Di sebuah pondok usang di pinggiran
kota jakarta tinggal seorang ibu yang hidup sebatang kara tanpa anak dan
saudara. Ibu Marni biasa aku memanggilnya, untuk memenuhi kehidupannya Bu Marni
mencari dan mengumpulkan barang bekas yang tiap hari ia pungut dari
tempat-tempat sampah yang tidak jauh dari rumahnya.
Dua tahun yang lalu saat pertama kali
aku mengenalnya. Saat itu di siang hari yang sangat cerah, ketika matahari
begitu teriknya menyinari bumi, aku lihat Bu marni berjalan tertatih-tatih
dengan membawa karung yang berisikan barang-barang bekas di belakang
punggungnya. Entah kenapa hatiku sangat tersentuh melihatnya, tanpa berpikir panjang
aku mendekatinya dan membantu membawakan karung tersebut. Betapa miris hati ini
ketika melihat rumah yang ia tempati, sebuah gubug yang menurutku tidak layak
sekali untuk di tempati, atap rumah yang hampir roboh, dinding rumah yang hanya
menggunakan tempelan karton-karton bekas. Sungguh suatu tempat yang amat tidak
layak untuk di tempati oleh manusia. Apabila hari hujan sudah pasti ia akan
kehujanan dan kedinginan. melihat pemandangan itu tiba-tiba airmataku mengalir
dengan sendirinya.
Mengenalinya membuat aku mengerti apa
hakikat hidup sesungguhnya. Kesabaran dan ketabahan hati yang di miliki nya
membuat aku malu pada diriku sendiri. Betapa diri ini jarang sekali untuk
bersyukur kepada Allah atas setiap karunia yang telah di berikan padaku. Aku
sering merasa kekurangan yang pada hakikatnya aku hidup serba kecukupan, aku
selalu mendapatkan apa yang aku inginkan, aku lupa masih banyak sekali
orang-orang di luar sana yang hidup dengan serba kekurangan, namun mereka tidak
pernah mengeluh dan putus asa. Mereka bisa menerima keadaan dirinya dengan hati
yang ridho dan lapang.
Kini sudah menjadi rutinitasku untuk
mengunjungi Bu Marni di setiap akhir pekan, Bu Marni sangat bahagia dengan
kehadiranku.Setidaknya bisa mengurangi rasa kesepian yang ia alami.Teringat
sebuah cerita yang Bu Marni sampaikan kepadaku suatu ketika dulu.
"Nak Ilham sebenarnya ibu
memiliki seorang anak perempuan namanya Zahra. Sampai saat ini ibu tidak tahu
di mana keberadaannya. " ucap Bu Mirna memulai ceritanya.
"Zahra adalah anak yang penurut
dan baik, dia tidak pernah mengeluh dengan kehidupan yang di alami, semangatnya
yang luar biasa dan pantang menyarah membuat ia selalu mendapat ranking pertama
di kelasnya. Dari sekolah dasar hingga dia lulus SMA ia selalu mendapat bea
siswa. Bu Marni tidak pernah mengeluarkan uang sedikitpun untuk membiayai
sekolah Zahra. Sampai suatu hari ketika Zahra lulus sekolah dengan nilai yang
sangat cemerlang dan merupakan juara pertama setingkat DKI jakarta, Zahra
mendapatkan tawaran untuk melanjutkan sekolah keluar negara, dengan berat hati
ibu merelakan dan mengizinkan dia pergi, ibu ingin melihat dia menjadi orang
yang sukses di kemudian hari. Hari berganti hari, bulan berganti bulan ibu
selalu menunggu kabar dari nya, namun dari semenjak kepergiannya ibu tidak
pernah lagi mendengar kabar beritanya. Sudah hampir lima tahun dia pergi
meninggalkan ibu tanpa ada kabar berita. Ibu sangat rindu dengannya di setiap
sholat ibu selalu berdoa agar suatu hari bisa bertemu dengannya sebelum ibu
menutup mata untuk selamanya." Lanjut Bu Marni.
