Senin, 18 Mei 2015

Kerinduan Seorang Ibu (Cerpen)

Di sebuah pondok usang di pinggiran kota jakarta tinggal seorang ibu yang hidup sebatang kara tanpa anak dan saudara. Ibu Marni biasa aku memanggilnya, untuk memenuhi kehidupannya Bu Marni mencari dan mengumpulkan barang bekas yang tiap hari ia pungut dari tempat-tempat sampah yang tidak jauh dari rumahnya.
Dua tahun yang lalu saat pertama kali aku mengenalnya. Saat itu di siang hari yang sangat cerah, ketika matahari begitu teriknya menyinari bumi, aku lihat Bu marni berjalan tertatih-tatih dengan membawa karung yang berisikan barang-barang bekas di belakang punggungnya. Entah kenapa hatiku sangat  tersentuh melihatnya, tanpa berpikir panjang aku mendekatinya dan membantu membawakan karung tersebut. Betapa miris hati ini ketika melihat rumah yang ia tempati, sebuah gubug yang menurutku tidak layak sekali untuk di tempati, atap rumah yang hampir roboh, dinding rumah yang hanya menggunakan tempelan karton-karton bekas. Sungguh suatu tempat yang amat tidak layak untuk di tempati oleh manusia. Apabila hari hujan sudah pasti ia akan kehujanan dan kedinginan. melihat pemandangan itu tiba-tiba airmataku mengalir dengan sendirinya.
Mengenalinya membuat aku mengerti apa hakikat hidup sesungguhnya. Kesabaran dan ketabahan hati yang di miliki nya membuat aku malu pada diriku sendiri. Betapa diri ini jarang sekali untuk bersyukur kepada Allah atas setiap karunia yang telah di berikan padaku. Aku sering merasa kekurangan yang pada hakikatnya aku hidup serba kecukupan, aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan, aku lupa masih banyak sekali orang-orang di luar sana yang hidup dengan serba kekurangan, namun mereka tidak pernah mengeluh dan putus asa. Mereka bisa menerima keadaan dirinya dengan hati yang ridho dan lapang.
Kini sudah menjadi rutinitasku untuk mengunjungi Bu Marni di setiap akhir pekan, Bu Marni sangat bahagia dengan kehadiranku.Setidaknya bisa mengurangi rasa kesepian yang ia alami.Teringat sebuah cerita yang Bu Marni sampaikan kepadaku suatu ketika dulu.
"Nak Ilham sebenarnya ibu memiliki seorang anak perempuan namanya Zahra. Sampai saat ini ibu tidak tahu di mana keberadaannya. " ucap Bu Mirna memulai ceritanya.
"Zahra adalah anak yang penurut dan baik, dia tidak pernah mengeluh dengan kehidupan yang di alami, semangatnya yang luar biasa dan pantang menyarah membuat ia selalu mendapat ranking pertama di kelasnya. Dari sekolah dasar hingga dia lulus SMA ia selalu mendapat bea siswa. Bu Marni tidak pernah mengeluarkan uang sedikitpun untuk membiayai sekolah Zahra. Sampai suatu hari ketika Zahra lulus sekolah dengan nilai yang sangat cemerlang dan merupakan juara pertama setingkat DKI jakarta, Zahra mendapatkan tawaran untuk melanjutkan sekolah keluar negara, dengan berat hati ibu merelakan dan mengizinkan dia pergi, ibu ingin melihat dia menjadi orang yang sukses di kemudian hari. Hari berganti hari, bulan berganti bulan ibu selalu menunggu kabar dari nya, namun dari semenjak kepergiannya ibu tidak pernah lagi mendengar kabar beritanya. Sudah hampir lima tahun dia pergi meninggalkan ibu tanpa ada kabar berita. Ibu sangat rindu dengannya di setiap sholat ibu selalu berdoa agar suatu hari bisa bertemu dengannya sebelum ibu menutup mata untuk selamanya." Lanjut Bu Marni.
Butiran-butiran airmata mulai menetes di wajah tua milik bu marni. Sedih tiada terkira di dalam hati ku melihat keadaan bu marni saat itu. Kerinduan seorang ibu terhadap anaknya terlihat jelas di matanya.
"Nak Ilham bolehkah ibu minta tolong sama kamu. Tolong carikan Zahra untuk ibu. " tanya nya padaku dengan penuh harap.
Kini airmata semakin deras mengalir dari keduamatanya. Ingin aku memeluknya memberikan ketenangan di dalam hatinya namun aku tidak bisa melakukan itu, ada syariat yang membatasi. Aku hanya bisa menenangkan hatinya dengan kata-kata bujukan.
"Insya Allah bu, Ilham akan bantu dan tolong ibu untuk mencari Zahra. Suatu saat nanti jika Allah menghendaki Ilham akan membawa Zahra untuk menemui ibu. Sekarang ibu jangan sedih lagi." ucapku dengan kata-kata pujukan dengan harapan bisa menenangkan hati seorang ibu yang merintih karena menahan rindu.
Sejak saat itu aku bertekad di dalam hatiku untuk mencari Zahra, meskipun aku tidak tau di mana keberadaan dia sekarang. Bermodalkan sebuah foto dan cerita-cerita yang bu marni sampaikan, aku memulai pencarian itu.
Sudah hampir satu bulan aku mencari matlumat tentang keberadaan Zahra,  dari teman main hingga teman sekolahnya aku datangi hanya untuk mencari dan mendapatkan informasi tentang zahra.
Aku sangat bersyukur kepada Allah karena di beri kemudahan dalam pencarian ini, dari matlumat yang aku dapat sekarang Zahra sudah ada di jakarta dan ia bekerja di salah satu perusahaan yang besar di kota jakarta.
 Yang membuat aku semakin bahagia aku kenal salah satu teman sekantor Zahra yang merupakan teman sekampus dan sekaligus adik sepupuku.
***
Sinar matahari dhuha yang begitu cerah menyinari bumi Allah ini, kehangatan sang surya mampu mengusir rasa kantuk yang tersisa di mataku, lambaian dedaunan yang bergerak bertasbih mengagungkan kebesaran Illahi membawa angin kedamaian dan ketenangan kedalam ruang hatiku. Ku langkahkan kakiku dengan pasti memasuki lobbi sebuah gedung pencakar langit yang terkenal di bandar raya kota jakarta ini. Niat hatiku sudah bulat untuk bertemu dengan Zahra anak dari bu Marni. Setelah sampai di lantai 12 tempat di mana Zahra bekerja aku beranikan diri masuk ke dalam kantor dan bertanya kepada resepsionis.
" assalamu'alaikum.." ucapku memberi salam.
"wa'alaikumus salam, ada yang bisa saya bantu?" Tanya nya padaku
"Mbak saya ingin bertemu dengan Zahra, apakah dia ada?" tanyaku lagi
" ooh mbak zahra belum datang lagi mas, apakah sebelumnya mas sudah ada janji?"
"Belum.. Tapi saya ada perkara penting yang perlu saya sampaikan kepadanya." jawabku.
" kalau begitu silahkan Mas boleh menunggunya di sana." ucap perempuan berkerudung itu dengan menunjukan sebuah sofa yang terletak di ujung ruangan.
Kupandangi dekorasi ruangan kantor itu dengan mata liarku, dekorasi yang indah bisikku dalam hati. Ruangan yang tersusun rapi, aneka pot bunga yang tersusun indah di setiap sudut ruangan menambah kemewahan dan keindahan ruangan kantor itu. Sedang leka menikmati keindahan yang ada di depan mata, tiba-tiba terdengar suara menyapaku.
"Assalamu'alaikum Ilham.. " sapanya padaku
"Wa'alaikumus salam Rizka dan yang ini... Kalau tidak salah Zahra kan.. " tebakku pada seorang perempuan yang berdiri tepat di sebelah Rizka.
Perempuan itu terlihat menganggukkan kepalanya sebagai tanda bahwa tebakanku benar.
" Iya benar saya zahra, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" Tanyanya padaku.
"Kita belum pernah bertemu tapi saya sudah sering mendengar cerita tentang Zahra, dan tujuan saya kesini sebenarnya untuk bertemu dengan Zahra, ada amanah yang sangat penting yang harus saya sampaikan langsung ke Zahra." Ucapku.
"Apakah kita bisa berbicara di luar kantor ini." lanjutku lagi.
Terlihat keraguan terpancar di matanya, dia sepertinya enggan untuk menerima ajakanku. Rizka yang sudah mengetahui maksudku mencoba untuk membujuk Zahra.
"Zahra.. Jangan takut Ilham adalah sepupuku, dia datang kesini membawa amanah yang besar untuk di sampaikan Zahra. Pergilah bersamanya." ucap Rizka mencoba untuk membujuk Zahra.
"Tapi..."
"Please zahra. This is very urgent. Ini menyangkut nyawa seseorang. " ucapku dengan nada penuh harap.
"Baik...saya akan ikut kamu tapi dengan satu syarat Rizka ikut dengan saya. " jawabnya dengan nada yang ketus kepadaku
Tidak perlu kamu minta pun aku akan mengajak Rizka. Bisikku di dalam hati.
Dia terlihat angkuh pada pandangan mataku, senyuman tak pernah aku lihat terukir di bibirnya. Sungguh sangat berbeda dengan Zahra yang Bu Marni ceritakan padaku. Mungkin inilah Zahra yang sudah tertipu oleh kenikmatan dunia, Bisikku lirih di dalam hati
Di sebuah taman yang luas, aneka pepohonan yang berdaun rindang, bunga-bunga yang berwarna-warni, dedaunan yang basah karena sisa dari air hujan semalam semakin menambah keindahan dan keasrian taman, aku langkahkan kaki ini mendekati sebuah bangku panjang  yang terletak di sudut taman persis berada di bawah pepohonan yang rindang.
"Ilham dan Zahra duduk saja di bangku panjang itu, biar Rizka duduk disana. "ucap Rizka sambil menunjuk kan tangannya pada sebuah bangku yang tidak jauh dari tempat kami berdiri
"Rizka di sini saja menemani Zahra rasanya tidak baik kalau Ilham dan Zahra berduaan, tidak apa-apa nanti Zahra dan Rizka duduk di bangku itu biar Ilham berdiri." ucapku pada mereka berdua.
Rizka dan Zahra kini sudah duduk bersebelahan di bangku panjang sedangkan aku berdiri persis di sebelah bangku di dekat Rizka, aku tarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri mengumpulkan segala kekuatan untuk memulai pembicaraan.
"Sebelumnya saya minta dengan Zahra karena datang mencari Zahra secara mendadak, dan saya yakin Zahra sedikit bingung dan sudah pasti bertanya-tanya tentang siapa saya dan apa maksud  saya datang bertemu dengan Zahra. Untuk pengetahuan Zahra sebenarnya saya sudah lama mencari Zahra untuk seseorang, dan saya datang kesini karena ingin menyampaikan amanah dari seseorang yang sangat berjasa dalam hidup Zahra.."
"Sadar juga rupanya. Sudahlah Ilham to the point aja, apa sebenarnya amanah yang kamu maksud, aku tidak punya waktu untuk membahas hal yang sia-sia. So semakin kamu cepat cerita maka semakin cepat juga aku kembali ke kantor. " ucapnya kepadaku dengan nada angkuh dan sinis
"Zahra... Aku datang kesini karena membawa amanah dari seseorang yang bergelar ibu, seseorang yang banyak berjasa untuk membesarkan anaknya, seorang ibu yang kini sedang menahan rindu karena ingin bertemu dengan buah hatinya, seorang ibu yang rela tiap hari meneteskan airmatanya meminta kepada Allah untuk kejayaan dan kesuksesan anaknya. Seorang ibu yang tinggal digubuk tua yang hampir roboh. Seorang ibu yang di sia-siakan anaknya yang sudah sukses dan berjaya. Seorang itu adalah Bu Marni. Ya Bu Marni seorang ibu yang sangat tabah dan kuat meskipun pada hakikatnya hatinya rapuh karena menahan rindu. Saya Yakin nama itu tidak asing Zahra dengar. " ucapku panjang lebar.
"Apa maksud kamu, kenapa kamu bilang nama itu tidak asing di telingaku, sedangkan namanya saja baru aku dengar sekarang ini, dan aku sama sekali tidak pernah mengenalnya." Kini nada suaranya mulai meninggi, mendengar apa yang di ucapkannya seketika aku menoleh dan tersenyum sinis kearahnya.
"Jangan angkuh dan sombong Zahra mengakui kenyataan, jangan hanya karena uang dan kemewahan Zahra jadi lupa di mana Zahra berpijak kini, ingat Zahra dunia adalah tempat persinggahan, jangan jadi terhina demi mengejar dunia. saya tau dan sudah lama tau bahwa Bu Marni merupakan ibu kandung Zahra kan? Ibu yang sudah merawat dan membesarkan Zahra? " tanyaku dengan nada cukup tinggi.
"Stop it Ilham, you don't know about me, and for your information Ibu dan ayah aku sudah lama mati...! "ucapnya masih dengan nada angkuh dan sombong.
" Rizka sepertinya aku harus cepat kembali ke kantor aku tidak mau membuang waktuku hanya untuk membicarakan hal-hal yang tidak penting." Ucapnya lagi sambil menarik tangan Rizka untuk berdiri. Rizka yang sedari tadi hanya menjadi pendengar sejati terlihat ragu-ragu untuk memenuhi permintaan Zahra.
Aku benar- benar kesal dengan sikap Zahra, kemarahanku padanya sudah di tahap maksimal, ingin rasanya aku luahkan rasa marahku namun ku coba tetap bertenang menghadapi hamba Allah yang hatinya sudah menjadi sekeras batu. Aku tarik nafas dalam-dalam, aku ucapkan istighfar beberapa kali memohon kekuatan kepada Allah.
"Please don't leave this place, I need to talk with you. This is very urgent. Jika Zahra tidak ingin menyesal seumur hidup, dengarkan apa yang akan saya sampaikan dan pikirkanlah jika Zahra masih punya hati dan perasaan. " ucapku dengan sedikit ketenangan
"Zahra, sejauh mana Zahra berlari dan memungkiri kenyataan itu sedikitpun tidak akan merubah takdir yang Allah telah gariskan untuk Zahra. Jangan jadi sombong dan angkuh, coba fikir dan renungkan untuk apa Zahra sekolah tinggi-tinggi keluar negeri tapi bukan menjadi orang yang pintar tapi malah menjadi orang yang sangat bodoh. Karena hanya orang-orang bodoh sajalah yang tidak mengetahui asal-usulnya, hanya orang bodoh sajalah yang tidak mau mengakui dan menghargai jasa ibunya. Tanpa seorang Ibu Zahra tidak akan ada di dunia dan tanpa seorang Ibu, kita tidak akan jadi apa-apa. Jangan jadi bodoh karena keangkuhan dan kesombongan Zahra. Sebelum terlambat dan sebelum pintu syurga tertutup untuk Zahra, bersegeralah memohon ampunan kepada Allah, perbanyak istighfar, temui seseorang yang telah lama Zahra abaikan, minta maaf kepadanya, sebelum kesempatan itu tertutup rapat untuk Zahra." ucapku panjang lebar tanpa sedikitpun memberi ruang untuk Zahra memotong pembicaraanku.
"Rizka, Ilham pergi dulu sepertinya Ilham gagal, Ilham belum bisa melembutkan hati yang sudah keras seperti batu. Tolong Rizka nasehati teman Rizka dan berikan alamat Rumah Sakit ini padanya. Katakan padanya bahwa ibunya sedang kritikal yang 'bila-bila masa ruh itu akan lepas dari jazadnya.'" ucapku pada Rizka yang pada hakikatnya aku tujukan langsung untuk Zahra.
***
Malam kian gelap, senja merah di ufuk barat tidak lagi terlihat. Cahaya matahari telah berganti dengan cahaya bulan bintang. Kelap-kelip lampu jalanan menjadi hiasan malam di kota metropolitan.
Seminggu sudah berlalu semenjak kejadian itu, hati Zahra sudah terlalu keras untuk aku lembutkan hanya Allah saja yang bisa melembutkan hatinya kini. Kesal, kecewa, sedih sudah tidak terluahkan oleh kata-kata. Kini keadaan Bu Marni pun semakin parah sudah hampir seminggu ini dia tidak sedarkan diri, dokter memvonis bahwa usianya tidak lama pagi, kanker otak yang di deritanya sudah sampai tahap stadium akhir.
Selama di rumah sakit akulah yang menjaganya, sepulang dari kantor aku selalu datang menjenguknya dan menemaninya hingga keesokkan harinya. Aku tidak tega membiarkan dia sendirian tanpa teman dan saudara.
Ku pergegas langkahku memasuki halaman rumah sakit setelah aku memarkirkan mobilku di tempat parkir. Hari ini aku datang agak terlambat karena seharian aku sibuk dengan projek perusahaan tempat aku bekerja.
Suasana rumah sakit sudah mulai sepi, ku lihat jam di pegelangan tanganku sudah menunjukan pukul 8 malam. Ku percepat langkahku menaiki anak tangga menuju lantai 4 tempat di mana bu Marni kini di rawat, di luar luar ruangan terdengar samar-samar suara tangisan seorang perempuan, di dalam hatiku bertanya-tanya siapa gerangan yang menangis apakah bu Marni sudar sadar? Pikirku. Semakin aku mendekati pintu itu semakin kuat suara tangisan aku dengar. 'Yah.. Suara itu dari dalam ruangan bu Marni di rawat.' bisikku lagi.
Langkahku berhenti seketika ketika ku lihat dari luar pintu seorang perempuan sedang menangis tepat di sisi Bu Marni yang masih terbujur kaku. Ku urangkan niatku untuk masuk kedalam aku memilih untuk melihat dan memperhatikan adegan itu dari luar, dan aku sangat yakin perempuan yang sedang menangis itu adalah Zahra.
"Bu, Maafkan Zahra, terlalu banyak dosa Zahra pada ibu.." terdengar suara Zahra di sela-sela esakan tangisnya
" Zahra sudah menjadi anak yang durhaka, Zahra anak yang tidak tau balas budi, Zahra anak yang tidak tau berterimakasih, Zahra angkuh, Zahra bodoh, Zahra sombong. Zahra sendiri tidak tau ibu kenapa sikap Zahra berubah seperti ini. Zahra malu mengakui ibu sebagai ibu kandung Zahra, Zahra malu mengakui bahwa Zahra berasal dari keluarga miskin. "
"Maafkan Zahra yang telah menyia-nyiakan ibu, maafkan Zahra yang telah membuat ibu sedih, maafkan Zahra yang membiarkan ibu sendirian menahan peritnya rindu. Bangunlah ibu ini Zahra datang, Zahra ingin berlutut di kaki ibu memohon ampun atas kesalahan yang telah Zahra buat pada ibu, Bangun ibu.. Jangan diam saja, Zahra rindu mendengar suara ibu. Berilah kesempatan pada Zahra sekali lagi untuk menjaga dan menyayangi ibu sepenuh hati Zahra, Bangun ibu.. Beri Zahra kesempatan untuk menjadi anak yang berbakti pada ibu.. Berilah Zahra kesempatan untuk menebus dosa-dosa Zahra pada ibu... "Zahra terlihat menggocang-goncangkan badan ibunya. Esakan tangisnya masih terdengar jelas dari luar ruangan.
"Zahra...." tiba-tiba terdengar suara yang memanggil nama Zahra dengan suara yang sangat lirih, aku coba mengintip dari pintu yang tidak tertutup rapat, ternyata tebakkanku tidak salah suara itu adalah suara Bu Marni seketika ku ucapkan Alhamdulillah sebagai bentuk syukurku kepada Allah karena Bu Marni sudah sadar.
"Benarkah ini Zahra..." ucapnya lagi dengan suara lemah.
"Ibu tidak sedang mimpi kan?" lanjutnya lagi
"Benar ibu ini Zahra anak ibu. Zahra datang untuk Ibu. Maafkan Zahra ibu..." seketika Zahra mencium tangan ibunya dan mencium kedua pipinya dengan perasaan yang sangat bahagia. Bukan itu saja Zahra juga mencium kedua kaki ibunya, zahra menangis sejadi-jadinya sambil memeluk kedua kaki ibu nya.
"Ibu maafkan Zahra..." ucapnya
"Zahra..sini nak ibu ingin memeluk Zahra untuk yang terakhir kalinya." ucapnya.
Mendengar namanya di panggil dia mendekati ibunya dan memeluk ibunya dengan sangat erat, mata tua milik bu marni sudah tidak bisa menahan tangis. Akhirnya rindu yang selama ini ia tahan terlerai sudah dengan memeluk sang buah hati. Ia tidak peduli dengan apa yang sudah anaknya lakukan, dia tidak peduli lagi dengan kesalahan yang telah di perbuat anaknya. Yang ia rasa kini adalah anaknya telah kembali dan rindu di dalam hati sudah terobati.
Semakin erat Bu Marni memeluk anaknya, beberapa kali anaknya di cium dengan penuh kasih sayang. Semakin erat Bu Marni memeluknya semakin erat juga pelukan Zahra. "Maafkanlah Zahra Ibu dari ujung rambut dari hujung kaki.." bisik Zahra di telinga ibunya.
"Ibu sudah maafkan Zahra, nak.. Tolong sampaikan  terimakasih ibu pada Ilham, dia sudah terlalu banyak berjasa dengan ibu, ucapakan terimakasih juga karena sudah mengembalikan Zahra kedalam pelukan ibu. "ucapnya dengan suara yang sangat lirih.
Di belakang pintu aku tak kuasa menahan airmata ini. Aku begitu terharu melihat pertemuan mereka. Ku hapus airmata yang menetes dengan kedua tanganku. Subhanallah betapa Sang ibu dengan begitu ikhlasnya memaafkan anaknya.
"Ibu...Ibu..Ibu.. Bangun bu jangan tinggalkan Zahra sendirian."
Teriakan Zahra mengagetkanku, dengan pantas aku buka pintu yang sedari tadi tidak tertutup rapat. Aku lihat Zahra masih memanggil ibunya sambil memegang bahu sang ibu dan menggocangkannya.
"Zahra... Kenapa dengan ibu Marni?" tanyaku.
Pertanyaanku tidak di jawab oleh nya. Zahra semakin kalap memanggil nama ibunya dengan airmata yang terus mengalir dari pipinya.
"ibu.. Jangan tinggalkan Zahra sendirian, bangun bu.. Zahra butuh ibu, kenapa ibu tidak memberi kesempatan untuk Zahra memperbaiki kesalahan Zahra.. Ibu.."
Tangisan Zahra semakin menjadi-jadi, rintihan tangisnya terdengar sangat pilu. Aku dekati Zahra yang kini sudah memeluk tubuh ibunya yang terbujur kaku tak bernyawa. Kini aku berdiri tepat di ujung kaki bu marni.
"Sudahlah Zahra...Izinkan Bu Marni pergi, Allah lebih menyayanginya. Bu Marni sudah lama menderita. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah ikhlas dan doakan semoga Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya. Dan menempatkannya bersama dengan orang-orang yang shalih." ucapku coba membujuk Zahra.
"Tapi Ilham... Aku belum sempat berbuat baik padanya..."
"Insya Allah Zahra masih bisa berbuat baik pada ibu meskipun dia sudah tidak ada, Zahra bisa mendoakannya setiap saat. Insya Allah doa anak yang shalih akan di terima oleh Allah.."ucapku lagi.
Aku melihat sedikit-sedikit suara tangisan Zahra semakin reda.
"Ilham.. Maafkan Zahra yah. Mungkin sekarang Ilham muak kan lihat Zahra. Terimakasih Ilham telah menyadarkan Zahra betapa banyak kesalahan yang Zahra telah lakukan, entah Zahra pun tidak tahu kenapa Zahra sangatlah sombong, angkuh dan congkak. Hati Zahra jadi lebih keras dari batu. Sekali lagi terimakasih karena sudah mengingatkan Zahra tentang hakikat hidup yang sesungguhnya. Please forgive me from top to toe.." ucapnya padaku.
"Zahra tidak perlu minta maaf sama Ilham, Zahra minta maaflah kepada Allah. Ilham bahagia karena melihat Zahra sekarang. Maaf kan Ilham juga yah.." ucapku padanya.

TAMAT...

Untuk menutup cerpen ini aku akan menulis sebuah puisi khas untuk seseorang yang bergelar ibu.
Ibu..
Sembilan bulan aku di dalam rahimmu
Saat engkau sarat mengandungku
Tidurmu tak nyenyak
Langkahmu semakin berat
Berdirimu pun kian payah
Namun sedikit pun engkau tak pernah mengeluh
Malah senyuman semakin manis saat engkau membelaiku
Untaian doa terus mengalir dari bibirmu
Perjuanganmu saat melahirkanku tak kan pernah terbayar oleh ruang dan waktu
Titik peluhnya yang menetes tidak mampu aku balas dengan mutiara ataupun emas
Engkau bersimbah darah waktu itu
Sekali lagi engkau tidak pernah mengeluh sakit malah airmata bahagia menitis di pipimu saat engkau mendengar tangisanku
Dua tahun engkau menyusuiku.
Tidur malammu tak pernah lena karena tangisanku
Kesabaranmu menghadapi kerenahku tak membuatmu mengeluh
Belaian lembut tanganmu
Senyuman manis dari bibirmu..
Untaian doamu untuk kebahagiaanku tak pernah luput dari lisanmu
Engkau tak pernah jijik membersihkan kotoran-kotoranku..
Namun kini..
Ketika aku sudah dewasa..
Aku sering menyakitimu
Kata-kataku tak jarang membuatmu menangis
Tingkah lakuku sering menyakiti hatimu.
Bukan itu saja jika kemauanku tidak engkau penuhi maka cacian dan makian sering keluar dari mulutku
Bahkan tanpa aku sadari maupun aku sadari sering kali aku menjadikanmu sebagai pembantuku
Makan engkau siapkan
Minum engkau ambilkan
Jarang sekali bibir ini mengucapkan kata terimakasih padamu
Jarang sekali lisan ini mengucapkan aku sayang padamu
Padahal Rabbku menyuruhku agar senantiasa berbuat baik kepadamu
Padahal aku sadar bahwa pintu syurga ada bersamamu
Namun aku lalai..
Maafkan anakmu ibu...
Yang sering menyakitimu
Maafkan anakmu ibu
Yang belum bisa membahagianku
Jasamu tak dapat ku ganti dengan harta dan nyawaku
Pengorbananmu tak bisa ku balas dengan uang rupiahku
Tetesan keringatmu tak akan terbayarkan oleh mutiara ataupun berlian
Ya Allah..jagalah kedua orang tuaku
Bahagiakanlah mereka di dunia di akhirat-Mu
Berkahilah umurnya…
Wafatkanlah ia dalam keadaan khusnul khatimah

Robbighfirlii wali-wali dayya warhamhuma kamaa robbayaani shaghiraa


1 komentar: