Oleh: Bila Hati Rindu Menikah
"Nantikan Aku Di Istana Surgamu"
(Abu Lathifa)
Larik-larik benang perak mulai teruntai dari langit. Seiring gemuruh langit yang memaksaku menghentikan laju sepeda motorku. Padahal belum lama aku meluncur dari perusahaan textile di kawasan industri Batujajar. Tepat di bawah jembatan tol Cilame, Padalarang aku berteduh. Hitung-hitung melepas lelah setelah seharian bekerja, pikirku. Tak hanya aku, belasan bahkan mungkin puluhan motor berteduh di bawah jembatan itu. Sebaian kecil memilih melanjutkan perjalanannya setelah mereka mengenakan jas hujannya. Sedangkan aku memilih untuk menunggu hingga reda.
Hampir satu jam hujan tak kunjung reda. Separuh dari mereka yang berteduh sudah meninggalkan tempatnya semula. Sementara aku masih menunggu. Hingga ponselku bernyanyi, “Assalaamu’alaikum… Ya akhii, Ya ukhtii…”, sebuah panggilan masuk dari Mamah.
“Assalaamu’alaikum, Mah…” sambutku.
“Wa’alaikumsalaam…kamu lagi di mana, Adnan? Kenapa belum pulang?” tanyanya resah.
“Iya Mah, masih di Cilame…hujannya belum reda.”
“Tuh kan…tadi pagi udah Mamah ingetin ‘bawa jas hujan’, bandel sih kamunya…”
“Iya Mamaaah, maafin Adnan…”
“Iya… Mamah cuma khawatir, takutnya ada apa-apa sama kamu…”
“InsyaAllah semua baik-baik aja, Mah…” jawabku menenangkan beliau.
“Ya sudah…pulangnya hati-hati ya…asalaamu’alaikum.”
“InsyaAllah…wa’alikumsalaam.” jawabku mentup percakapan.
Kekhawatiran seorang Ibu, yang terkadang membuatku merasa risih. Tapi kenapa harus risih? Memang begitulah naluri seorang Ibu. Apalagi karena besok adalah hari bersejarahku. Ya…besok adalah hari yang aku rindukan. Karena besok aku akan menggenapkan separuh agamaku. Maka wajar saja bila Mamah semakin khawatir.
Namun satu hal yang masih kusangsikan. Bahwa aku akan menikahi seorang perempuan yang tidak aku cintai. Kulitnya memang putih, tetapi wajahnya biasa saja (untuk tidak mengatakan jelek, maaf!), juga tidak begitu tinggi. Sejujurnya, tak ada sedikit pun rasa mahabbah di hati. Tak pernah ku lalui satu malam pun tanpa istikharah pada Allah. Bahkan hingga malam terakhir sebelum aku menikahinya, aku tetap istikharah. Tetapi semakin aku beristikharah dengan segenap kesungguhanku, kecenderungan itu semakin mantap kepadanya. Hingga kuyakinkan bahwa dirinya adalah pilihan Allah.
Namanya Nurul Azkiyya, gadis kelahiran Palembang yang besar di Bandung. Ia besar di tengah keluarga yang cukup sederhana, bersama seorang Ibu dan dua adik lelakinya. Karena sudah 8 tahun lebih mereka ditinggal wafat Bapaknya. Azkiyya seorang mahasisiwi semester lima di Fakultas Tarbiyah UNISBA (Universitas Islam Bandung). Kepeduliannya terhadap pendidikan agama Islam begitu besar. Untuk tambahan biaya kuliahnya, ia kerap mengajar di berbagai lembaga pendidikan. Mulai dari TAAM (Taman Asuh Anak Muslim), TKA (Taman Kanak-kanak Al Quran), TPA (Taman Pendidikan Al Quran), dan TQA (Ta’limul Qur’an lil Aulad). Kesibukannya cukup menguras waktu dan tenaganya. Hingga tak jarang ia jatuh sakit karena kelelahan.
***
Pagi itu mentari cukup hangat menyapa embun. Sehangat bathinku yang sudah siap mengucap akad. Tepat jam 07.30 WIB, kami sekeluarga sudah tiba di halaman masjid Raudhatul ‘Irfan daerah Cipaganti. Kaum hawa di arahkan ke pintu belakang masjid, sementara kaum adam masuk lewat pintu depan. Ruang utama masjid disekat dengan tabir hijau setinggi dada. Kaum adam berada di sebelah utara, sedangkan kaum hawa berada di selatan ruang utama. Di sana sudah hadir kerabat dari Azkiyya dan beberapa orang petugas dari KUA. Setelah semua menempati tempatnya, rangkaian acara penyambutan hinga serah terima pun dilaksanakan.
Anehnya, menjelang akad, tak sedikit pun rasa gugup menyapaku seperti cerita sahabat-sahabatku yang sudah menikah. Hingga aku duduk di hadapan meja akad nikah. Di sekitar meja sudah ada dua orang petugas KUA, dua orang saksi, dan Zakky adik kandung Azkiyya yang bertindak sebagai wali. Sedangkan Azkiyya belum dihadirkan sesuai kesepakatan hingga akad nikah ditunaikan.
Khutbah nikah telah disampaikan. Pemeriksaan keakuratan data pengantin sudah dilakukan. Semua rukun nikah pun sudah disiapkan. Kini tanganku menjabat tangan Zakky. Sejak itulah rasa gugup mulai menjalar menyusuri tanganku. Suara Zakky mulai kudengar dengan jelas saat mengucapkan ijab,
“Saya nikahkan anda Muhammad Adnan bin Rasyid Musthofa dengan kakak kandung saya Nurul Azkiyya binti Zainul ‘Arifin, dengan mahar 20 keping uang dirham dan 11 gram perhiasan emas, dibayar tunai…”
Tatkala Zakky mungucapkan kalimat sakral itu, pikiranku mulai tak focus. Serasa ada ribuan batu angin menghujani wajahku, menyumpali mulutku. Seakan-akan menghalangiku untuk mengucap kalimat qabul. Ini upaya syetan, tepisku. Bagaimana tidak? Hanya dengan satu kalimat saja, yang semula haram akan menjadi halal. Yang semula dosa akan menjadi pahala. Seraya memohon perlindungan kepada Allah dari tipu daya syetan yang terkutuk, akhirnya Allah memampukan aku mengucap,
“Saya terima nikahnya Nurul Azkiyya binti Zainul ‘Arifin, dengan mahar 20 keping uang dirham dan 11 gram perhiasan emas, dibayar tunai…”
“Bagaimana para saksi, Sah?”, “Sah…!”, “Sah…!”
“Alhamdulillah…” suara serempak mereka yang menyaksikan.
“Barokallohu laka wa baaroka ‘alaika wa jamaa’a bainakuma fii khoir”
“Semoga Allah memberkahimu dan menetapkan berkah atasmu, serta mengumpulkan engkau berdua dalam kebaikan.” (HR Ahmad)
Serangkaian do’a-do’a pun dilantunkan. Seketika itu pula air mataku bercucuran. Berharap agar kami diterima sebagai ummat Nabi SAW, seperti yang pernah beliau sabdakan,
“Nikah itu sunnahku. Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia termasuk golongan (ummat) ku.” (HR Ibnu Majah)
Usai berdo’a, Azkiyya pun dihadirkan. Ia keluar dari balik tabir, dari arah selatan. Tak henti kupandangi kedatangannya, yang kusambut dengan berdiri dan mengulurkan tangan. Ia pun segera meraih kedua tanganku hingga kami bergenggaman. Terang saja kejadian itu mengundang senyum dan tawa bahagia yang tidak kami pedulikan. Kulihat semburat senyum di wajahnya yang bermake-up sederhana. Selaksa embun pun menghias di pelupuk matanya. Yang perlahan terjatuh menyusuri pipinya.
Setelah ucapan-ucapan selamat dan do’a kami terima, rangkaian acara akad pun ditutup. Dari masjid kami semua berjalan menuju kediaman Azkiyya yang tak jauh dari sana. Dengan resepsi seadanya, kami hanya mengundang kerabat keluarga dan para tetangga. Tak lupa pula sahabat-sahabat dekat. Dan hari itu menjadi hari bersejarah dan melelahkan bagi kami.
***
Senja telah berganti malam. Malam ini malam zafaf (malam pengantin) bagi kami. Usai berjama’ah ‘Isya di masjid, aku bergegas pulang. Memasuki kamar Azkiyya yang sudah bertabur aroma wewangian. Di dalam kamar Azkiyya sudah menggelar dua sajadah. Satu digelar di depan dan satu lagi sedang ia duduki di belakang. Akupun melihat segelas air susu yang diletakkan di atas meja dekat tempat tidur. Sementara di bawah dekat tempat tidur ada bejana kecil berisi air. Nampaknya Azkiyya sudah faham. Segelas air susu untuk kami minum bersama, seperti ‘Aisyah RHa yang menyiapkannya untuk Rasulullah SAW. Lalu air di bejana, untuk membangunkan salah satu di antara kami yang belum bangun di sepertiga malam nanti. Sebagaimana Beliau SAW sabdakan:
"Allah merahmati suami yang bangun di malam hari dan menunaikan shalat. Kemudian ia membangunkan istrinya, dan jika ia enggan maka dipercikkan air ke mukanya. Allah juga merahmati seorang wanita yang bangun di malam hari untuk menunaikan shalat. Dia bangunkan suaminya dan apabila suaminya enggan maka dipercikkan air ke wajahnya." (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban, An Nasa'i dan Ibnu Majah)
“Asslaamu’alaik Yaa Baabar Rohmah…” ucapku sambil memasuki kamarnya.