Butiran-butiran airmata mulai menetes
di wajah tua milik bu marni. Sedih tiada terkira di dalam hati ku melihat
keadaan bu marni saat itu. Kerinduan seorang ibu terhadap anaknya terlihat
jelas di matanya.
"Nak Ilham bolehkah ibu minta
tolong sama kamu. Tolong carikan Zahra untuk ibu. " tanya nya padaku
dengan penuh harap.
Kini airmata semakin deras mengalir
dari keduamatanya. Ingin aku memeluknya memberikan ketenangan di dalam hatinya
namun aku tidak bisa melakukan itu, ada syariat yang membatasi. Aku hanya bisa
menenangkan hatinya dengan kata-kata bujukan.
"Insya Allah bu, Ilham akan
bantu dan tolong ibu untuk mencari Zahra. Suatu saat nanti jika Allah
menghendaki Ilham akan membawa Zahra untuk menemui ibu. Sekarang ibu jangan
sedih lagi." ucapku dengan kata-kata pujukan dengan harapan bisa
menenangkan hati seorang ibu yang merintih karena menahan rindu.
Sejak saat itu aku bertekad di dalam
hatiku untuk mencari Zahra, meskipun aku tidak tau di mana keberadaan dia
sekarang. Bermodalkan sebuah foto dan cerita-cerita yang bu marni sampaikan,
aku memulai pencarian itu.
Sudah hampir satu bulan aku mencari
matlumat tentang keberadaan Zahra, dari
teman main hingga teman sekolahnya aku datangi hanya untuk mencari dan
mendapatkan informasi tentang zahra.
Aku sangat bersyukur kepada Allah
karena di beri kemudahan dalam pencarian ini, dari matlumat yang aku dapat
sekarang Zahra sudah ada di jakarta dan ia bekerja di salah satu perusahaan
yang besar di kota jakarta.
Yang membuat aku semakin bahagia aku kenal
salah satu teman sekantor Zahra yang merupakan teman sekampus dan sekaligus
adik sepupuku.
***
Sinar matahari dhuha yang begitu
cerah menyinari bumi Allah ini, kehangatan sang surya mampu mengusir rasa
kantuk yang tersisa di mataku, lambaian dedaunan yang bergerak bertasbih
mengagungkan kebesaran Illahi membawa angin kedamaian dan ketenangan kedalam
ruang hatiku. Ku langkahkan kakiku dengan pasti memasuki lobbi sebuah gedung
pencakar langit yang terkenal di bandar raya kota jakarta ini. Niat hatiku
sudah bulat untuk bertemu dengan Zahra anak dari bu Marni. Setelah sampai di
lantai 12 tempat di mana Zahra bekerja aku beranikan diri masuk ke dalam kantor
dan bertanya kepada resepsionis.
" assalamu'alaikum.."
ucapku memberi salam.
"wa'alaikumus salam, ada yang
bisa saya bantu?" Tanya nya padaku
"Mbak saya ingin bertemu dengan
Zahra, apakah dia ada?" tanyaku lagi
" ooh mbak zahra belum datang
lagi mas, apakah sebelumnya mas sudah ada janji?"
"Belum.. Tapi saya ada perkara
penting yang perlu saya sampaikan kepadanya." jawabku.
" kalau begitu silahkan Mas
boleh menunggunya di sana." ucap perempuan berkerudung itu dengan
menunjukan sebuah sofa yang terletak di ujung ruangan.
Kupandangi dekorasi ruangan kantor
itu dengan mata liarku, dekorasi yang indah bisikku dalam hati. Ruangan yang
tersusun rapi, aneka pot bunga yang tersusun indah di setiap sudut ruangan
menambah kemewahan dan keindahan ruangan kantor itu. Sedang leka menikmati
keindahan yang ada di depan mata, tiba-tiba terdengar suara menyapaku.
"Assalamu'alaikum Ilham.. "
sapanya padaku
"Wa'alaikumus salam Rizka dan
yang ini... Kalau tidak salah Zahra kan.. " tebakku pada seorang perempuan
yang berdiri tepat di sebelah Rizka.
Perempuan itu terlihat menganggukkan
kepalanya sebagai tanda bahwa tebakanku benar.
