mengingat Sang Pemilik Kebahgiaan yaitu Allah Azza Wajalla. Dan Allah telah menyuruh kepada manusia untuk selalu mengingat-Nya karena hanya dengan mengingat-Nya hati akan menjadi tenang jika hati sudah tenang kebagiaan pun akan tercipta. Jika ingin hidup ini bahagia maka hiasalah kehidupan dengan memperbanyak mengingat-Nya, memuji kebesaran-Nya dan menjadikan al-Quran dan sunnah pedoman hidup.jika sudah demikan bukan hanya kebahagiaan didunia saja yang di dapat kebahagiaan di akhiratpun akan di raihnya. Wallahu 'alam

Mulianya Seorang Muslimah

Assalamu'alaikum Warahmatullahi wabarakatuh

Saudariku,catatan kecil ini untuk diriku, dirimu,dan anda semua yang bergelar Muslimah.
...
Ukhti Fillah,,

Engkau adalah bunga kehidupan,teramat sayang bila memperlakukanmu dengan kasar karena hal itu akan merusak keindahan yang ada dalam dirimu dan menodai kesempurnaanmu sehingga menjadikanmu layu tak berseri.

Allah SWT telah memuliakanmu, mensucikanmu dan mengangkat derajatmu dalam agama ini,

karenanya raihlah ia dengan memupuk ketaatanmu pada-NYA,

merajut benang-benang kehidupanmu diatas jalan Allah dan manhaj Rasul-Nya agar kebahagiaan tak pernah jemu menghampirimu.

Ingatlah selalu firman-Nya:

"Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rosulnya,maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar" (Al-Ahzab:71)

Camkanlah selalu dalam hatimu, bahwa berjalan diatas kebenaran (sunnah) ibarat memegang bara api,

banyak halangan dan rintangan yang menghalangimu.

Lihatlah keluar,

musuh kita bersatu padu untuk menghancurkan kita.

Dengan segenap daya dan upaya mereka ingin agar kita melepaskan pakaian akhlak dan rasa malu dari diri kita,

sehingga mereka lebih leluasa merongrong agama ini.

Sungguh aku tidak ingin dirimu dan juga diriku (dengan izin Allah) menjadi korban.

Karena itu palingkanlah wajahmu dari mereka dan sambutlah dengan penuh suka cita jalan kebenaran yang di tawarkan Allah dan Rasul-Nya.

Peganglah tali kendali itu dengan sekuat tenaga agar tidak jatuh dalam kehancuran.

Kuatkanlah keteguhanmu berpegang pada agamamu,dengan menjaga rasa malumu dan beriltizam dengan hijabmu.

Ukhti Fillah..

Sesungguhnya mereka iri dengan apa yang kita miliki,
Sadarkah engkau saudariku??
Engkau adalah wanita berkedudukan tinggi, engkau wanita dengan kemuliaan,
kesucian dan kehormatan yang tinggi.
Kedudukanmu tinggi karena Al-Qur'an,
engkau mulia dengan iman dan suci karena engkau berpegang teguh pada agama ini.

Oleh karena itu engkau adalah mutiara yang teramat mahal, tidak sembarang orang boleh menyentuhnya apalagi menyakitinya.

Itulah kelebihan dan keistimewaan yang tidak akan kau dapati selain dalam agama ini.

Wahai,Ukhti Fillah yang senantiasa sholat dan sujud kepada Dzat Yang Maha Hidup dan terus menerus mengurus makhluknyahdan menundukan pendengaran dan penglihatan untuk-Nya,

cukuplah hadist Rasulullah berikut sebagai penyejuk hati:

"Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholihah" (H.R.MUSLIM).

Ya Ukhti,engkau adalah sebaik-baik perhiasan dunia, engkau adalah harapan agama,

yang di harapkan dapat melahirkan generasi robbani. Perhiasan itu tidak mudah di dapat,

harganya terlalu mahal dan menjaganya pun tidaklah mudah. Setiap hamba Allah ingin mendapatkanya,

namun tidak semua bisa memilikinya.

Ia memberikan kesejukan di kala hati gersang dan menyegarkan pandangan di kala mata suram.

Perhiasan dunia itu,dalam kehidupanya senantiasa menampakan kemuliaan dirinya.

Bagaikan sekuntum mawar yang sedang mekar,harumnya tergambar dari pribadinya yang santun.

Tegas bicaranya, tunduk pandanganya,

Sedikitpun tidak ada keraguan dalam hati suaminya, jika meninggalkanya di rumah.

Ia menjaga harta suaminya, mendidik anak-anaknya dan senantiasa menjaga kehormatan diri dan suaminya. Ia tidak pernah berputus asa,

Ia senantiasa menjaga kesucian dirinya. Serta ia tidak mudah mengeksploitasi diri dan kehormatanya,

di saat wanita lain asyik memilih busana trendi, sibuk memoles tubuh dan wajah, berlomba-lomba memamerkan aurat mereka, engkau justru tampil dalam kesahajaan.

Ingatlah selalu saudariku, bunga yang istimewa hanya untuk yang istimewa.

Ukhti Fillah...

Itulah gambaran tentang dirimu. Sungguh teramat agung kedudukanmu.

Maka senantiasalah bersyukur kepada-Nya atas semua karunia,rahmat dan petunjuk-Nya.

Takutlah engkau pada Allah dan laksanakan tugas-tugas yang Dia wajibkan kepadamu agar engkau termasuk dalam golongan hambaNya yang selamat dan bahagia di dunia maupun di akhirat.

Jagalah akhlakmu,jagalah pakaianmu,&jagalah pandanganmu

Kamis, 29 September 2011

Doaku

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Duhai Allah...
Engkau Rabbku
tiada Tuhan selain Engkau
Engkau Penciptaku
aku hamba-Mu
aku dalam perjanjian dengan-Mu
aku mengakui nikmat-Mu
aku mengakui dosaku


Duhai Penggenggam setiap jiwa...
aku bersimpuh dihadapan-Mu
Kumohon
ampunilah dosa-dosaku
Lindungiku dari setiap kejahatan yang kulakukan
Tanpa ampunan-Mu aku hina
Tanpa kasih-Mu aku tiada
Tanpa ridho-Mu amalku sia-sia

Duhai Yang Maha Mulia...
Yang mencintai pemaafan
Maafkan hamba
atas sgala kelalaian
Maafkan hamba
yang belum bersungguh-sungguh dalam berjuang
Maafkan hamba yang belum sempurna
dalam ibadah pada-Mu

Detik-detik terus berlalu
Namun sedikit sekali aku ingat pada-Mu
Sedikit sekali aku khusyu' beribadah-Mu
Sedikit sekali aku membaca firman-Mu

Duhai Penguasa Alam...
Ku berserah diri pada-Mu
Ku ihklas menjadi hamba-Mu
Ku ingin merdeka dari segala perbudakan
Kuingin menyempurnakan ibadah pada-Mu

Duhai Allah...
Yang Maha Kasih lagi Penyayang
Ku harap cinta ini menjadi ibadah pada-Mu
Ku harap bisa menyempurnakan penghambaanku
Jangan Kau singkirkan aku dari jalan-Mu
Tegakkan ku di jalan cinta-Mu
Terangi dengan cahaya hidayah-Mu
Kuatkan kaki ini melangkah dalam setiap ujian cinta-Mu
Ku bertekad menjemput syahid di jalan-Mu
Istiqomahkan sampai Engkau mengambil nyawaku

Ku harap ridho-Mu
Ku harap cinta-Mu
Kurindu kasih-Mu
Kurindu pertemuan dengan-Mu
Di taman cinta-Mu

Duhai Allah...
Aku yang sangat bodoh
Aku yang tak mengerti apa2
Ajari aku berdzikir
Ajari aku bersyukur
Ajari aku beribadah khusyu'

Tiada daya dan kekuatan
Tanpa pertolongan-Mu
Engkaulah sebaik-baik penolong..
Amin Ya Rabbal Alamin..

Kamis, 15 September 2011

Kisah cinta Siti Khadijah dan Rasulullah

Siapakah khadijah?



Dia adalah Khadijah r.a, seorang wanita janda, bangsawan, hartawan, cantik dan budiman. Ia disegani oleh masyarakat Quraisy khususnya, dan bangsa Arab pada umumnya. Sebagai seorang pengusaha, ia banyak memberikan bantuan dan modal kepada pedagang-pedagang atau melantik orang-orang untuk mewakili urusan-urusan perniagaannya ke luar negeri.



Banyak pemuda Quraisy yang ingin menikahinya dan sanggup membayar mas kawin berapa pun yang dikehendakinya, namun selalu ditolaknya dengan halus kerana tak ada yang berkenan di hatinya.





Bermimpi melihat matahari turun kerumahnya



Pada suatu malam ia bermimpi melihat matahari turun dari langit, masuk ke dalam rumahnya serta memancarkan sinarnya merata kesemua tempat sehingga tiada sebuah rumah di kota Makkah yang luput dari sinarnya.



Mimpi itu diceritakan kepada sepupunya yang bernama Waraqah bin Naufal. Dia seorang lelaki yang berumur lanjut, ahli dalam mentakbirkan mimpi dan ahli tentang sejarah bangsa-bangsa purba. Waraqah juga mempunyai pengetahuan luas dalam agama yang dibawa oleh Nabi-Nabi terdahulu.



Waraqah berkata: “Takwil dari mimpimu itu ialah bahwa engkau akan menikah kelak dengan seorang Nabi akhir zaman.” “Nabi itu berasal dari negeri mana?” tanya Khadijah bersungguh-sungguh. “Dari kota Makkah ini!” ujar Waraqah singkat. “Dari suku mana?” “Dari suku Quraisy juga.” Khadijah bertanya lebih jauh: “Dari keluarga mana?” “Dari keluarga Bani Hasyim, keluarga terhormat,” kata Waraqah dengan nada menghibur. Khadijah terdiam sejenak, kemudian tanpa sabar meneruskan pertanyaan terakhir: “Siapakah nama bakal orang agung itu, hai sepupuku?” Orang tua itu mempertegas: “Namanya Muhammad SAW. Dialah bakal suamimu!”



Khadijah pulang ke rumahnya dengan perasaan yang luar biasa gembiranya.Belum pernah ia merasakan kegembiraan sedemikian hebat. Maka sejak itulah Khadijah senantiasa bersikap menunggu dari manakah gerangan kelak munculnya sang pemimpin itu.





Lamaran dari khadijah kepada Rasulullah s.a.w



Muhammad Al-Amiin muncul di rumah Khadijah. Wanita usahawan itu berkata

Khadijah: “Hai Al-Amiin, katakanlah apa keperluanmu!” (Suaranya ramah, bernada dermawan. Dengan sikap merendahkan diri tapi tahu harga dirinya)



Muhammad SAW berbicara lurus, terus terang, meskipun agak malu-malu tetapi pasti.

Muhammad SAW: “Kami sekeluarga memerlukan nafkah dari bagianku dalam rombongan niaga. Keluarga kami amat memerlukannya untuk mencarikan jodoh bagi anak saudaranya yang yatim piatu”



(Kepalanya tertunduk, dan wanita hartawan itu memandangnya dengan penuh ketakjuban)

Khadijah: “Oh, itukah….! Muhammad, upah itu sedikit, tidak menghasilkan apa-apa bagimu untuk menutupi keperluan yang engkau maksudkan,”. “Tetapi biarlah, nanti saya sendiri yang mencarikan calon isteri bagimu”.(Ia berhenti sejenak, meneliti).



Kemudian meneruskan dengan tekanan suara memikat dan mengandung isyarat

Khadijah: “Aku hendak mengawinkanmu dengan seorang wanita bangsawan Arab. Orangnya baik, kaya, diinginkan oleh banyak raja-raja dan pembesar-pembesar Arab dan asing, tetapi ditolaknya. Kepadanyalah aku hendak membawamu”.



khadijah (Khadijah tertunduk lalu melanjutkan): “Tetapi sayang, ada aibnya…! Dia dahulu sudah pernah bersuami. Kalau engkau mau, maka dia akan menjadi pengkhidmat dan pengabdi kepadamu”.



Pemuda Al-Amiin tidak menjawab. Mereka sama-sama terdiam, sama-sama terpaku dalam pemikirannya masing-masing. Yang satu memerlukan jawapan, yang lainnya tak tahu apa yang mau dijawab. Khadijah r.a tak dapat mengetahui apa yang terpendam di hati pemuda Bani Hasyim itu, pemuda yang terkenal dengan gelaran Al-Amiin (jujur). Pemuda Al-Amiin itupun mungkin belum mengetahui siapa kira-kira calon yang dimaksud oleh Khadijah r.a.



Rasulullah SAW minta izin untuk pulang tanpa sesuatu keputusan yang ditinggalkan. Ia menceritakan kepada Pamannya.



Rasulullah SAW: “Aku merasa amat tersinggung oleh kata-kata Khadijah r.a. Seolah-olah dia memandang enteng dengan ucapannya ini dan itu “anu dan anu….” Ia mengulangi apa yang dikatakan oleh perempuan kaya itu.



‘Atiqah juga marah mendengar berita itu. Dia seorang perempuan yang cepat naik darah kalau pihak yang dinilainya menyinggung kehormatan Bani Hasyim. Katanya: “Muhammad, kalau benar demikian, aku akan mendatanginya”.



‘Atiqah tiba di rumah Khadijah r.a dan terus menegurnya: “Khadijah, kalau kamu mempunyai harta kekayaan dan kebangsawan, maka kamipun memiliki kemuliaan dan kebangsawanan. Kenapa kamu menghina puteraku, anak saudaraku Muhammad?”



Khadijah r.a terkejut mendengarnya. Tak disangkanya bahwa kata-katanya itu akan dianggap penghinaan. Ia berdiri menyabarkan dan mendamaikan hati ‘Atiqah:



Khadijah : “Siapakah yang sanggup menghina keturunanmu dan sukumu? Terus terang saja kukatakan kepadamu bahwa dirikulah yang kumaksudkan kepada Muhammad SAW. Kalau ia mau, aku bersedia menikah dengannya; kalau tidak,aku pun berjanji tak akan bersuami hingga mati”.



Pernyataan jujur ikhlas dari Khadijah r.a membuat ‘Atiqah terdiam. Kedua wanita bangsawan itu sama-sama cerah. Percakapan menjadi serius. “Tapi Khadijah, apakah suara hatimu sudah diketahui oleh sepupumu Waraqah bin Naufal?” tanya ‘Atiqah sambil meneruskan: “Kalau belum cobalah meminta persetujuannya.” “Ia belum tahu, tapi katakanlah kepada saudaramu, Abu Thalib, supaya mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum, dimana sepupuku diundang, dan disitulah diadakan majlis lamaran”, Khadijah r.a berkata seolah-olah hendak mengatur siasat. Ia yakin Waraqah takkan keberatan karena dialah yang menafsirkan mimpinya akan bersuamikan seorang Nabi akhir zaman.



‘Atiqah pulang dengan perasaan tenang, puas. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia segera menyampaikan berita gembira itu kepada saudara-saudaranya: Abu Thalib, Abu Lahab, Abbas dan Hamzah. Semua riang menyambut hasil pertemuan ‘Atiqah dengan Khadijah “Itu bagus sekali”, kata Abu Thalib, “tapi kita harus bermusyawarah dengan Muhammad SAW lebih dulu.”





Khadijah yang cantik



Sebelum diajak bermusyawarah, maka terlebih dahulu ia pun telah menerima seorang perempuan bernama Nafisah, utusan Khadijah r.a yang datang untuk menjalin hubungan kekeluargaan. Utusan peribadi Khadijah itu bertanya:



Nafisah : “Muhammad, kenapa engkau masih belum berfikir mencari isteri?”

Muhammad SAW menjawab: “Hasrat ada, tetapi kesanggupan belum ada.”

Nafisah “Bagaimana kalau seandainya ada yang hendak menyediakan nafkah? Lalu engkau mendapat seorang isteri yang baik, cantik, berharta, berbangsa dan sekufu pula denganmu, apakah engkau akan menolaknya?”

Rasulullah SAW: “Siapakah dia?” tanya Muhammad SAW.

Nafisah : “Khadijah!” Nafisah berterus terang. “Asalkan engkau bersedia, sempurnalah segalanya. Urusannya serahkan kepadaku!”



Usaha Nafisah berhasil. Ia meninggalkan putera utama Bani Hasyim dan langsung menemui Khadijah r.a, menceritakan kesediaan Muhammad SAW. Setelah Muhammad SAW menerima pemberitahuan dari saudara-saudaranya tentang hasil pertemuan dengan Khadijah r.a, maka baginda tidak keberatan mendapatkan seorang janda yang usianya lima belas tahun lebih tua daripadanya.



Betapa tidak setuju, apakah yang kurang pada Khadijah? Ia wanita bangsawan, cantik, hartawan, budiman. Dan yang utama karena hatinya telah dibukakan Tuhan untuk mencintainya, telah ditakdirkan akan dijodohkan dengannya. Kalau dikatakan janda, biarlah! Ia memang janda umur empat puluh, tapi janda yang masih segar, bertubuh ramping, berkulit putih dan bermata jeli. Maka diadakanlah majlis yang penuh keindahan itu.



Hadir Waraqah bin Naufal dan beberapa orang-orang terkemuka Arab yang sengaja dijemput. Abu Thalib dengan resmi meminang Khadijah r.a kepada saudara sepupunya. Orang tua bijaksana itu setuju. Tetapi dia meminta tempoh untuk berunding dengan wanita yang berkenaan.





Pernikahan Muhammad dengan Khadijah



Khadijah r.a diminta pendapat. Dengan jujur ia berkata kepada Waraqah: “Hai anak sepupuku, betapa aku akan menolak Muhammad SAW padahal ia sangat amanah, memiliki keperibadian yang luhur, kemuliaan dan keturunan bangsawan, lagi pula pertalian kekeluargaannya luas”. “Benar katamu, Khadijah, hanya saja ia tak berharta”, ujar Waraqah. “Kalau ia tak berharta, maka aku cukup berharta. Aku tak memerlukan harta lelaki. Kuwakilkan kepadamu untuk menikahkan aku dengannya,” demikian Khadijah r.a menyerahkan urusannya.



Waraqah bin Naufal kembali mendatangi Abu Thalib memberitakan bahwa dari pihak keluarga perempuan sudah bulat mufakat dan merestui bakal pernikahan kedua mempelai. Lamaran diterima dengan persetujuan mas kawin lima ratus dirham. Abu Bakar r.a, yang kelak mendapat sebutan “Ash-Shiddiq”, sahabat akrab Muhammad SAW. sejak dari masa kecil, memberikan sumbangan pakaian indah buatan Mesir, yang melambangkan kebangsawaan Quraisy, sebagaimana layaknya dipakai dalam upacara adat istiadat pernikahan agung, apalagi karena yang akan dinikahi adalah seorang hartawan dan bangsawan pula.



Peristiwa pernikahan Muhammad SAW dengan Khadijah r.a berlangsung pada hari Jum’at, dua bulan sesudah kembali dari perjalanan niaga ke negeri Syam. Bertindak sebagai wali Khadijah r.a ialah pamannya bernama ‘Amir bin Asad.



Waraqah bin Naufal membacakan khutbah pernikahan dengan fasih, disambut oleh Abu Thalib sebagai berikut: “Alhamdu Lillaah, segala puji bagi Allah Yang menciptakan kita keturunan (Nabi) Ibrahim, benih (Nabi) Ismail, anak cucu Ma’ad, dari keturunan Mudhar. “Begitupun kita memuji Allah SWT Yang menjadikan kita penjaga rumah-Nya, pengawal Tanah Haram-Nya yang aman sejahtera, dan menjadikan kita hakim terhadap sesama manusia.

“Sesungguhnya anak saudaraku ini, Muhammad bin Abdullah, kalau akan ditimbang dengan laki-laki manapun juga, niscaya ia lebih berat dari mereka sekalian. Walaupun ia tidak berharta, namun harta benda itu adalah bayang-bayang yang akan hilang dan sesuatu yang akan cepat perginya. Akan tetapi Muhammad SAW, tuan-tuan sudah mengenalinya siapa dia. Dia telah melamar Khadijah binti Khuwailid. Dia akan memberikan mas kawin lima ratus dirham yang akan segera dibayarnya dengan tunai dari hartaku sendiri dan saudara-saudaraku.

“Demi Allah SWT, sesungguhnya aku mempunyai firasat tentang dirinya bahwa sesudah ini, yakni di saat-saat mendatang, ia akan memperolehi berita gembira (albasyaarah) serta pengalaman-pengalaman hebat. “Semoga Allah memberkati pernikahan ini”. Penyambutan untuk memeriahkan majlis pernikahan itu sangat meriah di rumah mempelai perempuan. Puluhan anak-anak lelaki dan perempuan berdiri berbaris di pintu sebelah kanan di sepanjang lorong yang dilalui oleh mempelai lelaki, mengucapkan salam marhaban kepada mempelai dan menghamburkan harum-haruman kepada para tamu dan pengiring.



Selesai upacara dan tamu-tamu bubar, Khadijah r.a membuka isi hati kepada suaminya dengan ucapan: “Hai Al-Amiin, bergembiralah! Semua harta kekayaan ini baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang terdiri dari bangunan-bangunan, rumah-rumah, barang-barang dagangan, hamba-hamba sahaya adalah menjadi milikmu. Engkau bebas membelanjakannya ke jalan mana yang engkau redhai !”



Itulah sebagaimana Firman Allah SWT yang bermaksud: “Dan Dia (Allah) mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kekayaan”. (Adh-Dhuhaa:

Alangkah bahagianya kedua pasangan mulia itu, hidup sebagai suami isteri yang sekufu, sehaluan, serasi dan secita-cita.

Dijamin Masuk Syurga



Khadijah r.a mendampingi Muhammad SAW. selama dua puluh enam tahun, yakni enam belas tahun sebelum dilantik menjadi Nabi, dan sepuluh tahun sesudah masa kenabian. Ia isteri tunggal, tak ada duanya, bercerai karena kematian.





Tahun wafatnya disebut “Tahun Kesedihan” (‘Aamul Huzni).



Khadijah r.a adalah orang pertama sekali beriman kepada Rasulullah SAW. ketika wahyu pertama turun dari langit. Tidak ada yang mendahuluinya. Ketika Rasulullah SAW menceritakan pengalamannya pada peristiwa turunnya wahyu pertama yang disampaikan Jibril ‘alaihissalam, dimana beliau merasa ketakutan dan menggigil menyaksikan bentuk Jibril a.s dalam rupa aslinya, maka Khadijahlah yang pertama dapat mengerti makna peristiwa itu dan menghiburnya, sambil berkata:

“Bergembiralah dan tenteramkanlah hatimu. Demi Allah SWT yang menguasai diri Khadijah r.a, engkau ini benar-benar akan menjadi Nabi Pesuruh Allah bagi umat kita. “Allah SWT tidak akan mengecewakanmu. Bukankah engkau orang yang senantiasa berusaha untuk menghubungkan tali persaudaraan? Bukankah engkau selalu berkata benar? Bukankah engkau senantiasa menyantuni anak yatim piatu, menghormati tamu dan mengulurkan bantuan kepada setiap orang yang ditimpa kemalangan dan musibah?”



Khadijah r.a membela suaminya dengan harta dan dirinya di dalam menegakkan kalimah tauhid, serta selalu menghiburnya dalam duka derita yang dialaminya dari gangguan kaumnya yang masih ingkar terhadap kebenaran agama Islam, menangkis segala serangan caci maki yang dilancarkan oleh bangsawan-bangsawan dan hartawan Quraisy.



Layaklah kalau Khadijah r.a mendapat keistimewaan khusus yang tidak dimiliki oleh wanita-wanita lain yaitu, menerima ucapan salam dari Allah SWT. yang disampaikan oleh malaikat Jibril a.s kepada Rasulullah SAW. disertai salam dari Jibril a.s peribadi untuk disampaikan kepada Khadijah radiallahu ‘anha serta dihiburnya dengan syurga.



Kesetiaan Khadijah r.a diimbangi oleh kecintaan Nabi SAW kepadanya tanpa terbatas. Nabi SAW pernah berkata: “Wanita yang utama dan yang pertama akan masuk Syurga ialah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad SAW., Maryam binti ‘Imran dan Asyiah binti Muzaahim, isteri Fir’aun”.





Wanita Terbaik



Sanjungan lain yang banyak kali diucapkan Rasulullah SAW. terhadap peribadi Khadijah r.a ialah: “Dia adalah seorang wanita yang terbaik, karena dia telah percaya dan beriman kepadaku di saat orang lain masih dalam kebimbanga, dia telah membenarkan aku di saat orang lain mendustakanku; dia telah mengorbankan semua harta bendanya ketika orang lain mencegah kemurahannya terhadapku; dan dia telah melahirkan bagiku beberapa putera-puteri yang tidak ku dapatkan dari isteri-isteri yang lain”.



Putera-puteri Rasulullah SAW. dari Khadijah r.a sebanyak tujuh orang: tiga lelaki (kesemuanya meninggal di waktu kecil) dan empat wanita. Salah satu dari puterinya bernama Fatimah, dinikahkan dengan Ali bin Abu Thalib, sama-sama sesuku Bani Hasyim. Keturunan dari kedua pasangan inilah yang dianggap sebagai keturunan langsung dari Rasulullah SAW.





Perjuangan Khadijah



Tatkala Nabi SAW mengalami rintangan dan gangguan dari kaum lelaki Quraisy, maka di sampingnya berdiri dua orang wanita. Kedua wanita itu berdiri di belakang da’wah Islamiah, mendukung dan bekerja keras mengabdi kepada pemimpinnya, Muhammad SAW : Khadijah bin Khuwailid dan Fatimah binti Asad. Oleh karena itu Khadijah berhak menjadi wanita terbaik di dunia. Bagaimana tidak menjadi seperti itu, dia adalah Ummul Mu’minin, sebaik-baik isteri dan teladan yang baik bagi mereka yang mengikuti teladannya.



Khadijah menyiapkan sebuah rumah yang nyaman bagi Nabi SAW sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan membantunya ketika merenung di Gua Hira’. Khadijah adalah wanita pertama yang beriman kepadanya ketika Nabi SAW berdoa (memohon) kepada Tuhannya. Khadijah adalah sebaik-baik wanita yang menolongnya dengan jiwa, harta dan keluarga. Peri hidupnya harum, kehidupannya penuh dengan kebajikan dan jiwanya sarat dengan kebaikan.



Rasulullah SAW bersabda :”Khadijah beriman kepadaku ketika orang-orang ingkar, dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakan dan dia menolongku dengan hartanya ketika orang-orang tidak memberiku apa-apa.”



Kenapa kita bersusah payah mencari teladan di sana-sini, padahal di hadapan kita ada “wanita terbaik di dunia,” Khadijah binti Khuwailid, Ummul Mu’minin yang setia dan taat, yang bergaul secara baik dengan suami dan membantunya di waktu berkhalwat sebelum diangkat menjadi Nabi dan meneguhkan serta membenarkannya.



Khadijah mendahului semua orang dalam beriman kepada risalahnya, dan membantu beliau serta kaum Muslimin dengan jiwa, harta dan keluarga. Maka Allah SWT membalas jasanya terhadap agama dan Nabi-Nya dengan sebaik-baik balasan dan memberinya kesenangan dan kenikmatan di dalam istananya, sebagaimana yang diceritakan Nabi SAW, kepadanya pada masa hidupnya.



Ketika Jibril A.S. datang kepada Nabi SAW, dia berkata :”Wahai, Rasulullah, inilah Khadijah telah datang membawa sebuah wadah berisi kuah dan makanan atau minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan salam kepadanya dari Tuhannya dan aku, dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah di syurga dari mutiara yang tiada keributan di dalamnya dan tidak ada kepayahan.” [HR. Bukhari dalam "Fadhaail Ashhaabin Nabi SAW. Imam Adz-Dzahabi berkata:"Keshahihannya telah disepakati."]



Bukankah istana ini lebih baik daripada istana-istana di dunia, hai, orang-orang yang terpedaya oleh dunia ? Sayidah Khadijah r.a. adalah wanita pertama yang bergabung dengan rombongan orang Mu’min yang orang pertama yang beriman kepada Allah di bumi sesudah Nabi SAW. Khadijah r.a. membawa panji bersama Rasulullah SAW sejak saat pertama, berjihad dan bekerja keras. Dia habiskan kekayaannya dan memusuhi kaumnya. Dia berdiri di belakang suami dan Nabinya hingga nafas terakhir, dan patut menjadi teladan tertinggi bagi para wanita.



Betapa tidak, karena Khadijah r.a. adalah pendukung Nabi SAW sejak awal kenabian. Ar-Ruuhul Amiin telah turun kepadanya pertama kali di sebuah gua di dalam gunung, lalu menyuruhnya membaca ayat-ayat Kitab yang mulia, sesuai yang dikehendaki Allah SWT. Kemudian dia menampakkan diri di jalannya, antara langit dan bumi. Dia tidak menoleh ke kanan maupun ke kiri sehingga Nabi SAW melihatnya, lalu dia berhenti, tidak maju dan tidak mundur. Semua itu terjadi ketika Nabi SAW berada di antara jalan-jalan gunung dalam keadaan kesepian, tiada penghibur, teman, pembantu maupun penolong.



Nabi SAW tetap dalam sikap yang demikian itu hingga malaikat meninggalkannya. Kemudian, beliau pergi kepada Khadijah dalam keadaan takut akibat yang didengar dan dilihatnya. Ketika melihatnya, Khadijah berkata :”Dari mana engkau, wahai, Abal Qasim ? Demi Allah, aku telah mengirim beberapa utusan untuk mencarimu hingga mereka tiba di Mekkah, kemudian kembali kepadaku.” Maka Rasulullah SAW menceritakan kisahnya kepada Khadijah r.a.



Khadijah r.a. berkata :”Gembiralah dan teguhlah, wahai, putera pamanku. Demi Allah yang menguasai nyawaku, sungguh aku berharap engkau menjadi Nabi umat ini.” Nabi SAW tidak mendapatkan darinya, kecuali pe neguhan bagi hatinya, penggembiraan bagi dirinya dan dukungan bagi urusannya. Nabi SAW tidak pernah mendapatkan darinya sesuatu yang menyedihkan, baik berupa penolakan, pendustaan, ejekan terhadapnya atau penghindaran darinya. Akan tetapi Khadijah melapangkan dadanya, melenyapkan kesedihan, mendinginkan hati dan meringankan urusannya.



Demikian hendaknya wanita ideal.



Itulah dia, Khadijah r.a., yang Allah SWT telah mengirim salam kepadanya. Maka turunlah Jibril A.S. menyampaikan salam itu kepada Rasul SAW seraya berkata kepadanya :”Sampaikan kepada Khadijah salam dari Tuhannya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda :”Wahai Khadijah, ini Jibril menyampaikan salam kepadamu dari Tuhanmu.” Maka Khadijah r.a. menjawab :”Allah yang menurunkan salam (kesejahteraan), dari-Nya berasal salam (kesejahteraan), dan kepada Jibril semoga diberikan salam (kesejahteraan).”



Sesungguhnya ia adalah kedudukan yang tidak diperoleh seorang pun di antara para shahabat yang terdahulu dan pertama masuk Islam serta khulafaur rasyidin. Hal itu disebabkan sikap Khadijah r.a. pada saat pertama lebih agung dan lebih besar daripada semua sikap yang mendukung da’wah itu sesudahnya. Sesungguhnya Khadijah r.a. merupakan nikmat Allah yang besar bagi Rasulullah SAW. Khadijah mendampingi Nabi SAW selama seperempat abad, berbuat baik kepadanya di saat beliau gelisah, menolongnya di waktu-waktu yang sulit, membantunya dalam menyampaikan risalahnya, ikut serta merasakan penderitaan yang pahit pada saat jihad dan menolong- nya dengan jiwa dan hartanya.



Rasulullah SAW bersabda :”Khadijah beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkari. Dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakan. Dan dia memberikan hartanya kepadaku ketika orang-orang tidak memberiku apa-apa. Allah mengaruniai aku anak darinya dan mengharamkan bagiku anak dari selain dia.” [HR. Imam Ahmad dalam "Musnad"-nya, 6/118]



Diriwayatkan dalam hadits shahih, dari Abu Hurairah r.a., dia berkata :”Jibril datang kepada Nabi SAW, lalu berkata :”Wahai, Rasulullah, ini Khadijah telah datang membawa sebuah wadah berisi kuah, makanan atau minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan kepadanya salam dari Tuhan-nya dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah di syurga, (terbuat) dari mutiara yang tiada suara ribut di dalamnya dan tiada kepayahan.” [Shahih Bukhari, Bab Perkawinan Nabi SAW dengan Khadijah dan Keutamaannya]



Wallahu a'lam,,,