“`Alayya wa `alaika salaam…” sambutnya seraya bangkit dari simpuhnya.
Tak lama kemudian kami bersalaman. Lembut bibirnya mengecup punggung tangan kananku. Betapa bahagianya aku. Begitupun Azkiyya yang wajahnya sudah merona saat menatapku. Sebelum kukecup keningnya, kuletakkan telapak tangan kananku pada ubun-ubunnya seraya berdo’a,
“Allahumma innii as`aluka min khairiha wa khairi maa jabaltaha. Wa a’udzubika min syarriha wa syarri maa jabaltaha.”
Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan wataknya . Dan aku mohon perlindungan –Mu dari kejahatannya dan kejahatan wataknya. (Hadits Imam Bukhari,Ibnu Majah, Abu Dawud dan Ibnu Sinni)
Perlahan lisan Azkiyya pun meng-aamiin-kan dengan membaca,
“Barakallahu likulli waahidin minna fi shaahibihi.”
Semoga Allah memberkahi masing masing di antara kita terhadap teman hidupnya. (Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkaar)
“Sajadahnya udah Kiyya siapin, Bang…”
“Kok masih manggil Abang? Kita kan udah halal…” cumbuku seraya mencubit pipi ‘chubby’nya.
“Oh…iya…” jawabnya sambil merunduk tersipu, menyembunyikan wajahnya yang memerah.
“Sajadahnya sudah siap, Abi…sholat sekarang yuk?” ujarnya dengan wajah masih tersipu.
“InsyaAllah, syukron Ummi…” sahutku sambil mendaratkan kecupan di keningnya. Membuat putih wajahnya menjadi semakin merah merona.
Kami menunaikan shalat sunnat dua raka’at, seperti atsar shahabat yang disarankan kepada Abu Sa’id Maulana Usaid RA. Ia mengatakan : “Aku menikah, sedangkan aku seorang budak. Maka aku mengundang segolongan sahabat Nabi SAW. Di antara mereka ada Ibnu Mas’ud RA, Abu Dzar RA dan Hudzaifah RA. Dan mereka kemudian mengajariku dengan berkata, ”Jika engkau mendatangi istrimu, maka shalatlah dua rakaat, kemudia mintalah kepada Allah terhadap apa yang masuk kepadamu dan berlindunglah dari kejelekannya, kemudian keadaanmu dan istrimu.”
Usai sholat, kulafadzkan do’a ,
“Allahumma baarik lii fii ahlii, wa baarik lahum fiyya.
Allahumma ijma’ bainana kamaa jama’ta fii khair, wa farriq bainana idza farraqta ilaa khair.”
Ya Allah , barakahilah bagiku dalam keluargaku, dan berilah barakah mereka kepadaku.
Ya Allah kumpulkan diantara kami apa yang engkau kumpuljan dengan kebaikan dan pisahkan antara kami jika engkau mememisahkan menuju kebaikan (Hadits Abdullah bin Mas’ud)
Dengan suara lembut dan perlahan Azkiyya meng-aamiin-kan. Setelah serangkaian do’a-do’a kami lantunkan, tiba-tiba Azkiyya menyandarkan tubuhnya merangkulku dari belakang.
“Abi…Ummi lelah, Bi…lelah sekali.” dengan suara lemahnya.
“Ya udah Ummi istirahat aja…Abi mau witir dulu ya.” ujarku.
Namun Azkiyya tak beranjak dari rangkulannya di punggungku. Tampaknya ia tertidur. Memang hari yang melelahkan setelah seharian melaksanakan resepsi meski sederhana. Namun kodisi tubuh Azkiyya yang mudah lelah memaksa ia menyerah pada pertahanan tubuhnya. Maka kurangkul ia dan memangkunya, menuju pembaringan. Usai kubaringkan tubuh lemahnya, di awal malam zafaf itu aku tunaikan 3 raka’at witir, khawatir nanti tidak sempat bangun di sepertiga malam terakhir. Seperti Shahabat Abu Bakar RA, yang dikisahkan oleh Abu Qatadah,
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Bakar, " Kapankah kamu melaksanakan witir?" Abu Bakr menjawab, “Saya melakukan witir di permulaan malam”. Dan beliau bertanya kepada Umar, "Kapankah kamu melaksanakan witir?" Umar menjawab, “Saya melakukan witir pada akhir malam”. Kemudian beliau berkata kepada Abu Bakar, "Orang ini melakukan dengan penuh hati-hati." Dan kepada Umar beliau mengatakan, “Sedangkan orang ini begitu kuat." (HR. Abu Daud)
Memang Rasulullah SAW biasa mengakhirkan witir, namun terkadang beliau melaksanakannya di awal malam. Sebagaimana yang diungkapkan Ummul Mu’minin ‘Aisyah RHa,
“Kadang-kadang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan witir di awal malam, pertengahannya dan akhir malam. Sedangkan kebiasaan akhir beliau adalah beliau mengakhirkan witir hingga tiba waktu sahur.” (HR. Muslim)
Usai sholat witir aku memperhatikan istriku yang sedang terbaring lemah. Azkiyya nampak lelap sekali dengan tubuh yang masih terbalut mukena. Perlahan kutanggalkan mukena yang masih dipakainya. Aroma melati pun lembut tercium dari tubuhnya. Rupanya istriku cantik sekali malam ini. Perlahan kubelai rambut panjangnya. Seakan tak percaya bahwa kini ia sudah menjadi milikku. Seekor nyamuk pun takkan kubiarkan menyentuh putih kulitnya, maka kutarik selimut untuk melindunginya.
Setelah memadamkan lampu aku berbaring di sebelah kirinya dengan posisi sunnah, miring ke sisi kanan di mana Azkiyya tengah terlelap. Tak lupa kulafadzkan do’a,
“Allahumma aslamtu nafsii ilaiKa, wa fawadhtu amrii ilaiKa, wal ja`tu zhohrii ilaiKa, rohbatan wa roghbatan ilaiKa, laa mal jaa`a wa laa manjaa minKa illaa ilaiKa, aamantu bi kitaabiKalladzii anzalta wa bin nabiyyiKalladzi arsalta
Ya Allah, kuserahkan diriku kepada-Mu, kuserahkan urusanku kepada-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dalam keadaan harap dan cemas, karena tidak ada tempat berlindung dan tempat yang aman dari adzab-Mu kecuali dengan berlindung kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan aku beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus.
Dengan membaca do’a ini, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu meninggal (pada malam itu) maka kamu mati dalam keadaan fitrah (suci).” (HR Bukhari)
***
Hari ketiga dari tujuh hari pertama berumah tangga, aku tinggal bersama keluarga Azkiyya. Kuhabiskan hari cutiku bersama mereka. Keluarga yang harmonis nan cukup sederhana. Saling membantu dan pengertian adalah kebiasaan mereka. Tak jarang mereka pun saling bercanda. Kedua adik Azkiyya kerap menggoda Kakak perempuan satu-satunya. Karena sudah ada aku di samping Azkiyya. Suasana hangat itu membuatku tak kaku tinggal bersama mereka. Sesekali aku pun sering berbincang dengan Ibu dan kedua adiknya. Seperti menemukan keluarga yang sudah lama tak jumpa.
Suatu pagi selepas dhuha bersama, di ruang keluarga kupetik gitar milik Zainal, adik bungsunya. Mengungkapkan perasaanku pada Azkiya melalui sebuah lirik lagu yang disukainya.
“Kau bagaikan angin di bawah sayapku
Sendiri aku tak bisa seimbang
Apa jadinya bila kau tak di sisi
Meskipun aku di surga mungkin aku tak bahagia
Bahagiaku tak sempurna bila itu tanpamu
Aku ingin kau menjadi bidadariku di sana
Tempat terakhir melabuhkan hidup di keabadian”
(Tempat Terakhir - Padi)
Azkiyya pun tersenyum-senyum. Seiring senyum yang semakin melebar, ia berkata,
“Subhanallah, suaranya bagus Bi…”
“Ada tapinya enggak?” tanyaku seraya menggoda.
“Tapi lebih bagus lagi kalau Abi gak usah nyanyi…” lanjutnya seraya berlari kecil menuju ruang depan.
Tak kubiarkan, aku pun mengejarnya ke ruang depan. Kami berlarian seperti anak-anak yang sedang bermain ‘petak umpet’. Dari ruang depan Azkiyya berhasil menghindari kejaranku menuju kamarnya. Aku pun masih mengejarnya sampai ke kamar. Di kamar aku berhasil menangkapnya, lalu menggelitik badan dan pinggangnya. Ia tertawa-tawa tak kuasa menahan serangan jari-jariku di seputar badannya. Saat kulihat tawanya, Azkiyya semakin cantik saja.
Azkiyya hanya pasrah dalam belenggu pelukanku. Lalu kami terdiam dan saling menatap. Tatapan yang penuh cinta nan suci. Mengundang tatapan Allah pada kami dengan tatapan penuh rahmat-Nya.
Jemari tangan kami bergenggaman penuh mesra. Mengundang Allah mencurahkan maghfirah atas kami. Ketika itu malaikat-malaikat bertasbih, karena menyaksikan guguran dosa yang berserakan dari tubuh kami.