" Iya benar saya zahra, apakah
kita pernah bertemu sebelumnya?" Tanyanya padaku.
"Kita belum pernah bertemu tapi
saya sudah sering mendengar cerita tentang Zahra, dan tujuan saya kesini
sebenarnya untuk bertemu dengan Zahra, ada amanah yang sangat penting yang
harus saya sampaikan langsung ke Zahra." Ucapku.
"Apakah kita bisa berbicara di
luar kantor ini." lanjutku lagi.
Terlihat keraguan terpancar di
matanya, dia sepertinya enggan untuk menerima ajakanku. Rizka yang sudah
mengetahui maksudku mencoba untuk membujuk Zahra.
"Zahra.. Jangan takut Ilham
adalah sepupuku, dia datang kesini membawa amanah yang besar untuk di sampaikan
Zahra. Pergilah bersamanya." ucap Rizka mencoba untuk membujuk Zahra.
"Tapi..."
"Please zahra. This is very
urgent. Ini menyangkut nyawa seseorang. " ucapku dengan nada penuh harap.
"Baik...saya akan ikut kamu tapi
dengan satu syarat Rizka ikut dengan saya. " jawabnya dengan nada yang
ketus kepadaku
Tidak perlu kamu minta pun aku akan
mengajak Rizka. Bisikku di dalam hati.
Dia terlihat angkuh pada pandangan
mataku, senyuman tak pernah aku lihat terukir di bibirnya. Sungguh sangat berbeda
dengan Zahra yang Bu Marni ceritakan padaku. Mungkin inilah Zahra yang sudah
tertipu oleh kenikmatan dunia, Bisikku lirih di dalam hati
Di sebuah taman yang luas, aneka
pepohonan yang berdaun rindang, bunga-bunga yang berwarna-warni, dedaunan yang
basah karena sisa dari air hujan semalam semakin menambah keindahan dan
keasrian taman, aku langkahkan kaki ini mendekati sebuah bangku panjang yang terletak di sudut taman persis berada di
bawah pepohonan yang rindang.
"Ilham dan Zahra duduk saja di
bangku panjang itu, biar Rizka duduk disana. "ucap Rizka sambil menunjuk
kan tangannya pada sebuah bangku yang tidak jauh dari tempat kami berdiri
"Rizka di sini saja menemani
Zahra rasanya tidak baik kalau Ilham dan Zahra berduaan, tidak apa-apa nanti
Zahra dan Rizka duduk di bangku itu biar Ilham berdiri." ucapku pada
mereka berdua.
Rizka dan Zahra kini sudah duduk
bersebelahan di bangku panjang sedangkan aku berdiri persis di sebelah bangku
di dekat Rizka, aku tarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri mengumpulkan
segala kekuatan untuk memulai pembicaraan.
"Sebelumnya saya minta dengan
Zahra karena datang mencari Zahra secara mendadak, dan saya yakin Zahra sedikit
bingung dan sudah pasti bertanya-tanya tentang siapa saya dan apa maksud saya datang bertemu dengan Zahra. Untuk
pengetahuan Zahra sebenarnya saya sudah lama mencari Zahra untuk seseorang, dan
saya datang kesini karena ingin menyampaikan amanah dari seseorang yang sangat
berjasa dalam hidup Zahra.."
"Sadar juga rupanya. Sudahlah
Ilham to the point aja, apa sebenarnya amanah yang kamu maksud, aku tidak punya
waktu untuk membahas hal yang sia-sia. So semakin kamu cepat cerita maka
semakin cepat juga aku kembali ke kantor. " ucapnya kepadaku dengan nada
angkuh dan sinis
"Zahra... Aku datang kesini
karena membawa amanah dari seseorang yang bergelar ibu, seseorang yang banyak
berjasa untuk membesarkan anaknya, seorang ibu yang kini sedang menahan rindu
karena ingin bertemu dengan buah hatinya, seorang ibu yang rela tiap hari
meneteskan airmatanya meminta kepada Allah untuk kejayaan dan kesuksesan
anaknya. Seorang ibu yang tinggal digubuk tua yang hampir roboh. Seorang ibu
yang di sia-siakan anaknya yang sudah sukses dan berjaya. Seorang itu adalah Bu
Marni. Ya Bu Marni seorang ibu yang sangat tabah dan kuat meskipun pada
hakikatnya hatinya rapuh karena menahan rindu. Saya Yakin nama itu tidak asing
Zahra dengar. " ucapku panjang lebar.
"Apa maksud kamu, kenapa kamu
bilang nama itu tidak asing di telingaku, sedangkan namanya saja baru aku
dengar sekarang ini, dan aku sama sekali tidak pernah mengenalnya." Kini
nada suaranya mulai meninggi, mendengar apa yang di ucapkannya seketika aku
menoleh dan tersenyum sinis kearahnya.
"Jangan angkuh dan sombong Zahra
mengakui kenyataan, jangan hanya karena uang dan kemewahan Zahra jadi lupa di
mana Zahra berpijak kini, ingat Zahra dunia adalah tempat persinggahan, jangan
jadi terhina demi mengejar dunia. saya tau dan sudah lama tau bahwa Bu Marni
merupakan ibu kandung Zahra kan? Ibu yang sudah merawat dan membesarkan Zahra?
" tanyaku dengan nada cukup tinggi.
"Stop it Ilham, you don't know
about me, and for your information Ibu dan ayah aku sudah lama mati...!
"ucapnya masih dengan nada angkuh dan sombong.
" Rizka sepertinya aku harus
cepat kembali ke kantor aku tidak mau membuang waktuku hanya untuk membicarakan
hal-hal yang tidak penting." Ucapnya lagi sambil menarik tangan Rizka
untuk berdiri. Rizka yang sedari tadi hanya menjadi pendengar sejati terlihat
ragu-ragu untuk memenuhi permintaan Zahra.
Aku benar- benar kesal dengan sikap
Zahra, kemarahanku padanya sudah di tahap maksimal, ingin rasanya aku luahkan
rasa marahku namun ku coba tetap bertenang menghadapi hamba Allah yang hatinya
sudah menjadi sekeras batu. Aku tarik nafas dalam-dalam, aku ucapkan istighfar
beberapa kali memohon kekuatan kepada Allah.
"Please don't leave this place,
I need to talk with you. This is very urgent. Jika Zahra tidak ingin menyesal
seumur hidup, dengarkan apa yang akan saya sampaikan dan pikirkanlah jika Zahra
masih punya hati dan perasaan. " ucapku dengan sedikit ketenangan
"Zahra, sejauh mana Zahra
berlari dan memungkiri kenyataan itu sedikitpun tidak akan merubah takdir yang
Allah telah gariskan untuk Zahra. Jangan jadi sombong dan angkuh, coba fikir
dan renungkan untuk apa Zahra sekolah tinggi-tinggi keluar negeri tapi bukan
menjadi orang yang pintar tapi malah menjadi orang yang sangat bodoh. Karena
hanya orang-orang bodoh sajalah yang tidak mengetahui asal-usulnya, hanya orang
bodoh sajalah yang tidak mau mengakui dan menghargai jasa ibunya. Tanpa seorang
Ibu Zahra tidak akan ada di dunia dan tanpa seorang Ibu, kita tidak akan jadi
apa-apa. Jangan jadi bodoh karena keangkuhan dan kesombongan Zahra. Sebelum
terlambat dan sebelum pintu syurga tertutup untuk Zahra, bersegeralah memohon
ampunan kepada Allah, perbanyak istighfar, temui seseorang yang telah lama
Zahra abaikan, minta maaf kepadanya, sebelum kesempatan itu tertutup rapat
untuk Zahra." ucapku panjang lebar tanpa sedikitpun memberi ruang untuk
Zahra memotong pembicaraanku.
"Rizka, Ilham pergi dulu
sepertinya Ilham gagal, Ilham belum bisa melembutkan hati yang sudah keras
seperti batu. Tolong Rizka nasehati teman Rizka dan berikan alamat Rumah Sakit
ini padanya. Katakan padanya bahwa ibunya sedang kritikal yang 'bila-bila masa
ruh itu akan lepas dari jazadnya.'" ucapku pada Rizka yang pada hakikatnya
aku tujukan langsung untuk Zahra.
***
Malam kian gelap, senja merah di ufuk
barat tidak lagi terlihat. Cahaya matahari telah berganti dengan cahaya bulan
bintang. Kelap-kelip lampu jalanan menjadi hiasan malam di kota metropolitan.
Seminggu sudah berlalu semenjak
kejadian itu, hati Zahra sudah terlalu keras untuk aku lembutkan hanya Allah
saja yang bisa melembutkan hatinya kini. Kesal, kecewa, sedih sudah tidak
terluahkan oleh kata-kata. Kini keadaan Bu Marni pun semakin parah sudah hampir
seminggu ini dia tidak sedarkan diri, dokter memvonis bahwa usianya tidak lama
pagi, kanker otak yang di deritanya sudah sampai tahap stadium akhir.
Selama di rumah sakit akulah yang
menjaganya, sepulang dari kantor aku selalu datang menjenguknya dan menemaninya
hingga keesokkan harinya. Aku tidak tega membiarkan dia sendirian tanpa teman
dan saudara.
Ku pergegas langkahku memasuki
halaman rumah sakit setelah aku memarkirkan mobilku di tempat parkir. Hari ini
aku datang agak terlambat karena seharian aku sibuk dengan projek perusahaan
tempat aku bekerja.
Suasana rumah sakit sudah mulai sepi,
ku lihat jam di pegelangan tanganku sudah menunjukan pukul 8 malam. Ku percepat
langkahku menaiki anak tangga menuju lantai 4 tempat di mana bu Marni kini di
rawat, di luar luar ruangan terdengar samar-samar suara tangisan seorang
perempuan, di dalam hatiku bertanya-tanya siapa gerangan yang menangis apakah
bu Marni sudar sadar? Pikirku. Semakin aku mendekati pintu itu semakin kuat
suara tangisan aku dengar. 'Yah.. Suara itu dari dalam ruangan bu Marni di
rawat.' bisikku lagi.
Langkahku berhenti seketika ketika ku
lihat dari luar pintu seorang perempuan sedang menangis tepat di sisi Bu Marni
yang masih terbujur kaku. Ku urangkan niatku untuk masuk kedalam aku memilih
untuk melihat dan memperhatikan adegan itu dari luar, dan aku sangat yakin
perempuan yang sedang menangis itu adalah Zahra.
"Bu, Maafkan Zahra, terlalu
banyak dosa Zahra pada ibu.." terdengar suara Zahra di sela-sela esakan
tangisnya
" Zahra sudah menjadi anak yang
durhaka, Zahra anak yang tidak tau balas budi, Zahra anak yang tidak tau
berterimakasih, Zahra angkuh, Zahra bodoh, Zahra sombong. Zahra sendiri tidak
tau ibu kenapa sikap Zahra berubah seperti ini. Zahra malu mengakui ibu sebagai
ibu kandung Zahra, Zahra malu mengakui bahwa Zahra berasal dari keluarga
miskin. "
"Maafkan Zahra yang telah
menyia-nyiakan ibu, maafkan Zahra yang telah membuat ibu sedih, maafkan Zahra
yang membiarkan ibu sendirian menahan peritnya rindu. Bangunlah ibu ini Zahra
datang, Zahra ingin berlutut di kaki ibu memohon ampun atas kesalahan yang
telah Zahra buat pada ibu, Bangun ibu.. Jangan diam saja, Zahra rindu mendengar
suara ibu. Berilah kesempatan pada Zahra sekali lagi untuk menjaga dan
menyayangi ibu sepenuh hati Zahra, Bangun ibu.. Beri Zahra kesempatan untuk
menjadi anak yang berbakti pada ibu.. Berilah Zahra kesempatan untuk menebus
dosa-dosa Zahra pada ibu... "Zahra terlihat menggocang-goncangkan badan
ibunya. Esakan tangisnya masih terdengar jelas dari luar ruangan.
"Zahra...." tiba-tiba
terdengar suara yang memanggil nama Zahra dengan suara yang sangat lirih, aku
coba mengintip dari pintu yang tidak tertutup rapat, ternyata tebakkanku tidak
salah suara itu adalah suara Bu Marni seketika ku ucapkan Alhamdulillah sebagai
bentuk syukurku kepada Allah karena Bu Marni sudah sadar.
"Benarkah ini Zahra..."
ucapnya lagi dengan suara lemah.
"Ibu tidak sedang mimpi
kan?" lanjutnya lagi
"Benar ibu ini Zahra anak ibu.
Zahra datang untuk Ibu. Maafkan Zahra ibu..." seketika Zahra mencium
tangan ibunya dan mencium kedua pipinya dengan perasaan yang sangat bahagia.
Bukan itu saja Zahra juga mencium kedua kaki ibunya, zahra menangis
sejadi-jadinya sambil memeluk kedua kaki ibu nya.
"Ibu maafkan Zahra..."
ucapnya
"Zahra..sini nak ibu ingin
memeluk Zahra untuk yang terakhir kalinya." ucapnya.
Mendengar namanya di panggil dia
mendekati ibunya dan memeluk ibunya dengan sangat erat, mata tua milik bu marni
sudah tidak bisa menahan tangis. Akhirnya rindu yang selama ini ia tahan
terlerai sudah dengan memeluk sang buah hati. Ia tidak peduli dengan apa yang
sudah anaknya lakukan, dia tidak peduli lagi dengan kesalahan yang telah di
perbuat anaknya. Yang ia rasa kini adalah anaknya telah kembali dan rindu di
dalam hati sudah terobati.
Semakin erat Bu Marni memeluk
anaknya, beberapa kali anaknya di cium dengan penuh kasih sayang. Semakin erat
Bu Marni memeluknya semakin erat juga pelukan Zahra. "Maafkanlah Zahra Ibu
dari ujung rambut dari hujung kaki.." bisik Zahra di telinga ibunya.
"Ibu sudah maafkan Zahra, nak..
Tolong sampaikan terimakasih ibu pada
Ilham, dia sudah terlalu banyak berjasa dengan ibu, ucapakan terimakasih juga
karena sudah mengembalikan Zahra kedalam pelukan ibu. "ucapnya dengan
suara yang sangat lirih.
Di belakang pintu aku tak kuasa
menahan airmata ini. Aku begitu terharu melihat pertemuan mereka. Ku hapus
airmata yang menetes dengan kedua tanganku. Subhanallah betapa Sang ibu dengan
begitu ikhlasnya memaafkan anaknya.
"Ibu...Ibu..Ibu.. Bangun bu
jangan tinggalkan Zahra sendirian."
Teriakan Zahra mengagetkanku, dengan
pantas aku buka pintu yang sedari tadi tidak tertutup rapat. Aku lihat Zahra masih
memanggil ibunya sambil memegang bahu sang ibu dan menggocangkannya.
"Zahra... Kenapa dengan ibu
Marni?" tanyaku.
Pertanyaanku tidak di jawab oleh nya.
Zahra semakin kalap memanggil nama ibunya dengan airmata yang terus mengalir
dari pipinya.
"ibu.. Jangan tinggalkan Zahra
sendirian, bangun bu.. Zahra butuh ibu, kenapa ibu tidak memberi kesempatan
untuk Zahra memperbaiki kesalahan Zahra.. Ibu.."
Tangisan Zahra semakin menjadi-jadi,
rintihan tangisnya terdengar sangat pilu. Aku dekati Zahra yang kini sudah
memeluk tubuh ibunya yang terbujur kaku tak bernyawa. Kini aku berdiri tepat di
ujung kaki bu marni.
"Sudahlah Zahra...Izinkan Bu
Marni pergi, Allah lebih menyayanginya. Bu Marni sudah lama menderita. Yang
bisa kita lakukan sekarang adalah ikhlas dan doakan semoga Allah mengampuni
kesalahan-kesalahannya. Dan menempatkannya bersama dengan orang-orang yang
shalih." ucapku coba membujuk Zahra.
"Tapi Ilham... Aku belum sempat
berbuat baik padanya..."
"Insya Allah Zahra masih bisa
berbuat baik pada ibu meskipun dia sudah tidak ada, Zahra bisa mendoakannya
setiap saat. Insya Allah doa anak yang shalih akan di terima oleh
Allah.."ucapku lagi.
Aku melihat sedikit-sedikit suara
tangisan Zahra semakin reda.
"Ilham.. Maafkan Zahra yah.
Mungkin sekarang Ilham muak kan lihat Zahra. Terimakasih Ilham telah
menyadarkan Zahra betapa banyak kesalahan yang Zahra telah lakukan, entah Zahra
pun tidak tahu kenapa Zahra sangatlah sombong, angkuh dan congkak. Hati Zahra jadi
lebih keras dari batu. Sekali lagi terimakasih karena sudah mengingatkan Zahra
tentang hakikat hidup yang sesungguhnya. Please forgive me from top to
toe.." ucapnya padaku.
"Zahra tidak perlu minta maaf
sama Ilham, Zahra minta maaflah kepada Allah. Ilham bahagia karena melihat
Zahra sekarang. Maaf kan Ilham juga yah.." ucapku padanya.
TAMAT...
Untuk menutup cerpen ini aku akan
menulis sebuah puisi khas untuk seseorang yang bergelar ibu.
Ibu..
Sembilan bulan aku di dalam rahimmu
Saat engkau sarat mengandungku
Tidurmu tak nyenyak
Langkahmu semakin berat
Berdirimu pun kian payah
Namun sedikit pun engkau tak pernah
mengeluh
Malah senyuman semakin manis saat
engkau membelaiku
Untaian doa terus mengalir dari
bibirmu
Perjuanganmu saat melahirkanku tak
kan pernah terbayar oleh ruang dan waktu
Titik peluhnya yang menetes tidak
mampu aku balas dengan mutiara ataupun emas
Engkau bersimbah darah waktu itu
Sekali lagi engkau tidak pernah
mengeluh sakit malah airmata bahagia menitis di pipimu saat engkau mendengar
tangisanku
Dua tahun engkau menyusuiku.
Tidur malammu tak pernah lena karena
tangisanku
Kesabaranmu menghadapi kerenahku tak
membuatmu mengeluh
Belaian lembut tanganmu
Senyuman manis dari bibirmu..
Untaian doamu untuk kebahagiaanku tak
pernah luput dari lisanmu
Engkau tak pernah jijik membersihkan
kotoran-kotoranku..
Namun kini..
Ketika aku sudah dewasa..
Aku sering menyakitimu
Kata-kataku tak jarang membuatmu
menangis
Tingkah lakuku sering menyakiti
hatimu.
Bukan itu saja jika kemauanku tidak
engkau penuhi maka cacian dan makian sering keluar dari mulutku
Bahkan tanpa aku sadari maupun aku
sadari sering kali aku menjadikanmu sebagai pembantuku
Makan engkau siapkan
Minum engkau ambilkan
Jarang sekali bibir ini mengucapkan
kata terimakasih padamu
Jarang sekali lisan ini mengucapkan
aku sayang padamu
Padahal Rabbku menyuruhku agar
senantiasa berbuat baik kepadamu
Padahal aku sadar bahwa pintu syurga
ada bersamamu
Namun aku lalai..
Maafkan anakmu ibu...
Yang sering menyakitimu
Maafkan anakmu ibu
Yang belum bisa membahagianku
Jasamu tak dapat ku ganti dengan harta
dan nyawaku
Pengorbananmu tak bisa ku balas
dengan uang rupiahku
Tetesan keringatmu tak akan
terbayarkan oleh mutiara ataupun berlian
Ya Allah..jagalah kedua orang tuaku
Bahagiakanlah mereka di dunia di
akhirat-Mu
Berkahilah umurnya…
Wafatkanlah ia dalam keadaan khusnul
khatimah
Robbighfirlii wali-wali dayya
warhamhuma kamaa robbayaani shaghiraa