Perlahan, kudekatkan bibirku pada bibirnya. Hingga kedua bibir kami berpagutan penuh cinta nan mesra. Namun Azkiyya terperanjat dalam pelukan dan segera menarik bibirnya. Dengan mata yang tampak kaget ia berrtanya,
“Abi masih punya wudhu enggak, Bi?”
“Masih, Ummi sayang…kenapa?”
“Syukurlah, Ummi cuma takut aja. Jangan sampai syetan menyentuh Ummi mendahului Abi, hanya gara-gara Abi belum berwudhu.”
“MasyaAllah…makasih Ummi, udah ngingetin. InsyaAllah Abi masih punya wudhu.”
“Sekalian aja yuk Bi…” sahutnya sambil menarik tubuhku ke arah tempat tidur dengan bibir yang masih bertautan.
Aku mengerti apa yang diinginkannya. Sebelum semua kemesraan itu berlanjut, segera ku lafadzkan do’a
“Allahumma Jannibnasy Syaithon wa Jannibisy Syaithon Maa Rozaqtanaa.”
Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari kami terhadap apa yang Engkau rizqikan kepada kami.”
Sebab Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya seorang dari kalian ingin mendatangi istrinya, hendaklah dia berdoa (seperti do’a di atas). Sesungguhnya jika dikehendaki diantara mereka berdua seorang anak saat itu maka setan tidaklah dapat mencelakakannya selamanya.” (Muttafaq Alaihi)
Dan pagi itu, kami habiskan dengan becumbu mesra. Berpeluh rindu dalam surga dunia. Berbuah rahmat, maghfirah dan surga yang dijanjikan-Nya.
"Masuklah kamu berserta istrimu ke dalam surga untuk digembirakan." (QS. Az Zukhruf: 70)
***
Masa cutiku telah selesai. Aku harus kembali bekerja. Bergelut kembali dalam Laboratorium obat pewarna. Kali ini bukan lagi menafkahi diri sendiri, tetapi ada seorang istri yang wajib aku nafkahi. Hari itu aku bekerja shift dua (14.00-22.00 WIB). Ba’da ‘Isya sekitar jam 20.00 WIB telpon kantor menyala, ada suara Zakky di seberang sana.
“Assalaamu’alaikum, Kak Adnan…bisa pulang sekarang Kak?”
“Wa’alaikumsalaam, ada apa Zak?”
“Kak Kiyya sakit lagi Kak…”
“Inalillah… sudah ditangani dokter? Coba hubungi Dr. Bobby…”
Dr Bobby adalah seorang mualaf yang pernah kuajar mengaji.
“Belum Kak, masih dikamar ditemani Ibu…tunggu Kak Adnan aja kata Ibu”
“Iya..iya…Kak Adnan pulang sekarang ya. Syukron, Zak…”
Setelah menutup perbincangan dan telponnya. Aku segera meminta izin pulang lebih awal. Dengan rasa penuh cemas kutancap gas motorku tak seperti biasanya. Pikiranku hanya tertuju pada Azkiyya. Sepenjang perjalanan Batujajar-Bandung lisanku tak henti berdo’a,
“Allahumma Robbannaasi adzhibil ba’sa isyfii, Anta Syafii`, laa syifaa`an illaa syifaa`uKa, syifaa`an laa yughoodhiru saqoman.”
Ya Allah Tuhan sekalian manusia hilangkanlah penyakit dan sembuhkanlah, Engkaulah Maha Penyembuh, tak ada yang menyembuhkan selain kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tiada sakit lagi. (HR. Bukhari Muslim)
Sebelum menuju rumah, aku mampir ke Klinik Kita untuk menjemput Dr. Bobby. Tak lama kami pun tiba di rumah. Nafas Azkiyya tampak berat. Tubunya pun sedikit membengkak. Kami segera menghampiri, lalu aku berdiri di samping kanannya. Dengan bantuan Ibu, Dr. Bobby memeriksa Azkiyya sangat hati-hati, tanpa menyentuh kulitnya. Menurut Ibu, Azkiyya terlalu lelah mengajar dari pagi hingga sore.
“Mungkin sakit asmanya kambuh….” ujar Ibu.
“Sudah berapa lama Kiyya sakit begini, Bu…” sela Dr. Bobby.
“Sudah hampir setahun ini, Dok..” jawab Ibu.
Dr. Bobby termenung sesaat. Dia menatapku dalam-dalam. Seakan-akan matanya mengatakan sesuatu yang tidak kami harapkan.
“Saya mohon maaf…untuk saat ini saya belum bisa menangani Azkiyya...” ujar Dr. Bobby
“Maksud Dokter…?” sahutku cemas.
“Saya butuh hasil pemeriksaan dari Rumah Sakit, dan sebaiknya kita periksakan Azkiyya ke sana…”
Tanpa berpikir lagi kami menyetujui saran Dr. Bobby. Dr. Bobby segera menelpon sopirnya untuk membawa mobilnya ke rumah kami. Sebuah Avanza pun tiba, aku bergegas menggendong Azkiyya yang sudah tak sadarkan diri ke dalam mobil. Sementara Ibu menyusul dari belakang setelah menyiapkan segala sesuatunya. Kami berlima menuju Rumah Sakit Hasan Sadikin. Zakky dan Zainal tinggal di rumah.
Setibanya di RSHS, Dr. Bobby mengurus semuanya. Aku menggendong Azkiyya yang masih tak sadarkan diri menuju pelataran rumah sakit. Azkiyya pun segera ditangani beberapa perawat menuju ruang ICU. Sementara aku bersama Ibu menunggu dengan penuh khawatir cemas. Tak henti-hentinya bathinku memohon segala kebaikan untuknya. Setelah pemeriksaan selama 15 menit, Dr. Bobby muncul di hadapan kami.
“Istri saya sakit apa, Dokter…” tanyaku cemas.
“Dr. Syarif ingin bicara dengan kalian, mari ikut saya…!”
Di ruangan itu, Dr. Syarif sudah menunggu. Setelah memperkenalkan diri kami masing-masing, Dr. Syarif menerangkan,
“Menurut keterangan dari Dr. Bobby, Azkiyya sudah lama mengalami gejala seperti ini, betul Bu?”
“Betul, Dokter…udah hampir setahun.” sahut Ibu.
“Setiap sakit seperti ini, apakah tubuhnya selalu membengkak?” lanjut Dr. Syarif.
“Betul, Dok…memangnya Azkiyya sakit apa, Dok…?” ujar Ibu menimpali.
“Gejala apa yang dialami istri saya, Dokter?” tanyaku semakin cemas.
Dr. Syarif perlahan menatap ke arah Dr. Bobby, yang hanya menganggukkan kepala. Hey….ada apa ini? ungkapku dalam bathin. Setelah melepas kacamatanya, Dr. Syarif melanjutkan,
“Gejala yang dialami Azkiyya ini, bukan penyakit biasa. Bukan karena kelelahan ataupun sebagainya. Juga bukan karena sakit asma. Gejala-gejala ini diakibatkan oleh sebuah virus, yang kami kenal sebagai ‘Systemic Lupus Erythematosus’ (SLE), atau biasa kami sebut ‘Lupus’.”
INNALILLAAH…penyakit apa lagi ini? umpatku membathin seraya menatap Dr. Bobby yang tengah berdiri di sebelah meja Dr. Syarif. Seperti memahami bathinku Dr. Bobby ikut menerangkan,
“Jenis penyakit Lupus ini memiliki tiga macam. Pertama, Cutaneus Lupus, seringkali disebut discoid yang mempengaruhi kulit. Kedua, Systemic Lupus Erythematosus(SLE) yang menyerang organ tubuh seperti kulit, persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati, otak, dan syaraf. Ketiga, Drug Induced Lupus(DIL), timbul karena menggunakan obat-obatan tertentu.”
“Betul…dan rupanya istri Bapak mengidap jenis yang kedua. Virus itu tidak hanya menyerang organ tubuh, tetapi ia juga menyerang system imun dan seluruh jaringan sel dalam tubuh. Maka wajar, ketika virus ini aktif pasien akan mudah lelah, karena kekebalan tubuhnya melemah. Tetapi ketika virus ini nonaktif pasien tidak akan merasakan apa, layaknya orang sehat biasa saja.” lanjut Dr. Bobby.
MaasyaAllah…mendengar penjelasan itu membangkitkan rasa berkecamuk dalam dada. Rongga dadaku seakan dipenuhi sesuatu hingga menyesak di dalamnya. Ibu hanya mampu menangis mendengar semuanya.
“Kasihan Kiyya…Ya Allah. Ini salah Ibu, kenapa enggak dibawa kedokter dari dulu…” lirihnya menyesali keadaan.
“Ibu…tenang, Bu… Azkiyya pasti sembuh.” ujarku meyakinkannya.
***
Di ruang ICU Azkiyya terbaring lemah tak sadarkan diri. Ditemani Ibu yang tak henti-henti mengalirkan tangis kasih sayangnya. Sementara aku berbincang lebih dalam bersama Dr. Syarif dan Dr. Bobby. Menurut mereka virus ini belum ditemukan obatnya. Tetapi bisa dicegah agar tidak menyebar dan menyerang organ tubuhnya lainnya. Ditengah perbincangan, seorang perawat menghampiri kami, menyerahkan amplop besar berwarna cokelat kepada Dr. Syarif. Kami pun segera kembali menuju ruang Dr. Syarif. Di dalam ruang itu Dr. Syarif membuka amplopnya.
“Ini hasil rontgen istri Bapak…” sambil mengeluarkan isinya.
Setelah melihat hasil rontgen, Dr. Syarif dan Dr. Bobby hanya saling menatap. Seakan-akan tak ingin mengabarkan hasilnya padaku. Lalu Dr. Bobby menatap ke arahku, dan tiba-tiba merangkulku sambil terisak-isak.
“Ada apa ini, Dok…? Bagaimana hasilnya?” tanyaku semakin heran dan penuh kecemasan.
“Maaf Pak Adnan…istri Bapak sudah tidak memiliki ginjal. Virus itu sudah menghabiskan kedua buah ginjalnya.” ujar Dr. Syarif.
Laksana gelegar halilintar di tengah siang, aku kehilangan keseimbangan. Tubuhku melemah dalam rangkulan Dr. Bobby. Seakan tak percaya apa yang dikatakan Dr. Syarif. Dan sejak itu aku tak ingat apa-apa lagi. Aku pingsan…
Selama kurang lebih satu jam aku baru siuman. Dr. Bobby mengabarkan bahwa Azkiyya sudah sadar dan menanyakan keberadanku. Aku segera bergegas menghampirinya di ruang ICU. Tampak Azkiyya sedang duduk di dampingi Ibu. Aku segera memeluknya dan menangis dalam pelukannya.
“Abi, kenapa nangis? Ummi enggak apa-apa kok, Ummi udah baikan…” ucapnya meyakinkanku.
“Iya…Ummi pasti sembuh…Allah sayang sama Ummi.” jawabku.
Padahal aku lebih tau apa yang sedang menimpanya, dan tetap menangis dalam peluknya.
Tepat jam 02.00 WIB, aku diminta pulang untuk menyiapkan perlengkapan yang belum sempat disiapkan Ibu. Karena Azkiyya harus dirawat beberapa hari di sana. Setelah sholat witir dan membereskan semua perlengkapan, termasuk selimut dan pakaian ganti untuk Azkiyya, aku segera kembali ke rumah sakit.
Azkiyya masih terjaga, sedangkan Ibu terlelap di kursi ruangan itu. Setelah menyimpan semuanya aku kembali menghampiri Azkiyya. Menemani kesendiriannya dini hari itu.
“Abi…semester depan Ummi pengen istirahat aja, Bi…” ujarnya sambil memeluk tubuhku dan menyandarkan kepalanya di atas dadaku.
“Iya…Ummi harus banyak istirahat, Sayang…biar cepet sembuh.”
“Ummi udah sembuh Bi, nih lihat…Ummi udah enggak apa-apa kan?” ujarnya manja.
“Iya, iya…mudah-mudahan Ummi sudah benar-benar sembuh ya?
“Aamiin…”
Suasana cukup hening dini hari itu. Hanya kami berdua yang terjaga di ruang itu. Masih dalam pelukanku, Azkiyya bersenandung. Menyenandungkan sebuah nasyid ‘Muhasabah Cinta’.
“Eh…Abi kok nangis lagi?” ujarnya manja sambil menatap wajahku.
Aku tak mampu menjawab, sesak dalam dadaku semakin mendesak ke tenggorokanku.
“Abi…Ummi pengen pulang, Bi…Ummi gak betah di sini.” suaranya yang kembali memelukku.
“Iya…kita tunggu keputusan Dokter dulu ya. Mudah-mudahan nanti pagi atau siang kita bisa pulang.”
“Ya harus dong, Abi…masa mau nginep di sini terus…pulang sekarang aja yuk, Bi…”
“Iya…sabar, Sayang…! Kita harus tunggu dulu keputusan Dokter. Udah bisa pulang atau enggak…”
***
Lantunan syahdu adzan shubuh serasa merdu terdengar di telinga. Menyeru jiwa-jiwa yang tertidur untuk segera menghadap pada Sang Maha Pencipta. Aku pamit pada Azkiyya untuk mencari mushola. Sementara Ibu dan Azkiyya sudah siap untuk sholat di tempatnya.
Di mushola aku sholat bersama beberapa orang yang sudah ada di sana. Selesai sholat kupanjatkan do’a-do’a memohon kesembuhan untuk Azkiyya. Di tengah nikmat bermunajat, ada suara memanggil mengejutkanku. Rupanya Dr. Bobby menginap di rumah sakit malam itu.
“Nan…Adnan…Azkiyya, Nan…”
“Ada apa dengan Azkiyya, Dok…?”
“Azkiyya tak sadar lagi, Nan…Kali ini cukup kritis.”
Aku segera berlari menuju ruang ICU. Kulihat Ibu sedang menjaga Azkiyya. Dengan tubuh yang masih terbalut mukena, nafas Azkiyya kembali tersenggal-senggal. Aku tak mampu menahan tangis. Ia menatap lemah ke arahku. Lisannya seakan-akan ingat berkata-kata.
“Katakan Sayang, katakan…” ujarku seraya mendekatkan telingaku ke bibirnya.
Dengan nafas tersenggal-senggalnya, dan suara lemah yang terputus-putus, Azkiyya membacakan,
“Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah, irji’ii ilaa Robbiki roodhiyatam mardhiyah, fadkhulii fii ‘ibaadii, wadkhulii janatii.” (QS Al Fajr : 29-32)
Allahuakbar… Aku faham maksudnya. Ia meminta keridhoanku agar ia segera bertemu dengan Rabbnya. Sekalipun aku tidak merelakan kepulangannya tetapi Allah sudah merindukan jiwanya.
Semburat senyum perlahan menghias di bibirnya. Seolah mengabarkan pada kita semua bahwa ia telah melihat istananya di surga. Keringat lembut pun mengembun disekitar keningnya. Pertanda syahid di akhir hayatnya. Rupanya keinginan Azkiyya untuk istirahat semester depan, adalah istirahat untuk selamanya. Keinginannya untuk pulang dini hari itu adalah pulang ke sisi Rabbnya.
“Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun…”
***
Proses pemulasaraan usai dilaksanakan. Aku sendiri turut memandikan, memimpin sholat jenazah, dan menidurkannya di pembaringan terakhir. Usai pemakaman, aku masih duduk di sebelah kiri pusaranya. “Allahummaghfir li Nurul Azkiyya binti Zainul ‘Arifin, warfa’ darojataha fil mahdiyyin, wafsahlaha fii qobriha, wanawwir laha fiiha, wakhlufha fii ‘aaqibiha…”
Ya Allah berikan ampunan bagi Nurul Azkiyya binti Zainul ‘Arifin, angkatlah derajatnya di pembaringan terakhirnya, lapangkanglah kuburnya, dan terangilah ia di dalamnya, serta gantikanlah ia dengan keturunannya…”
Siang itu suasana duka meliputi kami sekeluarga. Kepulangan Azkiyya harus kami terima dengan lapang dada. Karena tak lama lagi kami pun akan segera menyusulnya kesana. Banyak kerabat yang berdatangan. Termasuk Mamahku yang sejak pagi tak kuasa menahan tangisnya. Yang senantiasa mengingatkanku untuk tetap ikhlas dan bershabar.
“Kak Adnan, ini buku harian Kak Kiyya…” suara Zakky menyadarkanku dari lamunan. Sambil menyerahkan sebuah diary.
“Apa Kakak boleh membukanya, meski tak seizin Kak Kiyya?” tanyaku.
“Zakky pernah berusaha membacanya,Kak. Tapi Kak Kiyya mmelarangnya. Dan waktu itu Kak Kiyya bilang bahwa buku catatannya itu hanya boleh dilihat sama suaminya nanti. Jadi hanya Kak Adnan lah yang berhak membaca isinya…” tutur Zakky.
Lembar demi lembar kubaca catatannya. Isinya hanya catatan pengalaman sehari-harinya. Namun ada satu halaman yang mengundangku untuk terus membacanya,
“Semestinya aku banyak berdzikir
Bukan hanya menyesali takdir
Seharusnya aku banyak berfikir
Sebelum hidupku harus berakhir…
Ya Rabbi…
Jika sakit ku ini karena dosa-dosaku yang harus digugurkan
Maka ampunilah dosa-dosaku..
Tetapi jika sakit ini adalah kasih sayang-Mu
Maka biarlah aku menikmati sebentuk kasih sayang-Mu
Hingga nanti kunikmati syurga-Mu…”
Kemudian bait berikutnya sebuah lirik nasyid yang ia senandungkan sewaktu memelukku di ruang ICU,
“Tuhan kuatkan aku
Lindungiku dari putus asa
Bila ku harus mati
Pertemukan aku dengan-Mu…
Kata-kata cinta terucap indah
Mengalir berdzikir di kidung do;aku
Sakit yang kurasa biar jadi penawar dosaku…
Butir-butir cinta air mataku
Teringat semua yang kau beri untukku
Ampuni khilaf dan salah slama ini Ya Ilahi
Muhasabah Cintaku…”
Setelah membaca semua catatannya, rupanya Azkiyya sudah tahu kondisi fisiknya. Hanya saja Ia tidak ingin membuat Ibu cemas. Ia tidak ingin menyusahkan Ibu. Ia ridho dengan segala keadaannya. Karena itu adalah bentuk kasih sayang Allah kepadanya.
Di buku catatan itu aku menulis balasan atas semua catatannya,
“Pulanglah istriku, temui Rabbmu
Karena Allah lebih merindukanmu
Pulanglah istriku dengan jiwa tenangmu
Karena aku telah meridhoimu
Pulanglah istriku ke tempat terakhir di sisi Rabbmu
Dan nantikan aku di istana syurgamu
"Nantikan Aku Di Istana Surgamu"
(Abu Lathifa)
Larik-larik benang perak mulai teruntai dari langit. Seiring gemuruh langit yang memaksaku menghentikan laju sepeda motorku. Padahal belum lama aku meluncur dari perusahaan textile di kawasan industri Batujajar. Tepat di bawah jembatan tol Cilame, Padalarang aku berteduh. Hitung-hitung melepas lelah setelah seharian bekerja, pikirku. Tak hanya aku, belasan bahkan mungkin puluhan motor berteduh di bawah jembatan itu. Sebaian kecil memilih melanjutkan perjalanannya setelah mereka mengenakan jas hujannya. Sedangkan aku memilih untuk menunggu hingga reda.
Hampir satu jam hujan tak kunjung reda. Separuh dari mereka yang berteduh sudah meninggalkan tempatnya semula. Sementara aku masih menunggu. Hingga ponselku bernyanyi, “Assalaamu’alaikum… Ya akhii, Ya ukhtii…”, sebuah panggilan masuk dari Mamah.
“Assalaamu’alaikum, Mah…” sambutku.
“Wa’alaikumsalaam…kamu lagi di mana, Adnan? Kenapa belum pulang?” tanyanya resah.
“Iya Mah, masih di Cilame…hujannya belum reda.”
“Tuh kan…tadi pagi udah Mamah ingetin ‘bawa jas hujan’, bandel sih kamunya…”
“Iya Mamaaah, maafin Adnan…”
“Iya… Mamah cuma khawatir, takutnya ada apa-apa sama kamu…”
“InsyaAllah semua baik-baik aja, Mah…” jawabku menenangkan beliau.
“Ya sudah…pulangnya hati-hati ya…asalaamu’alaikum.”
“InsyaAllah…wa’alikumsalaam.” jawabku mentup percakapan.
Kekhawatiran seorang Ibu, yang terkadang membuatku merasa risih. Tapi kenapa harus risih? Memang begitulah naluri seorang Ibu. Apalagi karena besok adalah hari bersejarahku. Ya…besok adalah hari yang aku rindukan. Karena besok aku akan menggenapkan separuh agamaku. Maka wajar saja bila Mamah semakin khawatir.
Namun satu hal yang masih kusangsikan. Bahwa aku akan menikahi seorang perempuan yang tidak aku cintai. Kulitnya memang putih, tetapi wajahnya biasa saja (untuk tidak mengatakan jelek, maaf!), juga tidak begitu tinggi. Sejujurnya, tak ada sedikit pun rasa mahabbah di hati. Tak pernah ku lalui satu malam pun tanpa istikharah pada Allah. Bahkan hingga malam terakhir sebelum aku menikahinya, aku tetap istikharah. Tetapi semakin aku beristikharah dengan segenap kesungguhanku, kecenderungan itu semakin mantap kepadanya. Hingga kuyakinkan bahwa dirinya adalah pilihan Allah.
Namanya Nurul Azkiyya, gadis kelahiran Palembang yang besar di Bandung. Ia besar di tengah keluarga yang cukup sederhana, bersama seorang Ibu dan dua adik lelakinya. Karena sudah 8 tahun lebih mereka ditinggal wafat Bapaknya. Azkiyya seorang mahasisiwi semester lima di Fakultas Tarbiyah UNISBA (Universitas Islam Bandung). Kepeduliannya terhadap pendidikan agama Islam begitu besar. Untuk tambahan biaya kuliahnya, ia kerap mengajar di berbagai lembaga pendidikan. Mulai dari TAAM (Taman Asuh Anak Muslim), TKA (Taman Kanak-kanak Al Quran), TPA (Taman Pendidikan Al Quran), dan TQA (Ta’limul Qur’an lil Aulad). Kesibukannya cukup menguras waktu dan tenaganya. Hingga tak jarang ia jatuh sakit karena kelelahan.
***
Pagi itu mentari cukup hangat menyapa embun. Sehangat bathinku yang sudah siap mengucap akad. Tepat jam 07.30 WIB, kami sekeluarga sudah tiba di halaman masjid Raudhatul ‘Irfan daerah Cipaganti. Kaum hawa di arahkan ke pintu belakang masjid, sementara kaum adam masuk lewat pintu depan. Ruang utama masjid disekat dengan tabir hijau setinggi dada. Kaum adam berada di sebelah utara, sedangkan kaum hawa berada di selatan ruang utama. Di sana sudah hadir kerabat dari Azkiyya dan beberapa orang petugas dari KUA. Setelah semua menempati tempatnya, rangkaian acara penyambutan hinga serah terima pun dilaksanakan.
Anehnya, menjelang akad, tak sedikit pun rasa gugup menyapaku seperti cerita sahabat-sahabatku yang sudah menikah. Hingga aku duduk di hadapan meja akad nikah. Di sekitar meja sudah ada dua orang petugas KUA, dua orang saksi, dan Zakky adik kandung Azkiyya yang bertindak sebagai wali. Sedangkan Azkiyya belum dihadirkan sesuai kesepakatan hingga akad nikah ditunaikan.
Khutbah nikah telah disampaikan. Pemeriksaan keakuratan data pengantin sudah dilakukan. Semua rukun nikah pun sudah disiapkan. Kini tanganku menjabat tangan Zakky. Sejak itulah rasa gugup mulai menjalar menyusuri tanganku. Suara Zakky mulai kudengar dengan jelas saat mengucapkan ijab,
“Saya nikahkan anda Muhammad Adnan bin Rasyid Musthofa dengan kakak kandung saya Nurul Azkiyya binti Zainul ‘Arifin, dengan mahar 20 keping uang dirham dan 11 gram perhiasan emas, dibayar tunai…”
Tatkala Zakky mungucapkan kalimat sakral itu, pikiranku mulai tak focus. Serasa ada ribuan batu angin menghujani wajahku, menyumpali mulutku. Seakan-akan menghalangiku untuk mengucap kalimat qabul. Ini upaya syetan, tepisku. Bagaimana tidak? Hanya dengan satu kalimat saja, yang semula haram akan menjadi halal. Yang semula dosa akan menjadi pahala. Seraya memohon perlindungan kepada Allah dari tipu daya syetan yang terkutuk, akhirnya Allah memampukan aku mengucap,
“Saya terima nikahnya Nurul Azkiyya binti Zainul ‘Arifin, dengan mahar 20 keping uang dirham dan 11 gram perhiasan emas, dibayar tunai…”
“Bagaimana para saksi, Sah?”, “Sah…!”, “Sah…!”
“Alhamdulillah…” suara serempak mereka yang menyaksikan.
“Barokallohu laka wa baaroka ‘alaika wa jamaa’a bainakuma fii khoir”
“Semoga Allah memberkahimu dan menetapkan berkah atasmu, serta mengumpulkan engkau berdua dalam kebaikan.” (HR Ahmad)
Serangkaian do’a-do’a pun dilantunkan. Seketika itu pula air mataku bercucuran. Berharap agar kami diterima sebagai ummat Nabi SAW, seperti yang pernah beliau sabdakan,
“Nikah itu sunnahku. Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia termasuk golongan (ummat) ku.” (HR Ibnu Majah)
Usai berdo’a, Azkiyya pun dihadirkan. Ia keluar dari balik tabir, dari arah selatan. Tak henti kupandangi kedatangannya, yang kusambut dengan berdiri dan mengulurkan tangan. Ia pun segera meraih kedua tanganku hingga kami bergenggaman. Terang saja kejadian itu mengundang senyum dan tawa bahagia yang tidak kami pedulikan. Kulihat semburat senyum di wajahnya yang bermake-up sederhana. Selaksa embun pun menghias di pelupuk matanya. Yang perlahan terjatuh menyusuri pipinya.
Setelah ucapan-ucapan selamat dan do’a kami terima, rangkaian acara akad pun ditutup. Dari masjid kami semua berjalan menuju kediaman Azkiyya yang tak jauh dari sana. Dengan resepsi seadanya, kami hanya mengundang kerabat keluarga dan para tetangga. Tak lupa pula sahabat-sahabat dekat. Dan hari itu menjadi hari bersejarah dan melelahkan bagi kami.
***
Senja telah berganti malam. Malam ini malam zafaf (malam pengantin) bagi kami. Usai berjama’ah ‘Isya di masjid, aku bergegas pulang. Memasuki kamar Azkiyya yang sudah bertabur aroma wewangian. Di dalam kamar Azkiyya sudah menggelar dua sajadah. Satu digelar di depan dan satu lagi sedang ia duduki di belakang. Akupun melihat segelas air susu yang diletakkan di atas meja dekat tempat tidur. Sementara di bawah dekat tempat tidur ada bejana kecil berisi air. Nampaknya Azkiyya sudah faham. Segelas air susu untuk kami minum bersama, seperti ‘Aisyah RHa yang menyiapkannya untuk Rasulullah SAW. Lalu air di bejana, untuk membangunkan salah satu di antara kami yang belum bangun di sepertiga malam nanti. Sebagaimana Beliau SAW sabdakan:
"Allah merahmati suami yang bangun di malam hari dan menunaikan shalat. Kemudian ia membangunkan istrinya, dan jika ia enggan maka dipercikkan air ke mukanya. Allah juga merahmati seorang wanita yang bangun di malam hari untuk menunaikan shalat. Dia bangunkan suaminya dan apabila suaminya enggan maka dipercikkan air ke wajahnya." (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban, An Nasa'i dan Ibnu Majah)
“Asslaamu’alaik Yaa Baabar Rohmah…” ucapku sambil memasuki kamarnya.
“`Alayya wa `alaika salaam…” sambutnya seraya bangkit dari simpuhnya.
Tak lama kemudian kami bersalaman. Lembut bibirnya mengecup punggung tangan kananku. Betapa bahagianya aku. Begitupun Azkiyya yang wajahnya sudah merona saat menatapku. Sebelum kukecup keningnya, kuletakkan telapak tangan kananku pada ubun-ubunnya seraya berdo’a,
“Allahumma innii as`aluka min khairiha wa khairi maa jabaltaha. Wa a’udzubika min syarriha wa syarri maa jabaltaha.”
Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan wataknya . Dan aku mohon perlindungan –Mu dari kejahatannya dan kejahatan wataknya. (Hadits Imam Bukhari,Ibnu Majah, Abu Dawud dan Ibnu Sinni)
Perlahan lisan Azkiyya pun meng-aamiin-kan dengan membaca,
“Barakallahu likulli waahidin minna fi shaahibihi.”
Semoga Allah memberkahi masing masing di antara kita terhadap teman hidupnya. (Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkaar)
“Sajadahnya udah Kiyya siapin, Bang…”
“Kok masih manggil Abang? Kita kan udah halal…” cumbuku seraya mencubit pipi ‘chubby’nya.
“Oh…iya…” jawabnya sambil merunduk tersipu, menyembunyikan wajahnya yang memerah.
“Sajadahnya sudah siap, Abi…sholat sekarang yuk?” ujarnya dengan wajah masih tersipu.
“InsyaAllah, syukron Ummi…” sahutku sambil mendaratkan kecupan di keningnya. Membuat putih wajahnya menjadi semakin merah merona.
Kami menunaikan shalat sunnat dua raka’at, seperti atsar shahabat yang disarankan kepada Abu Sa’id Maulana Usaid RA. Ia mengatakan : “Aku menikah, sedangkan aku seorang budak. Maka aku mengundang segolongan sahabat Nabi SAW. Di antara mereka ada Ibnu Mas’ud RA, Abu Dzar RA dan Hudzaifah RA. Dan mereka kemudian mengajariku dengan berkata, ”Jika engkau mendatangi istrimu, maka shalatlah dua rakaat, kemudia mintalah kepada Allah terhadap apa yang masuk kepadamu dan berlindunglah dari kejelekannya, kemudian keadaanmu dan istrimu.”
Usai sholat, kulafadzkan do’a ,
“Allahumma baarik lii fii ahlii, wa baarik lahum fiyya.
Allahumma ijma’ bainana kamaa jama’ta fii khair, wa farriq bainana idza farraqta ilaa khair.”
Ya Allah , barakahilah bagiku dalam keluargaku, dan berilah barakah mereka kepadaku.
Ya Allah kumpulkan diantara kami apa yang engkau kumpuljan dengan kebaikan dan pisahkan antara kami jika engkau mememisahkan menuju kebaikan (Hadits Abdullah bin Mas’ud)
Dengan suara lembut dan perlahan Azkiyya meng-aamiin-kan. Setelah serangkaian do’a-do’a kami lantunkan, tiba-tiba Azkiyya menyandarkan tubuhnya merangkulku dari belakang.
“Abi…Ummi lelah, Bi…lelah sekali.” dengan suara lemahnya.
“Ya udah Ummi istirahat aja…Abi mau witir dulu ya.” ujarku.
Namun Azkiyya tak beranjak dari rangkulannya di punggungku. Tampaknya ia tertidur. Memang hari yang melelahkan setelah seharian melaksanakan resepsi meski sederhana. Namun kodisi tubuh Azkiyya yang mudah lelah memaksa ia menyerah pada pertahanan tubuhnya. Maka kurangkul ia dan memangkunya, menuju pembaringan. Usai kubaringkan tubuh lemahnya, di awal malam zafaf itu aku tunaikan 3 raka’at witir, khawatir nanti tidak sempat bangun di sepertiga malam terakhir. Seperti Shahabat Abu Bakar RA, yang dikisahkan oleh Abu Qatadah,
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Bakar, " Kapankah kamu melaksanakan witir?" Abu Bakr menjawab, “Saya melakukan witir di permulaan malam”. Dan beliau bertanya kepada Umar, "Kapankah kamu melaksanakan witir?" Umar menjawab, “Saya melakukan witir pada akhir malam”. Kemudian beliau berkata kepada Abu Bakar, "Orang ini melakukan dengan penuh hati-hati." Dan kepada Umar beliau mengatakan, “Sedangkan orang ini begitu kuat." (HR. Abu Daud)
Memang Rasulullah SAW biasa mengakhirkan witir, namun terkadang beliau melaksanakannya di awal malam. Sebagaimana yang diungkapkan Ummul Mu’minin ‘Aisyah RHa,
“Kadang-kadang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan witir di awal malam, pertengahannya dan akhir malam. Sedangkan kebiasaan akhir beliau adalah beliau mengakhirkan witir hingga tiba waktu sahur.” (HR. Muslim)
Usai sholat witir aku memperhatikan istriku yang sedang terbaring lemah. Azkiyya nampak lelap sekali dengan tubuh yang masih terbalut mukena. Perlahan kutanggalkan mukena yang masih dipakainya. Aroma melati pun lembut tercium dari tubuhnya. Rupanya istriku cantik sekali malam ini. Perlahan kubelai rambut panjangnya. Seakan tak percaya bahwa kini ia sudah menjadi milikku. Seekor nyamuk pun takkan kubiarkan menyentuh putih kulitnya, maka kutarik selimut untuk melindunginya.
Setelah memadamkan lampu aku berbaring di sebelah kirinya dengan posisi sunnah, miring ke sisi kanan di mana Azkiyya tengah terlelap. Tak lupa kulafadzkan do’a,
“Allahumma aslamtu nafsii ilaiKa, wa fawadhtu amrii ilaiKa, wal ja`tu zhohrii ilaiKa, rohbatan wa roghbatan ilaiKa, laa mal jaa`a wa laa manjaa minKa illaa ilaiKa, aamantu bi kitaabiKalladzii anzalta wa bin nabiyyiKalladzi arsalta
Ya Allah, kuserahkan diriku kepada-Mu, kuserahkan urusanku kepada-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dalam keadaan harap dan cemas, karena tidak ada tempat berlindung dan tempat yang aman dari adzab-Mu kecuali dengan berlindung kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan aku beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus.
Dengan membaca do’a ini, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu meninggal (pada malam itu) maka kamu mati dalam keadaan fitrah (suci).” (HR Bukhari)
***
Hari ketiga dari tujuh hari pertama berumah tangga, aku tinggal bersama keluarga Azkiyya. Kuhabiskan hari cutiku bersama mereka. Keluarga yang harmonis nan cukup sederhana. Saling membantu dan pengertian adalah kebiasaan mereka. Tak jarang mereka pun saling bercanda. Kedua adik Azkiyya kerap menggoda Kakak perempuan satu-satunya. Karena sudah ada aku di samping Azkiyya. Suasana hangat itu membuatku tak kaku tinggal bersama mereka. Sesekali aku pun sering berbincang dengan Ibu dan kedua adiknya. Seperti menemukan keluarga yang sudah lama tak jumpa.
Suatu pagi selepas dhuha bersama, di ruang keluarga kupetik gitar milik Zainal, adik bungsunya. Mengungkapkan perasaanku pada Azkiya melalui sebuah lirik lagu yang disukainya.
“Kau bagaikan angin di bawah sayapku
Sendiri aku tak bisa seimbang
Apa jadinya bila kau tak di sisi
Meskipun aku di surga mungkin aku tak bahagia
Bahagiaku tak sempurna bila itu tanpamu
Aku ingin kau menjadi bidadariku di sana
Tempat terakhir melabuhkan hidup di keabadian”
(Tempat Terakhir - Padi)
Azkiyya pun tersenyum-senyum. Seiring senyum yang semakin melebar, ia berkata,
“Subhanallah, suaranya bagus Bi…”
“Ada tapinya enggak?” tanyaku seraya menggoda.
“Tapi lebih bagus lagi kalau Abi gak usah nyanyi…” lanjutnya seraya berlari kecil menuju ruang depan.
Tak kubiarkan, aku pun mengejarnya ke ruang depan. Kami berlarian seperti anak-anak yang sedang bermain ‘petak umpet’. Dari ruang depan Azkiyya berhasil menghindari kejaranku menuju kamarnya. Aku pun masih mengejarnya sampai ke kamar. Di kamar aku berhasil menangkapnya, lalu menggelitik badan dan pinggangnya. Ia tertawa-tawa tak kuasa menahan serangan jari-jariku di seputar badannya. Saat kulihat tawanya, Azkiyya semakin cantik saja.
Azkiyya hanya pasrah dalam belenggu pelukanku. Lalu kami terdiam dan saling menatap. Tatapan yang penuh cinta nan suci. Mengundang tatapan Allah pada kami dengan tatapan penuh rahmat-Nya.
Jemari tangan kami bergenggaman penuh mesra. Mengundang Allah mencurahkan maghfirah atas kami. Ketika itu malaikat-malaikat bertasbih, karena menyaksikan guguran dosa yang berserakan dari tubuh kami.
Perlahan, kudekatkan bibirku pada bibirnya. Hingga kedua bibir kami berpagutan penuh cinta nan mesra. Namun Azkiyya terperanjat dalam pelukan dan segera menarik bibirnya. Dengan mata yang tampak kaget ia berrtanya,
“Abi masih punya wudhu enggak, Bi?”
“Masih, Ummi sayang…kenapa?”
“Syukurlah, Ummi cuma takut aja. Jangan sampai syetan menyentuh Ummi mendahului Abi, hanya gara-gara Abi belum berwudhu.”
“MasyaAllah…makasih Ummi, udah ngingetin. InsyaAllah Abi masih punya wudhu.”
“Sekalian aja yuk Bi…” sahutnya sambil menarik tubuhku ke arah tempat tidur dengan bibir yang masih bertautan.
Aku mengerti apa yang diinginkannya. Sebelum semua kemesraan itu berlanjut, segera ku lafadzkan do’a
“Allahumma Jannibnasy Syaithon wa Jannibisy Syaithon Maa Rozaqtanaa.”
Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari kami terhadap apa yang Engkau rizqikan kepada kami.”
Sebab Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya seorang dari kalian ingin mendatangi istrinya, hendaklah dia berdoa (seperti do’a di atas). Sesungguhnya jika dikehendaki diantara mereka berdua seorang anak saat itu maka setan tidaklah dapat mencelakakannya selamanya.” (Muttafaq Alaihi)
Dan pagi itu, kami habiskan dengan becumbu mesra. Berpeluh rindu dalam surga dunia. Berbuah rahmat, maghfirah dan surga yang dijanjikan-Nya.
"Masuklah kamu berserta istrimu ke dalam surga untuk digembirakan." (QS. Az Zukhruf: 70)
***
Masa cutiku telah selesai. Aku harus kembali bekerja. Bergelut kembali dalam Laboratorium obat pewarna. Kali ini bukan lagi menafkahi diri sendiri, tetapi ada seorang istri yang wajib aku nafkahi. Hari itu aku bekerja shift dua (14.00-22.00 WIB). Ba’da ‘Isya sekitar jam 20.00 WIB telpon kantor menyala, ada suara Zakky di seberang sana.
“Assalaamu’alaikum, Kak Adnan…bisa pulang sekarang Kak?”
“Wa’alaikumsalaam, ada apa Zak?”
“Kak Kiyya sakit lagi Kak…”
“Inalillah… sudah ditangani dokter? Coba hubungi Dr. Bobby…”
Dr Bobby adalah seorang mualaf yang pernah kuajar mengaji.
“Belum Kak, masih dikamar ditemani Ibu…tunggu Kak Adnan aja kata Ibu”
“Iya..iya…Kak Adnan pulang sekarang ya. Syukron, Zak…”
Setelah menutup perbincangan dan telponnya. Aku segera meminta izin pulang lebih awal. Dengan rasa penuh cemas kutancap gas motorku tak seperti biasanya. Pikiranku hanya tertuju pada Azkiyya. Sepenjang perjalanan Batujajar-Bandung lisanku tak henti berdo’a,
“Allahumma Robbannaasi adzhibil ba’sa isyfii, Anta Syafii`, laa syifaa`an illaa syifaa`uKa, syifaa`an laa yughoodhiru saqoman.”
Ya Allah Tuhan sekalian manusia hilangkanlah penyakit dan sembuhkanlah, Engkaulah Maha Penyembuh, tak ada yang menyembuhkan selain kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tiada sakit lagi. (HR. Bukhari Muslim)
Sebelum menuju rumah, aku mampir ke Klinik Kita untuk menjemput Dr. Bobby. Tak lama kami pun tiba di rumah. Nafas Azkiyya tampak berat. Tubunya pun sedikit membengkak. Kami segera menghampiri, lalu aku berdiri di samping kanannya. Dengan bantuan Ibu, Dr. Bobby memeriksa Azkiyya sangat hati-hati, tanpa menyentuh kulitnya. Menurut Ibu, Azkiyya terlalu lelah mengajar dari pagi hingga sore.
“Mungkin sakit asmanya kambuh….” ujar Ibu.
“Sudah berapa lama Kiyya sakit begini, Bu…” sela Dr. Bobby.
“Sudah hampir setahun ini, Dok..” jawab Ibu.
Dr. Bobby termenung sesaat. Dia menatapku dalam-dalam. Seakan-akan matanya mengatakan sesuatu yang tidak kami harapkan.
“Saya mohon maaf…untuk saat ini saya belum bisa menangani Azkiyya...” ujar Dr. Bobby
“Maksud Dokter…?” sahutku cemas.
“Saya butuh hasil pemeriksaan dari Rumah Sakit, dan sebaiknya kita periksakan Azkiyya ke sana…”
Tanpa berpikir lagi kami menyetujui saran Dr. Bobby. Dr. Bobby segera menelpon sopirnya untuk membawa mobilnya ke rumah kami. Sebuah Avanza pun tiba, aku bergegas menggendong Azkiyya yang sudah tak sadarkan diri ke dalam mobil. Sementara Ibu menyusul dari belakang setelah menyiapkan segala sesuatunya. Kami berlima menuju Rumah Sakit Hasan Sadikin. Zakky dan Zainal tinggal di rumah.
Setibanya di RSHS, Dr. Bobby mengurus semuanya. Aku menggendong Azkiyya yang masih tak sadarkan diri menuju pelataran rumah sakit. Azkiyya pun segera ditangani beberapa perawat menuju ruang ICU. Sementara aku bersama Ibu menunggu dengan penuh khawatir cemas. Tak henti-hentinya bathinku memohon segala kebaikan untuknya. Setelah pemeriksaan selama 15 menit, Dr. Bobby muncul di hadapan kami.
“Istri saya sakit apa, Dokter…” tanyaku cemas.
“Dr. Syarif ingin bicara dengan kalian, mari ikut saya…!”
Di ruangan itu, Dr. Syarif sudah menunggu. Setelah memperkenalkan diri kami masing-masing, Dr. Syarif menerangkan,
“Menurut keterangan dari Dr. Bobby, Azkiyya sudah lama mengalami gejala seperti ini, betul Bu?”
“Betul, Dokter…udah hampir setahun.” sahut Ibu.
“Setiap sakit seperti ini, apakah tubuhnya selalu membengkak?” lanjut Dr. Syarif.
“Betul, Dok…memangnya Azkiyya sakit apa, Dok…?” ujar Ibu menimpali.
“Gejala apa yang dialami istri saya, Dokter?” tanyaku semakin cemas.
Dr. Syarif perlahan menatap ke arah Dr. Bobby, yang hanya menganggukkan kepala. Hey….ada apa ini? ungkapku dalam bathin. Setelah melepas kacamatanya, Dr. Syarif melanjutkan,
“Gejala yang dialami Azkiyya ini, bukan penyakit biasa. Bukan karena kelelahan ataupun sebagainya. Juga bukan karena sakit asma. Gejala-gejala ini diakibatkan oleh sebuah virus, yang kami kenal sebagai ‘Systemic Lupus Erythematosus’ (SLE), atau biasa kami sebut ‘Lupus’.”
INNALILLAAH…penyakit apa lagi ini? umpatku membathin seraya menatap Dr. Bobby yang tengah berdiri di sebelah meja Dr. Syarif. Seperti memahami bathinku Dr. Bobby ikut menerangkan,
“Jenis penyakit Lupus ini memiliki tiga macam. Pertama, Cutaneus Lupus, seringkali disebut discoid yang mempengaruhi kulit. Kedua, Systemic Lupus Erythematosus(SLE) yang menyerang organ tubuh seperti kulit, persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati, otak, dan syaraf. Ketiga, Drug Induced Lupus(DIL), timbul karena menggunakan obat-obatan tertentu.”
“Betul…dan rupanya istri Bapak mengidap jenis yang kedua. Virus itu tidak hanya menyerang organ tubuh, tetapi ia juga menyerang system imun dan seluruh jaringan sel dalam tubuh. Maka wajar, ketika virus ini aktif pasien akan mudah lelah, karena kekebalan tubuhnya melemah. Tetapi ketika virus ini nonaktif pasien tidak akan merasakan apa, layaknya orang sehat biasa saja.” lanjut Dr. Bobby.
MaasyaAllah…mendengar penjelasan itu membangkitkan rasa berkecamuk dalam dada. Rongga dadaku seakan dipenuhi sesuatu hingga menyesak di dalamnya. Ibu hanya mampu menangis mendengar semuanya.
“Kasihan Kiyya…Ya Allah. Ini salah Ibu, kenapa enggak dibawa kedokter dari dulu…” lirihnya menyesali keadaan.
“Ibu…tenang, Bu… Azkiyya pasti sembuh.” ujarku meyakinkannya.
***
Di ruang ICU Azkiyya terbaring lemah tak sadarkan diri. Ditemani Ibu yang tak henti-henti mengalirkan tangis kasih sayangnya. Sementara aku berbincang lebih dalam bersama Dr. Syarif dan Dr. Bobby. Menurut mereka virus ini belum ditemukan obatnya. Tetapi bisa dicegah agar tidak menyebar dan menyerang organ tubuhnya lainnya. Ditengah perbincangan, seorang perawat menghampiri kami, menyerahkan amplop besar berwarna cokelat kepada Dr. Syarif. Kami pun segera kembali menuju ruang Dr. Syarif. Di dalam ruang itu Dr. Syarif membuka amplopnya.
“Ini hasil rontgen istri Bapak…” sambil mengeluarkan isinya.
Setelah melihat hasil rontgen, Dr. Syarif dan Dr. Bobby hanya saling menatap. Seakan-akan tak ingin mengabarkan hasilnya padaku. Lalu Dr. Bobby menatap ke arahku, dan tiba-tiba merangkulku sambil terisak-isak.
“Ada apa ini, Dok…? Bagaimana hasilnya?” tanyaku semakin heran dan penuh kecemasan.
“Maaf Pak Adnan…istri Bapak sudah tidak memiliki ginjal. Virus itu sudah menghabiskan kedua buah ginjalnya.” ujar Dr. Syarif.
Laksana gelegar halilintar di tengah siang, aku kehilangan keseimbangan. Tubuhku melemah dalam rangkulan Dr. Bobby. Seakan tak percaya apa yang dikatakan Dr. Syarif. Dan sejak itu aku tak ingat apa-apa lagi. Aku pingsan…
Selama kurang lebih satu jam aku baru siuman. Dr. Bobby mengabarkan bahwa Azkiyya sudah sadar dan menanyakan keberadanku. Aku segera bergegas menghampirinya di ruang ICU. Tampak Azkiyya sedang duduk di dampingi Ibu. Aku segera memeluknya dan menangis dalam pelukannya.
“Abi, kenapa nangis? Ummi enggak apa-apa kok, Ummi udah baikan…” ucapnya meyakinkanku.
“Iya…Ummi pasti sembuh…Allah sayang sama Ummi.” jawabku.
Padahal aku lebih tau apa yang sedang menimpanya, dan tetap menangis dalam peluknya.
Tepat jam 02.00 WIB, aku diminta pulang untuk menyiapkan perlengkapan yang belum sempat disiapkan Ibu. Karena Azkiyya harus dirawat beberapa hari di sana. Setelah sholat witir dan membereskan semua perlengkapan, termasuk selimut dan pakaian ganti untuk Azkiyya, aku segera kembali ke rumah sakit.
Azkiyya masih terjaga, sedangkan Ibu terlelap di kursi ruangan itu. Setelah menyimpan semuanya aku kembali menghampiri Azkiyya. Menemani kesendiriannya dini hari itu.
“Abi…semester depan Ummi pengen istirahat aja, Bi…” ujarnya sambil memeluk tubuhku dan menyandarkan kepalanya di atas dadaku.
“Iya…Ummi harus banyak istirahat, Sayang…biar cepet sembuh.”
“Ummi udah sembuh Bi, nih lihat…Ummi udah enggak apa-apa kan?” ujarnya manja.
“Iya, iya…mudah-mudahan Ummi sudah benar-benar sembuh ya?
“Aamiin…”
Suasana cukup hening dini hari itu. Hanya kami berdua yang terjaga di ruang itu. Masih dalam pelukanku, Azkiyya bersenandung. Menyenandungkan sebuah nasyid ‘Muhasabah Cinta’.
“Eh…Abi kok nangis lagi?” ujarnya manja sambil menatap wajahku.
Aku tak mampu menjawab, sesak dalam dadaku semakin mendesak ke tenggorokanku.
“Abi…Ummi pengen pulang, Bi…Ummi gak betah di sini.” suaranya yang kembali memelukku.
“Iya…kita tunggu keputusan Dokter dulu ya. Mudah-mudahan nanti pagi atau siang kita bisa pulang.”
“Ya harus dong, Abi…masa mau nginep di sini terus…pulang sekarang aja yuk, Bi…”
“Iya…sabar, Sayang…! Kita harus tunggu dulu keputusan Dokter. Udah bisa pulang atau enggak…”
***
Lantunan syahdu adzan shubuh serasa merdu terdengar di telinga. Menyeru jiwa-jiwa yang tertidur untuk segera menghadap pada Sang Maha Pencipta. Aku pamit pada Azkiyya untuk mencari mushola. Sementara Ibu dan Azkiyya sudah siap untuk sholat di tempatnya.
Di mushola aku sholat bersama beberapa orang yang sudah ada di sana. Selesai sholat kupanjatkan do’a-do’a memohon kesembuhan untuk Azkiyya. Di tengah nikmat bermunajat, ada suara memanggil mengejutkanku. Rupanya Dr. Bobby menginap di rumah sakit malam itu.
“Nan…Adnan…Azkiyya, Nan…”
“Ada apa dengan Azkiyya, Dok…?”
“Azkiyya tak sadar lagi, Nan…Kali ini cukup kritis.”
Aku segera berlari menuju ruang ICU. Kulihat Ibu sedang menjaga Azkiyya. Dengan tubuh yang masih terbalut mukena, nafas Azkiyya kembali tersenggal-senggal. Aku tak mampu menahan tangis. Ia menatap lemah ke arahku. Lisannya seakan-akan ingat berkata-kata.
“Katakan Sayang, katakan…” ujarku seraya mendekatkan telingaku ke bibirnya.
Dengan nafas tersenggal-senggalnya, dan suara lemah yang terputus-putus, Azkiyya membacakan,
“Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah, irji’ii ilaa Robbiki roodhiyatam mardhiyah, fadkhulii fii ‘ibaadii, wadkhulii janatii.” (QS Al Fajr : 29-32)
Allahuakbar… Aku faham maksudnya. Ia meminta keridhoanku agar ia segera bertemu dengan Rabbnya. Sekalipun aku tidak merelakan kepulangannya tetapi Allah sudah merindukan jiwanya.
Semburat senyum perlahan menghias di bibirnya. Seolah mengabarkan pada kita semua bahwa ia telah melihat istananya di surga. Keringat lembut pun mengembun disekitar keningnya. Pertanda syahid di akhir hayatnya. Rupanya keinginan Azkiyya untuk istirahat semester depan, adalah istirahat untuk selamanya. Keinginannya untuk pulang dini hari itu adalah pulang ke sisi Rabbnya.
“Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun…”
***
Proses pemulasaraan usai dilaksanakan. Aku sendiri turut memandikan, memimpin sholat jenazah, dan menidurkannya di pembaringan terakhir. Usai pemakaman, aku masih duduk di sebelah kiri pusaranya. “Allahummaghfir li Nurul Azkiyya binti Zainul ‘Arifin, warfa’ darojataha fil mahdiyyin, wafsahlaha fii qobriha, wanawwir laha fiiha, wakhlufha fii ‘aaqibiha…”
Ya Allah berikan ampunan bagi Nurul Azkiyya binti Zainul ‘Arifin, angkatlah derajatnya di pembaringan terakhirnya, lapangkanglah kuburnya, dan terangilah ia di dalamnya, serta gantikanlah ia dengan keturunannya…”
Siang itu suasana duka meliputi kami sekeluarga. Kepulangan Azkiyya harus kami terima dengan lapang dada. Karena tak lama lagi kami pun akan segera menyusulnya kesana. Banyak kerabat yang berdatangan. Termasuk Mamahku yang sejak pagi tak kuasa menahan tangisnya. Yang senantiasa mengingatkanku untuk tetap ikhlas dan bershabar.
“Kak Adnan, ini buku harian Kak Kiyya…” suara Zakky menyadarkanku dari lamunan. Sambil menyerahkan sebuah diary.
“Apa Kakak boleh membukanya, meski tak seizin Kak Kiyya?” tanyaku.
“Zakky pernah berusaha membacanya,Kak. Tapi Kak Kiyya mmelarangnya. Dan waktu itu Kak Kiyya bilang bahwa buku catatannya itu hanya boleh dilihat sama suaminya nanti. Jadi hanya Kak Adnan lah yang berhak membaca isinya…” tutur Zakky.
Lembar demi lembar kubaca catatannya. Isinya hanya catatan pengalaman sehari-harinya. Namun ada satu halaman yang mengundangku untuk terus membacanya,
“Semestinya aku banyak berdzikir
Bukan hanya menyesali takdir
Seharusnya aku banyak berfikir
Sebelum hidupku harus berakhir…
Ya Rabbi…
Jika sakit ku ini karena dosa-dosaku yang harus digugurkan
Maka ampunilah dosa-dosaku..
Tetapi jika sakit ini adalah kasih sayang-Mu
Maka biarlah aku menikmati sebentuk kasih sayang-Mu
Hingga nanti kunikmati syurga-Mu…”
Kemudian bait berikutnya sebuah lirik nasyid yang ia senandungkan sewaktu memelukku di ruang ICU,
“Tuhan kuatkan aku
Lindungiku dari putus asa
Bila ku harus mati
Pertemukan aku dengan-Mu…
Kata-kata cinta terucap indah
Mengalir berdzikir di kidung do;aku
Sakit yang kurasa biar jadi penawar dosaku…
Butir-butir cinta air mataku
Teringat semua yang kau beri untukku
Ampuni khilaf dan salah slama ini Ya Ilahi
Muhasabah Cintaku…”
Setelah membaca semua catatannya, rupanya Azkiyya sudah tahu kondisi fisiknya. Hanya saja Ia tidak ingin membuat Ibu cemas. Ia tidak ingin menyusahkan Ibu. Ia ridho dengan segala keadaannya. Karena itu adalah bentuk kasih sayang Allah kepadanya.
Di buku catatan itu aku menulis balasan atas semua catatannya,
“Pulanglah istriku, temui Rabbmu
Karena Allah lebih merindukanmu
Pulanglah istriku dengan jiwa tenangmu
Karena aku telah meridhoimu
Pulanglah istriku ke tempat terakhir di sisi Rabbmu
Dan nantikan aku di istana syurgamu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar