Jumat, 25 Mei 2012

AYAH UNTUK AISYAH (Cerpen)

"Bunda, kenapa menangis?" Ucap Aisyah dengan lirih sambil mengusap airmata yang menetes di ujung pipiku.

Kelembutan tangannya yang menyentuh pipiku membuatku semakin terharu, ucapannya yang manja, gerakannya yang lincah menambah kecinta-anku padanya kian membuncah. Tak terasa kini Aisyah seudah berumur 5 tahun, waktu berjalan begitu cepat, tak terasa sudah lima tahun aku hidup tanpa seorang suami, hari-hari aku lalui dengan buah hatiku.buah dari hasil cintaku pada suamiku.

Hari ini merupakan hari lahirnya namun tak seperti kebiasaan anak-anak lain seumurnya yang selalu merayakan hari lahirnya setiap tahunnya. Tapi tidak dengan Aisyah, ia hampir tidak pernah merasakan bagaimana rasanya berulang tahun. Karena aku tidak pernah merayakan hari lahirnya.


Suatu hari sepulang kerja,di dalam keadaan ku yang penat dan letih karena sehari-an aku bekerja membanting tulang mencari nafkah untuk menghidupi anak si mata wayangku, ketika aku sandarkan kepalaku di sebuah kursi yang nampak lusuh Aisyah menghampiriku dengan gayanya yang riang, senyumnya yang membuat kepenatan yang aku rasakan hilang seketika,

" Bunda capek yah.. Aisyah pijat Bunda yah biar capeknya hilang.."

Seketika aku langsung memeluknya, wanita mana yang tidak bahagia jika melihat buah hatinya tumbuh menjadi anak yang cerdas,dan penurut meskipun Aisyah tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Namun ia tidak pernah kelihatan bersedih, hari-harinya selalu dalam keceriaan.

***

Suamiku meninggal semenjak Aisyah masih dalam kandungan, ketika itu kandunganku masih berumur enam bulan.

"Apakah ini dengan Ibu Rasti." Tanya seorang wanita dari ujung telepon

"Ya betul saya sendiri.."

"Maaf Ibu, suami Anda kecelakaan dan saat ini sedang di rawat di ICU harap kedatangannya secepatnya. Ia dalam keadaan parah dan kemunginan besar tidak bisa tertolong lagi."

Detak jantungku berdenyut begitu kencang, aliran darahku seakan-akan berhenti mengalir, tubuhku lemas lunglai tidak berdaya mendengar berita yang sontak mengejutkanku, kakiku tak kuasa untuk melangkah hanya airmata yang terus menerus mengalir tiada henti. Di sebuah kontrakan mungil ku menangis seorang diri. tak seorang pun yang bisa di ajak berbagi. Sungguh kejadian ini di luar dugaanku. Aku tidak menyangka kebahagianku dengan suamiku hanya sesaat. Kebahagian yang baru kukecap seketika kini harus pergi berlalu dari hidupku.

***###***

Aku meniti hari demi hari seorang diri, semenjak kematian suamiku aku memilih untuk bertahan hidup di kota metropolitan ini,bukan aku tidak mau menikah lagi, berulang kali ibuku mencoba mengenalkanku dengan seorang laki-laki, namun entah mengapa aku seakan-akan lebih nyaman dengan kesendirianku, sebagai seorang wanita yang hidup sendiri tanpa suami apalagi aku mempunyai kewajiban untuk menghidupi Aisyah berbagai pekerjaan rela aku geluti hanya untuk menyambung hidup, dari karyawan toko sampai tukang cuci aku tekuni, dengan gaji yang tak seberapa itulah aku berhasil menyambung hidup hingga kini. Meskipun masih ada sedikit uang peninggalan suamiku yang bisa aku manfaatkan untuk pendidikan anakku kelak. Sebagai single parent aku mempunyai tugas yang cukup berat.di satu sisi Sebagai seorang ibu aku harus merawat dan membesarkan anakku seorang diri.
Dan disisi lain sebagai wanita pekerja aku harus mengikuti segala peraturan yang ada di tempat kerjaku. Sedapat mungkin aku bagi waktuku untuk Aisyah anak kesayanganku. Buah hati dari cinta pertamaku, peninggalan suamiku yang amat berharga bak intan berlian dan permata.


Sebagai seorang ibu aku sangat bahagia melihat Aisyah tumbuh menjadi anak yang penurut ia sangat mandiri, di usianya yang masih balita ia begitu kelihatan dewasa di banding anak-anak yang seusianya, tak pernah terdengar ia merengek-rengek minta mainan ini dan itu. Ia lebih suka belajar mengaji di rumah Ustadz Farid yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari kontrakanku.

"Bunda, kata Ustadz Farid kalau mau jadi anak yang pinter harus patuh sama orang tua ya Bun..?" Tanyanya kepadaku saat aku membuatkan susu untuknya.

Saat itu juga airmataku mengalir, tak tau kenapa akhir-akhir ini aku sering terharu melihat tingkah laku dan kata-kata anakku. Aku mudah menangis di buatnya. Airmata ini mungkin airmata kebahagiaan, airmata seorang ibu yang menyayangi dan mencintai buah hatinya.

"Bun, Aisyah pengen punya ayah seperti Ustadz Farid yang pinter ngaji jadi nanti bisa mengajari Aisyah baca al-Qur'an. Aisyah kan pengen bisa hafal al-Qur'an, Aisyah pengen masuk surga agar bisa bertemu dengan Ayah. Bunda kan pernah bilang kalau Ayah Aisyah sekarang ada di surga, dan untuk bisa kesurga kata Bunda Aisyah harus hafal al-Qur'an. Aisyah pengen bisa hafal al-Qur'an agar bisa melihat wajah ayah."


Mendengar kata-kata yang terucap dari mulutnya airmata ini kembali jatuh, kudekati anakku, kupeluk ia begitu erat aku cium pipinya yang tembam,aku tak menyangka anakku akan berkata seperti itu perkataan yang mampu membuat hati seorang ibu luluh. Lalu ku bisikkan kata-kata yang lembut padanya

"Nak, bunda bangga pada Aisyah, Bunda yakin kalau Aisyah bisa menghafal al-Qur'an, belajar yang rajin ya nak sama Ustadz Farid, biar cepet hafal al-Qur'annya."


"Oya Bun..tadi Ustadz Farid tanya ke Aisyah, katanya kalau Ustadz Fardi jadi ayahnya Aisyah kira-kira Aisyah setuju tidak?"

"Terus Aisyah jawab apa?" Tanyaku kepadanya

"Aisyah kan pengen punya ayah jadi Aisyah jawab setuju Bun.."

Benarkah anakku merindukkan figur seorang ayah, selama ini aku tidak pernah memikirkan akan hal itu, aku pikir dengan kasih sayang yang aku berikan kepadanya itu sudah lebih dari cukup. Tapi ternyata tidak, ia merindukan belaian seorang ayah.tapi bagaimana caranya agar ia bisa mendapat kasih sayang seorang ayah, apakah aku harus menikah lagi? Apakah benar apa yang di katakan Aisyah kalau Ustadz Farid ingin menjadi ayahnya? Berbagai pertanyaan kini bermain-main di otakku pertanyaan yang entah apa jawabannya aku pun tak tau.


***###***

Cuaca sore ini begitu mendung, langit tak seindah biasanya, awan mendung kini menaungi kota jakarta, langit yang biasanya berwarna biru kini berganti warna menjadi hitam pekat. Ku percepat langkah kakiku menuju rumah Ustadz Farid, seketika aku lihat jam di tanganku, sudah pukul 16.30 aku terlambat setengah jam pasti kini Aisyah sedang menungguku, bisikku dalam hati. Bukan hari ini saja aku terlambat menjemputnya sudah terlalu sering bahkan hampir setiap hari, pekerjaanku yang menumpuk membuatku selalu terlambat untuk menjemputnya, untung Ustadz Farid begitu baik, saking baiknya terkadang timbul perasaan tidak enak di dalam hatiku.

Ustadz Farid adalah kawan sepengajian suamiku dulu, di usianya yang sudah cukup dewasa ia belum memiliki istri. Sifatnya yang baik, tingkah lakunya yang sopan dan pembawaanyab yang menarik membuat ia banyak di sukai anak-anak termasuk Aisyah, bahkan Aisyah selalu mengidolakan Ustadz Farid di hadapanku.

Dari kejauhan aku lihat Aisyah sedang duduk bersama Ustadz Farid di teras rumah, dari raut mukanya aku lihat keceriaan dan kebahagiaan. Kasihan Aisyah mungkin ia begitu merindukan seorang ayah, pantes kalau ia mengagumi Ustadz Farid, karena dari dia-lah Aisyah menemukan sosok seorang Ayah.gerutu ku dalam hati sambil ku berjalan mendekatinya.

"Assalamu'alaikum Ustadz..maaf saya telat lagi menjemput Aisyah..jadi merepotkan Ustadz"
ucapku dengan nada merasa bersalah.

"Tidak apa-apa bundanya Aisyah, saya bahagia bisa bermain-main dengan Aisyah apalagi ia anak yang manis dan lucu." Jawabnya dengan senyuman yang mengambang.

"Terimakasih Pak Ustadz dan maaf sudah merepotkan, kami pamit dulu ya. Assalamu'alaikum"

Kaki ini baru mau melangkah keluar teras rumah tiba-tiba dari belakang suara ustadz Faridz memanggilku.

"Tunggu Bundanya Aisyah, ada sesuatu yang pengen aku kasihkan ke Rasti. Aku harap Rasti mau membacanya. Jika nanti sudah membacanya, ambillah keputusan. Saya tidak pernah memaksa, apapun keputusan Rasti akan saya terima dengan lapang dada." Ucapnya sambil menyodorkan sebuah amplop putih kepadaku.


***###***

Masih ku pandangi surat itu, hati ini masih enggan untuk membukanya, rasa ragu selalu menyelimuti hatiku, entah rasanya hati ini belum bisa menerima cinta dari laki-laki lain, apa mungkin karena terlalu lama hidup sendiri jadi merasa tidak butuh pendamping hidup lagi, entahlah yang pasti aku masih trauma akan kecelakaan yang menewaskan suamiku dulu.

Malam kian merayap, Aisyah sudah terlelap dalam tidurnya, seketika ku pandangi wajah gadis kecilku ada kedamaian, ia begitu tenang dalam tidurnya. Sesaat aku ambil amplop putih yang bergeletak di samping ku. Aku paksakan diri untuk membuka dan membacanya.

"Assalamu'alaikum Bundanya Aisyah.."

Maaf jika saya lancang menulis surat ini, dan saya minta maaf jika saya terlalu kurang ajar. Sungguh saya tidak bermaksud seperti itu. Sudah terlalu banyak saya mendengar cerita Rasti dari Aisyah Ya..Aisyah gadis cantik dan pintar, entah kenapa aku begitu menyayanginya seperti anak saya sendiri. Suatu hari ia bertanya kepadaku dan pertanyaannya membuat hatiku luluh seketika,

Kata-kata itu masih tersimpan jelas di dalam memori ingatanku. Seperti ini pertanyaannya,

"Ustadz kan punya ayah pasti Ustadz bahagia tidak seperti Aisyah yang tidak punya Ayah, bahkan wajah ayah aja Aisyah belum pernah lihat,terkadang Aisyah iri melihat teman-teman Aisyah di gendong sama ayahnya, Aisyah ingin seperti mereka, di cium dan di peluk sama ayah, tapi keinginan Aisyah hanya sekedar mimpi karena kata bunda Ayah Aisyah sekerang sudah ada di surga.jika Aisyah boleh minta Aisyah pengen punya ayah yang sebaik dan sepintar Ustadz, kalau Ustadz jadi ayah Aisyah mau tidak?"

Pertanyaan itulah yang sampai kini masih tersimpan rapi dalam memori saya, permintaan yang tulus dari seorang anak kecil yang merindukan seorang ayah, dari situlah terbesit di dalam hatiku untuk membuat mimpinya menjadi kenyataan. Aku ingin rasa iri kepada teman-temannya terobati dengan kehadiran seorang ayah dalam hidupnya.

Sekali lagi niat ini tulus lahir dari dalam hati. Saya ingin menikahi Rasti dan menjadi ayah dari Aisyah. Namun saya tidak memaksa, Rasti berhak menolak jika emang Rasti tidak menginginkannya. Namun pikirkanlah terlebih dahulu yang terlalu gegabah dalam mengambil keputusan, sholat istikharah-lah minta pertolongan dari Allah.. Kapanpun jawaban dari Rasti akan selalu saya tunggu

Mohon maaf atas kelancangan dan kekurang ajaran saya

Wassalamu'alaikum

Farid Hassan


***

Berulang kali ku usap airmataku yang menetes di kedua pipiku, betapa aku sadar selama ini aku egois aku tidak pernah memikirkan perasaan anakku, aku selalu berpikir kalau ia bisa hidup bahagia tanpa seorang ayah namun pada kenyataannya tidak seperti itu dalam hati kecilnya ia hampa, ia rindu belaian dan kasih sayang seorang ayah, kini aku sadar akan ke-egoisan diriku, berkali-kali kupandangi wajah Aisyah yang sedang terlelap dalam tidurnya, ku hampiri dirinya dan kuciumi pipinya, beribu maaf ku ucapkan padanya. Ku lipat kembali surat yang aku baca, kini tak ada alasan untuk aku menolak niat baiknya. Sekarang yang lebih aku utamakan kebaikan aku akan menerima tawarannya, aku akan menikah dengannya, ya aku akan menikah dengan seseorang yang aku rasa pantas untuk menjadi ayah dari Aisyah.

"T A M A T"

Sabtu, 12 Mei 2012

Cinta dan pengorbanan (Cerpen)

Senja kini mulai nampak di ufuk barat, matahari kini mulai kembali keperaduannya, awan di langit nampak indah berwarna keemasan, burung-burung yang terbangan kini mulai pulang ke sarangnya, begitu juga dengan kehidupan anak manusia yang bergegas meninggalkan aktivitas hariannya, untuk bergegas menemui anak dan keluarganya.

Di teras depan rumah aku duduk sendiri memandangi keindahan langit di senja hari, awan-awan yang berbentuk seperti istana menambah pesona keindahan langit. aroma wangi dari bunga-bunga bermekaran membuatku semakin betah duduk berlama-lama di teras ini. sesaat aku teringat akan semua lika-liku kehidupan yang akan aku hadapi setelah ini.

Besok adalah hari bersejarah dalam hidupku, hari di mana aku akan di nikahi oleh seorang laki-laki yang aku pilih menjadi pendamping hidupku, tapi menjelang hari bersejarah itu tak ada hal-hal yang special yang biasa di lakukan oleh kebanyakan orang pada umumnya, tak ada janur kuning, tak ada pesta ataupun semisalnya serta tak ada penyambutan ataupun persiapan.

Pernikahanku tidak di setujui oleh kelurga ibuku, keluargaku menentang keras pernikahan ini hanya di karenakan calon yang aku pilih menjadi pendamping hidupku bukan kriteria mereka,.Hanya karena laki-laki yang aku cintai dari Besok adalah hari bersejarah untukku, hari di mana aku akan di nikahi oleh laki-laki pilihan hatiku, ya.. kalangan orang biasa, mereka sampai sebegitu besar marahnya padaku. Masih terngiang-ngiang di kepalaku perkataan Ibu yang begitu kasar saat aku mengatakan kepadanya tentang rencanaku ini, namun dengan nada yang begitu menghina ibu tidak memberikan restu padaku dan tidak juga menyetujui rencanaku.

“Sampai kapan pun Ibu tak akan pernah merestui pernikahanmu, ibu tak kan pernah sudi menerima dia menjadi menantu ibu, dia tidak pantas menjadi bagian keluarga kita, kehidupan kita sangat jauh di banding kehidupannya, apa yang bisa di andalkan darinya. Hanya seorang penjual bakso yang buat makan sendiri aja dia belum bisa apalagi nanti jika sudah punya anak istri, mau di kasih makan apa anak istrinya?? Mau di taruh di mana kehormatan keluarga kita jika kamu sampai menikah dengannya? Pokoknya sampai kapanpun ibu tak akan pernah merestui pernikahanmu dengan nya.”

Betapa sedihnya aku saat itu, aku tak menyangka akan mendapat respon yang seperti itudari ibu. hanya karena masalah harta ibu tidak merestui pernikahanku. apakah hanya harta yang menjadi tolak ukur kebahagiaan dan kehormatan, apakah hanya kekayaan yang menjadikan seseorang mulia dan terpandang, sebegitu dangkalkah pemikiran ibuku?? Apakah salah jika aku menikah dengan orang yang baik akhlak dan budi pekertinya meskipun dia tak kaya harta. Bukankah Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada ummat-nya untuk mencari pendamping hidup dengan menjadikan agama-nya sebagai tolak ukur yang utama, bukan harta ataupun kekayaan. .

Tabiat keras ibuku-lah yang menjadikan alasan ayah menceraikan ibu, Semenjak usiaku lima tahun ibuku sudah berpisah dari ayah, ibuku lebih memilih menjadi single parent dari pada hidup dengan seorang lelaki yang hanya bekerja sebagai negeri sipil yang mempunyai pendapatan tidak seberapa, menurut cerita ayahku,ibuku yang biasa hidup mewah tidak tahan dengan kehidupan yang serba pas-pasan. Ibu lebih memilih pulang ke rumah orangtuanya dan menjalani hidupnya dengan bergelimangan harta. Dulu Ibu dan ayah menikah karena cinta namun karena ke-egoan ibu yang besar rumah tangganya hancur di tengah jalan. Mungkin itu juga salah satu penyebab ibuku tidak merestui pernikahan ku. Ibuku takut kalau aku hidup sengsara. Tapi aku bukan Ibu, aku bukan seorang yang gila harta ataupun jabatan, aku sadar kalau aku biasa hidup berkecukupan namun apakah aku salah jika aku mematuhi ajaran nabiku.

……………………………………..

Meskipun mendapat pertentangan keras dari keluarga ibu aku masih tetap keukeuh dengan rencanaku. Aku meminta ayahku untuk menjadi wali dalam pernikahanku dan beliau menyetujuinya bahkan acara walimahan pun aku adakan di rumah ayah, begitu sangat sederhana acara pernikahanku. Aku bahagia meskipun tak ada kehadiran keluarga ataupun saudara karena aku amat yakin dengan pilihanku. Aku yakin aku bisa bahagia dengannya meskipun pada akhirnya nanti kami akan hidup didalam gubug yang sederhana.

Enam bulan pernikahanku aku di kejutkan oleh kabar gembira, aku di nyatakan hamil, aku begitu bahagia begitu juga dengan suamiku, perhatiaannya dan kasih sayangnya semakin bertambah, Dia begitu sempurna di mataku, dia pekerja keras, telaten, dan satu yang membuatku semakin bangga dengannya dia tidak pernah mengeluh ataupun mengaduh. Hasil jerih payahnya selalu dia berikan padaku meskipun jika di bandingkan dengan gajian bulananku saat itu tidak ada apa-apanya,namun aku bahagia dengan nya. Kata-katanya yang begitu halus mampu menentramkan hati ku. Sifatnya yang begitu lembut mampu meluluhkan hatiku.

“Ummi…apakah umi bahagia hidup dengan Abi, hanya ini yang bisa Abi berikan untuk Umi, tak ada rumah mewah ataupun harta yang melimpah. Dan beginilah kehidupan Abi sangat jauh dari kehidupan umi yang dulu. Abi harap umi tidak akan pernah menyesal dengan memilih abi sebagai suami umi.” Ucapnya dengan nada yang begitu lembut.

“Bi.., umi bahagia bersuamikan Abi, dari pertama kali Umi bertemu Abi, Umi sudah amat terpesona dengan kehidupan Abi, dan sampai saat inipun Umi semakin terpesona dengan Abi, Umi semakin sayang dan cinta sama Abi. Umi beruntung mendapatkan Abi. Mungkin para bidadaripun cemburu melihat betapa besar cinta umi untuk Abi dan perlu Abi tau Umi tidak akan pernah menyesal menikah dengan Abi . Biarlah kita hidup kekurangan harta yang terpenting kita selalu ingat dan bersyukur kepada Sang pencipta.” Jawabku

“Wah..istriku sudah pintar ternyata.” Pujinya sambil mencubit pipi tembamku

“Ini hasil dari didikan Abi..Hee..” ucapku sambil tersenyum manis padanya.

“Abi, ajari Umi menjadi istri yang sholehah, istri yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya menjadi tujuan hidupnya, istri yang tau berterimakasih dan balas budi pada suami, Ajari umi agar umi bisa menjadi istri yang baik untuk Abi. Istri yang bisa membuat bangga suaminya, istri yang menjaga diri dan menjaga harta suami, ingatkan umi jika umi lalai, tegur umi jika umi mulai kurang ajar pada Abi. Umi ingin menjadi pendamping hidup Abi selama-lamanya bukan hanya di dunia ini sampai di akhirat nanti.”

Mendengar perkataan ku yang begitu tulus dia memelukku erat, ada kehangatan yang aku rasakan, ada ketenangan bathin yang tak bisa aku utarakan. Ketenangan dan ketentraman aku dapatkan darinya. Dialah orang yang kini menjadi suamiku. Akan ku jaga dirinya akan ku layani dia bak seorang raja. Karena surga dan nerakaku ada pada dirinya.

Kehidupan kami begitu bahagia, penuh dengan canda dan tawa meskipun tak bergelimangan harta. Dari situlah aku semakin yakin kalau harta bukanlah penyebab orang hidup bahagia. Kebahagiaan kami semakin bertambah begitu anak pertama kami lahir. Bayi mungil kini menjadi pelipur hati kami serasa sempurna sudah kehidupan kami.

*******_____*****

Tiga tahun pernikahan kami, aku dan suamiku serta anakku menjenguk ibuku yang sedang sakit di rumah sakit, dua minggu yang lalu aku mendapat kabar dari adikku kalau ibu sakit parah dan ingin bertemu denganku. Ini pertama kali aku bertemu dengan ibuku semenjak aku menikah, bukan aku tidak mau bertandang kerumah ibu. Berulang kali aku mencoba kerumah ibu namun adikku selalu mengatakan kalau ibu tidak mau bertemu denganku. Semenjak itulah aku lost contact dengannya.

Ibuku divonis penyakit kanker stadium akhir, menurut dokter umurnya tidak akan lama lagi. Penyakitnya sudah terlambat untuk di obati. Dan sudah satu minggu ini penyakitnya kian marah sehingga dia hanya bisa berbaring di rumah sakit.

“Mir…Ibu minta maaf karena selama ini terlalu kasar sama Mirna, Ibu egois dan ibu hanya mementingkan kepentingan ibu semata, ibu menilai sesuatu dari sisi duniawi saja. Ibu sadar ibu salah sudah lama ibu ingin minta maaf pada Mirna namun Ego ibu terlalu tinggi..ego ini lah yang selalu menghalangi ibu untuk meminta maaf ke Mirna, saat ini yang ibu butuhkan dari Mirna adalah kata maaf..Mirna maukan maafkan Ibu..” ucap Ibu begitu lirih sampai aku pun sulit untuk memahaminya.

Saat itu aku langsung memeluk ibuku airmataku tak terasa mengalir di dada ibuku, sudah lama aku merindukan pelukan itu, pelukan yang sering aku dapatkan ketika aku masih kecil dulu, hatiku kecilku begitu rindu dengan ibuku. Bagaimana pun juga orang yang berbaring tidak berdaya ini adalah ibuku ..Ya..Dialah orang yang paling berjasa dalam hidupku, sebesar apapun rasa tidak sukanya terhadap pernikahanku pasti di hati kecil nya rasa cinta dan sayangnya padaku tak pernah berkurang, sebesar apapun egonya aku yakin rasa kasihnya mampu mengalahkan ego nya itu.

“Ibu, maafkan Mirna juga yang pernah menyakiti ibu, Mirna yang sering melukai hati Ibu, Mirna yang sering menentang Ibu, Mirna yang suka membuat ibu marah. Maafkan mirna ibu.”

Berulang-ulang aku ucapkan kata maaf kepada ibuku, berulang-ulang kali juga kuciumi pipi ibuku. Saat itu juga aku merasakan hembusan nafas terakhir ibuku..Ya..Ibuku sudah pergi, kini ibuku sudah pergi kea lam yang lain. Allah telah mengambil miliknya. Allah telah mengangkat semua rasa sakitnya. Kuhapus airmata yang mengalir dipipiku, kucium pipi ibuku untuk yang terakhir kalinya dan aku ucapkan selamat tinggal padanya. Karena sesungguhnya semua milik Allah dan semua pasti akan kembali pada-Nya.

Hujan rintik-rintik mengeiringi pemakaman ibuku. Banyak kenangan yang di tinggalkannya, kenangan yang tidak mungkin untuk aku melupakannya. Namun aku bahagia di akhir hayatnya aku bisa meminta maaf padanya, aku bisa memeluknya aku bisa merasakan desah nafasnya yang terakhir. Aku bahagia karena tak ada lagi permusuhan antara anak dan ibu. Kini aku harus melanjutkan hidupku kembali bersama suami dan anakku. Meniti hidup yang panjang dan penuh liku. Perjalanan masih panjang. Pengorbanan masih tetap harus di lanjutkan.

Senin, 07 Mei 2012

Cinta untuk Kekasih Halalku

Malam sudah begitu larut. Derap langkah kaki anak manusia sudak tak lagi terdengar. Hanya embusan angin malam seakan-akan bersaut-sautan dengan bunyi binatang malam. Malam kian merambat sinar bulan purnama yang begitu indah menambah pesona malam. Desiran angin malam yang membawa udara dingin masuk kedalam kamarku melalui jendela yang sengaja akau biarkan terbuka membuat aku sedikit kedinginan.emang demikian udara di musim kemarau kalau siang udara begitu panas namun ketika malam tiba udara seakan berubah 180 derajat.

Jam disbelah kamarku menunjukan pukul 11.45 sudah begitu larut pikirku namun sekejap pun aku belum memejamkan mata dan anehnya tanda-tanda mengantuk sama sekali. Kepenatan yang aku rasakan karena aktifitas kesehariaanku tidak mempengaruhinya. Pikiran dan otakku belum bisa di ajak untuk beristirahat. Pikiran ini masih terus melayang dan memikirkan peristiwa yang telah aku alami baru-baru ini.

Tepatnya siang tadi, aku mengalami peristiwa penting dalam hidupku, aku telah bertunangan dengan seseorang yang belum aku kenal sebelumnya. Dia lah yang bakal menjadi calon pendamping hidupku.

Namanya Hamdan seorang dokter anak. Dia adalah anak dari teman oom dan tante ku. Pertunangan ini terjadi karena hasil perjodohan. Ya, aku di jodohkan oleh oom dan tanteku. Emang sekerang merekalah wali-ku sekaligus pengganti orang tuaku. Semenjak ayah-ibu ku meninggal karena kecelakaan 15 tahun yang lalu aku diurus dan di rawat oleh oom ku karena beliaulah satu-satunya adik kandung dari ayahku. Sebelum oom aku menikah dengan perempuan yg kini menjadi istrinya. Aku sungguh beruntung memiliki oom dan tante yg begitu amat sayang padaku.kasih sayangnya padaku seperti kasih sayang seorang ibu kandung.

Sebuah peristiwa yang tidak aku duga sebelumnya aku bakal jodohkan dengan sosok lelaki yang tidak aku cintai dan tidak aku kenal. Meskipun hubungan oom dan tanteku dengan orang tua hamdan begitu dekat. Sebelumnya mereka tidak pernah membicarakan hal ini padaku hingga di suatu sore satu minggu yang lalu selepas aku melaksanakan sholat Maghrib mereka memanggilku

"Nisa, sekarang kamu sudah besar dan sudah saatnya kamu menikah, om dan tante ingin melihat Nisa bersanding di pelaminan yang merupakan keinginan dan cita-cita oom dan tante.". Ucap Oom Rasyid mengawali pembicaraan

"Namun Nisa belum ada calon Oom dan Nisa masih ingin mangamalkan ilmu Nisa dengan mengabdi di Madrasah Tsanawiyyah. Nisa masih ingin bekerja Oom."

"Oom tahu itu, menikah bukan berarti Nisa tak bisa bekerja, Nisa masih bisa bekerja setelah menikah. Dan Oom minta maaf sebelumnya. Sebetulnya kami telah memilihkan calon pendamping hidup untuk Nisa dan kami yakin dia adalah lelaki yang cocok untuk Nisa, dia pasti bisa memimpin Nisa karena selain dia dokter dia adalah alumnus pondok pesantren yang kami yakin dia seorang yang baik akhlak dan budi pekertinya."

Saat itu ingin rasanya aku memprotes dan menolak perjodohan itu namun aku tak sanggup menyakit hati dan perasaan mereka aku tak akan sanggup jika melihat mereka kecewa dan aku tidak punya alasan sama sekali untuk menolaknya apalagi dari karakter yang disebutkan Oom dan tanteku merupakan karakter yang aku terapkan dalam mencari pendamping hidup.Namun bagaimana dengan Hafidz sosok yang aku cintai yang kini bersemayam di dalam hatiku? Meskipun aku sadar dia bukan siapa-siapaku namun aku tak yakin kalau aku bisa menggantikan namanya dengan nama lelaki selainnya.

Tiga bulan lagi menurut kesepakatan yang telah di sepekati oleh kedua belah pihak aku akan menikah dengannya. Pergulatan bathin inilah yang membuatku begitu sulit untuk memejamkan mataku. Hatiku begitu menolak akan kehadirannya yang begitu cepat. Aku tidak yakin apakah aku bisa bahagia dengannya atau bisakah aku membahagiakannya sedangkan benih-benih cinta untuknya tidak ada sama sekali.

Tak kuasa menahan jeritan hati aku pun menangis sejadi-jadinya. Angin malam bulan dan bintang menjadi saksi kegalauan hatiku. Air mata ini mengalir begitu desar dan tak mampu ku tahan lagi. Dengan linangan airmata aku mencoba untuk menata kesadaranku kembali. Aku mencoba untuk menerima kenyataan yang ada. Mungkin inilah yang telah Allah tuliskan untukku. Mungkin dialah jodoh yang telah Allah tetapkan untukku. ke-tidak keikhlasanku malah akan membuatku menderita.

Setelah sedikit tenang ku jamah buku diaryku kecoret nama Hafidz dari diary aku..sebuah nama yang melekat begitu erat di dalam hatiku dan menjadi penghias buku diaryku..dengan harapkan degan tercoretnya namanya di buku diaryku tercoret juga namanya di dalam hatiku.meskipun tak semudah itu. Kini aku harus terima kenyataan yang ada karena yang terbaik menurutku belum tentu terbaik menurut Allah.

Tanganku begitu lincah menari, menggoreskan tinta hati ke selembar kertas berharap setelah itu tak ada lagi kegaulaan dan kegundahan, berharap ketidak ikhlasan ini berubah menjadi keridhoan.

Diary...
Saat ini hanya keikhlasan yang hanya mampu membuatku lepas dari kegundahan hati
Mungkin saat ini aku tak mencintainya
Karena di hatiku bukan namanya yang bertahta
Namun nama seseorang yang aku cinta meskipun aku tau dia bukan siapa-siapa

Diary..
Selama ini diri ini selalu bermimpi kalau dia kelak yang akan datang meminangku
Namun..kenyataan berkata lain.
Justru seorang lelaki yg belum kenal yang datang meminangku..
Ingin hati menjerit
Ingin diri berontak
Namun untuk apa??
Apa hanya untuk mengikuti egoku yang besar

Diary..
Tidak ada alasan untuk aku menolak perjodohan ini
Dia laki-laki yang baik yang masuk dalam kriteriaku
Mungkin dia-lah yang telah Allah pilihkan untukku
Yang akan menjadi kekasih halalku.

Diary..
Akan ku hapus namanya dari dalam hatiku
Akan aku isi hatiku dengan namanya
Meskipun saat ini hati ku masih menolak
Namun seiring berjalannya waktu hati ini akan menerima kehadiranyya

Diary..
Kini keputusan telah ku ambil
Dan pilihan telah ku tentukan
Aku akan selalu berusaha untuk berdamai dengan keadaan
Karena pilihan yang telah Allah tentukan tidak akan pernah mengecewakan..

****_______******

 "Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui." (QS al-Baqaroh : 216)

______________________________


Mentari duha bersinar begitu indah, kehangatannya mampu mengusir rasa kantuk yang tersisa, embun-embun di dedaunan nampak indah bak mutiara yang bersinar. Seminggu sudah berlewatkan dari peristiwa itu , hati ini sudah sedikit ikhlas menerima kenyataan yang ada. Dalam waktu satu minggu ini aku merenung memikirkan setiap kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidupku. Tak ada hal kebetulan semua pasti sudah ada yang mengatur. Dan tidak akan ada yang sia-sia dalam pengaturannya.

Liburan panjang sekolah telah pun usia. Hari ini adalah hari pertama aku mulai mengajar kembali.
Berbagi ilmu untuk anak bangsa dengan harapan suatu saat anak-anak bangsa lahir menjadi anak-anak yang cerdas bukan hanya cerdas dalam urusan dunianya namun juga urusan akhiratnya.

Jarak antara rumah dan tempat aku mengajar tidak begitu jauh, sehingga aku lebih memilih berjalan kaki, di samping bisa menyehatkan badan aku juga bisa menghirup udara pagi yang segar lebih lama. Dan setiap langkah kaki yang terayun aku gunakan untuk berdzikir kepada-Nya dengan harapan setiap langkah yang aku ayunkan menjadi pahala.

***

"Assalamu'alaikum Ibu Nisa,". Terdengar suara orang menyapaku, suara yang tak asing di telingaku..suara itu..ya aku kenal suara itu. Bisikku lirih.Suara seseorang yang selama ini aku rindu, aku pasti tidak salah dengar itu emang suara Hafiz tapi mana mungkin dia ada disini bukankah dia masih di Malaysia menyelesaikan S2 nya.


Ku palingkan wajahku kebelakang untuk memastikan siapa gerangan yang berucap salam padaku belum sempat aku membalas salamnya, aku melihat senyumnya. Sebuah senyuman yang mampu meluluhkan hatiku, yang membuat jantungku berdetak lebih kencang dan seakan-akan aliran darahku berhenti mengalir. Sebuah moment yang tidak pernah aku duga sebelumnya akan bertemu dengannya di sekolah ini. Emang tidak mustahil jika dia berada di tempat ini. Selain dia anak pak kepala sekolah, dulu dia termasuk salah satu pengajar di sekolah ini. Namun kehadirannya saat ini tidak aku duga sama sekali. Dan mengapa dia harus datang lagi, disaat aku mulai bisa melupakannya. Disaat aku mulai bisa mengikis namanya kini dia muncul lagi di hadapanku. Kedatangannya pasti akan membuatku bertambah sulit untuk melupakannya

"Nisa kenapa bengong gitu kayak lihat syetan aja, " tegurnya begitu melihat aku bengong tanpa ekpresi dan tanpa balasan salam.

Aku tersipu menahan malu, aku tak tahu mau berkata apa padanya. Aku bak patung yang bernyawa di hadapannya. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, aku takut jika nanti aku salah berucap karena terlalu banyak pertanyaan-pertanyaan yang tak ada jawabannya bermain di otakku.Melihatku diam tanpa kata Hafiz pun mencoba mencairkan keadaan.

"Nis, selamat yah. Aku dengar dari ayah, Nisa sudah tunangan, ternyata aku datang terlambat, semoga Nisa kelak bisa bahagia dengan pendamping hidup Nisa. "

Setelah berucap demikan Hafiz meninggalkanku sendirian di dalam kebisu-an ku, lagi-lagi aku seperti patung tak bernyawa. Tak terasa butiran-butiran permata mengalir dari kedua bola mataku, aku tak tahu mengapa aku menangis, aku tak tahu untuk apa tangisan ini yang pasti aku sedih mendengar pernyataannya. Mengapa harus sekarang dia datang padaku, setelah ada orang lain yang meminangku kenapa tidak dari dulu. Ternyata selama ini cintaku padanya tidak bertepuk sebelah tangan. Namun semua sudah terlambat, aku sudah bertunangan dan dalam hitungan bulan aku akan melaksanakan resepsi pernikahan.

Hafiz adalah senior aku saat aku duduk di bangku kuliah, aku mengenalnya saat aku ikut kegiatan Rohis di kampus, dia-lah yang menjadi ketua Rohis. saat itu aku ada tugas dari dosen ku untuk membuat makalah tentang kegiatan-kegiatan anak Rohis. Dari situlah aku mengenalnya, pembawaannya yg supel, ramah dan tingkahlakunya yang sopan membuat aku menaruh hati padanya secara diam-diam. Dan belakangan baru aku tahu kalau rumahnya tidak jauh dari tempat tinggalku dan ayahnya adalah guru ngajiku

Setelah aku menyelesaikan perkuliahanku, aku di minta oleh ayahnya untuk mengabdi dimadrasan yang beliau pimpin. Aku pun langsung menerimanya karena cita-citaku dari dulu adalah ingin menjadi seorang guru, ternyata Hafiz juga mengajar dimadrasah itu. Benih-benih cinta ini semakin tumbuh subur apalagi setiap hari aku selalu bertemu dengannya. Namun setahun yang lalu dia pergi ke negeri jiran untuk melanjutkan S2, kepergiannya membuat aku merasa kehilangan. Dia pergi tanpa pesan dari saat itulah aku merasa kalau cintaku tidak akan pernah menjadi realita

***

Suasana kelas yang sepi seakan menjadi saksi bisu, hanya bangku dan kursi yang berderet rapi yang menjadi teman diri. Semua anak didik sudah tiada lagi, semua guru pun sudah pulang kerumah masing-masing untuk berkumpul dengan anak dan istri. Tinggal aku sendirian di dalam ruangan itu. aku merasa amat enggan untuk pulang ke rumah. Kaki ini rasanya tak kuasa untuk berdiri, jiwa ini rasanya tidak bersemangat untuk meniti hari.

Suara Adzan berkumandang begitu indah dari surau samping madrasah. Aku tersadar dari lamunanku, tak terasa sudah hampir satu jam aku duduk sendirian . Aku pun beranjak pergi meninggalkan ruangan dan bergegas ke surau guna melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim yaitu mengerjakan sholat fardhu. Surau nampak sepi tak ada jama'ah perempuan selain aku. Aku masih sempat berjama'ah meskipun hanya sebagai jama'ah masbuk.

Seusai sholat hati ini seakan-akan damai, gundah di hati mulai menghilang, perasaan yang berkecamuk di dalam hati mulai sirna.ingin rasanya aku duduk berlama-lama berdua- duaan dengan Rabbku, ingin ku adukan segala resah dan gundahku pada-Nya, meskipun tanpa aku kasih tahu pun Allah sudah tahu semuanya.hanya kepada Allah-lah tempat aku mengadu, tempat aku merintih,hanya DIA-lah tempat curhat yang terbaik. Ku angkat tanganku dan ku tengadahkan wajahku di hadapan-Nya. Dari mulutku keluar bait-baik doa yang indah.

Ya Rabb..
Kini hamba bersimpuh di hadapan-Mu
Di dalam rumah-Mu yang indah dan damai
Hamba yang penuh dosa
Hamba yang bergelimang maksiat
Hamba yang terlalu sering mendurhakai-Mu
Hamba yang jarang mengingat-Mu
Ampuni segala dosa-dosa hamba


Ya Allah..
Engkau tahu kalau hati hamba sedang gelisah
Karena kegelisahan ini Engkau juga yang menciptakan
Sangat mudah bagi-Mu membolak-balikkan hati hamba
Berikanlah ketenangan dan ketentraman di hati hamba
Jangan biarkan setan-setan tertawa di atas kegelisahan hatiku
Tentramkan hatiku
Berilah setitik kesejukan dalam jiwaku agar aku bisa berpikir secara jernih, dan tidak berlarut-larut dalam mengikuti perasaanku

Ya Rabbul Izati
Ajari aku menjadi dewasa, bukan hanya dewasa dalam berpikir. Juga dewasa dalam bertindak dan bertutur kata.
Dewasa dalam menyikapi setiap masalah yang ada
Dan Dewasa dalam meniti kehidupan

Ya Illahi..
Engkau tahu kalau di hatiku masih tersimpan namanya
Hapuskan namanya dari dalam hatiku
Jangan biarkan nama dia yang bertahta di hatiku
Aku tidak mau terus-menerus menzinai hatiku ini
dengan memikirkan seseorang yang bukan siapa-siapa untukku.

Ya Allah..
Kini semuanya aku pasrahkan kepada-Mu
Karena di tangani-Mu lah semua menjadi indah
Hidup dan matiku aku serahkan hanya pada-Mu


*****______******

"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram." (QS ar-Ra'd : 28)

****

Janur kuning yang terpancang di depan rumahku melambai-lambai tertiup angin, kursi dan meja yang di desain sedemikian cantiknya berderet rapi, tak ketinggalan dengan kursi pelaminan yang di rancang bak singgasana ratu dan raja. Sedemikian mewahnya acara pernikahanku. Sungguh sangat bertolak belakang dengan keinginanku. Bukan seperti ini pernikahan yang aku harapkan. Untuk apa menghabiskan banyak uang hanya untuk membuat resepsi pernikahan. Terlalu mubadzir menurutku. Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa semua sudah di rancang oleh orangtua calon suamiku meskipun sebelumnya oom dan tanteku pernah mengutarakan keberataannya akan hal itu.

Waktu merambat begitu cepat, tiga bulan aku lewati tanpa terasa. Hari ini adalah moment yang bersejarah untukku. Hari di mana hijab Qabul di ikrarkan, aku akan terikat oleh perjanjian besar yang karena perjanjian itu Arasy Allah ikut bergetar. Sebentar lagi awal kehidupan baru akan di mulai, yaitu kehidupan dua insan manusia yang berbeda karakter dan pandangan di satukan dalam biduk rumah tangga.

Dua minggu yang lalu keluarga dari Hamdan berkunjung kerumah ku. ini yang kedua kali aku melihat sosok yang bernama Hamdan. Semenjak acara pertunangan itu aku tidak pernah bertemu denganya. Kami hanya berkomunikasi lewat HP itu pun kalau ada hal-hal yang penting untuk di bicarakan.

Hamdan adalah anak pertama dari keluarga pengusaha yang kaya raya, sebagai anak pertama apalagi anak lelaki satu-satunya menjadikan dia amat di sayang oleh orangtuanya apalagi ibunya. dia mempunyai adik perempuan yang se-umuran dengan ku namanya mawar, gadis yang sangat cantik menurutku. Suatu hari ketika aku sedang membantu tante beres-beres di dapur dia mengampiriku. Dia berbicara banyak tentang kehidupan abangnya. Menurutnya meskipun abangnya sangat di sayang sama ibunya tidak menjadikanya tumbuh menjadi lelaki yang manja. Dia amat mandiri dan penurut apapun yang dikatakan orangtuanya selalu di "iya" kannya selama itu baik untuk dirinya dan orang tuanya. Kekayaan yang dia miliki dan title yang berderet di belakang namanya juga tidak lantas membuatnya sombong. Rasa tenggang rasa dan tanggung jawabnya begitu besar. Dan semua itu di buktikannya dengan mendirikan sebuah panti asuhan untuk anak-anak jalanan.

***

Iring-iringan pengantin sudah tiba, pak penghulu sudah lama menunggu. Dan para tetamu sudah mulai berdatangan,Aku pun sudah siap dengan gaun pengantin yang aku kenakan, sesaat ku pandangi wajahku di depan cermin. Ada airmata yang keluar dari bolamataku, aku tak tau kenapa hati ini seakan-akan belum ikhlas, rasa ragu masih menancap di relung hatiku, aku tidak yakin bisa bahagia dan aku juga tidak yakin bisa membahagiakan suamiku, apalagi benih-benih cinta untuknya belum tumbuh di hatiku.

"Aku terima nikah dan kawinnya Nisa syifa' juwairiyah binti Muhammad Ilyas dengan mas kawin seperangkat alat sholat di bayar tunai.

Ijab-Qabul telah di ucapkan, perjanjian telah di ikrarkan. Dua insan manusia telah disatukan. ucapaan do'a dan selamat aku dapatkan dari para tamu. Dari wajahku tak nampak keceriaan dan kebahagiaan. Hamdan yang saat ini duduk persis di sebelah ku lebih banyak diam dan hanya sekali-kali memandangku. Aku dengannya bagai orang asing yang baru kenal, tidak ada kata terucap, hanya senyuman yang bisa kami lakukan untuk para tamu sebagai tanda terimakasih dan rasa hormat kami kepada mereka. Banyak dari mereka yang mengatakan kalau kami adalah pasangan yang serasi, mereka tidak tahu isi hati kami saat ini.


***

Kamar tidur yang begitu luas dengan ranjang sangat besar berhiaskan beraneka macam bunga di atasnya, disamping kanan kirinya terdapat meja kecil dengan ukiran yang sangat indah, di pojok kamar itu ada sebuah kamar mandi yang sangat mewah, "bak sebuah kamar ratu inggris" gerutuku dalam hati, aroma semerbak wangi dari bermacam-macam bunga itu membuat aku sedikit pusing, dari dulu aku emang paling tidak suka dengan bau-bauan yang tajam, sedang asyik mengamati kamar baruku terdengar bunyi pintu di buka.

"Assalamu'alaikum Dek Nisa, maaf saya masuk tanpa mengetuk pintu, Dek Nisa Abang minta maaf jika pernikahan ini kesannya di paksakan, abang juga minta maaf bukan maksud abang menghancurkan masa depan Nisa, abang tau kalau Nisa tidak suka dengan pernikahan ini. Sebelumnya abang juga ragu dengan pernikahan ini, abang sudah terlanjur menyetujuinya dan abang tidak mau melihat orangtua abang kecewa dengan sikap abang. " Ucapnya sambil ia berdiri tepat di belakangku, aku sendiri tidak berani memalingkan wajahku kebelakang, aku belum berani menatap wajahnya. Meskipun dia sekarang adalah seseorang yang halal untukku namun aku merasa asing dengannya.

"Nisa, abang tak kan pernah memaksa untuk nisa mencintai abang, dan abang juga jika tidak akan memaksa Nisa untuk melakukan hubungan badan dengan abang. Abang tidak mau memperkosa istri abang sendiri. Untuk saat ini biarlah abang tidur di kamar sebelah. Jadi Nisa tak perlu cemas dan takut karena abang tidak akan pernah memaksa nisa, Untuk sekian kalinya abang minta maaf untuk semua ini." Lanjutnya.

Lagi-lagi aku masih belum berani memalingkan wajahku, aku masih dalam posisiku yang semula, sampai terdengar pintu kamar tertutup yang bertanda hamdan sudah meninggalkan kamar. Aku rasa begitu egoisnya diriku betapa angkuhnya diriku, tidak sopannya diriku padanya, padahal sekarang ini aku adalah istrinya yang mempunyai kewajiban untuk melayaninya, menghormatinya dan membahagiakannya, namun apa yang aku berbuat padanya sungguh bukan yang agama aku ajarkan. Namun mengapa saat ini egoku lebih tinggi. Aku lebih suka mendengarkan kata hawa nafsuku dari pada kata hatiku.

***___***


Tanpa di sadari kini sudah setengah tahun aku bergelar sebagai istri namun sampai saat ini aku belum benar-benar menjadi seorang istri, aku belum bisa menjalankan peranku dengan baik. Tidak ku pungkiri Hamdan begitu baik, perhatian, dan dia tak pernah menuntut apapun dariku, dia selalu memenuhi kebutuhanku. Nafkah darinya selalu ku dapat.sampai suatu hari hanya karena aku demam dia rela untuk tidak masuk kerja, dia lebih rela menjagaku, ia amat sabar dengan ulahku yang manja dan kekanak-kekanakan. Namun entah kenapa sikap ku kepadanya masih saja dingin,aku masih belum bisa mencintainya, egoisku masih begitu besar. Aku masih tidak mau mengakui kalau aku mulai mengaguminya. Aku tidak mau mengakui kalau benih-benih cinta untuknya mulai tumbuh di hatiku. Selama enam bulan pernikahanku, aku belum pernah di sentuh oleh suamiku.meskipun kami tinggal serumah kami jarang berkomunikasi, kami lebih sibuk dengan aktifitas masing-masing. Hamdan lebih suka menghabiskan waktunya di kamarnya begitu juga dengan diriku, meskipun sekali-kali kita sarapan dan juga makan malam bersama.

Malam ini tidak seperti malam biasanya Hamdan sampai larut malam belum juga sampai kerumah, aku di buat cemas olehnya, berulang kali aku telphone ke hp nya namun tidak juga aktif.aku telpon ke tempat kerjanya tak ada jawaban. Aku tak tau mengapa aku begitu khawatir padanya, aku takut terjadi apa-apa apadanya, sampai apapun yang aku lakukan selalu serba salah, aku sendiri dalam Kegelisahan.yang ada dalam pikiranku hanya dia..iya hanya dia suamiku. Entah mengapa malam ini rasa kantuk itu hilang begitu saja, keletihan seakan-akan sirna yang ada saat ini adalah keinginan untuk melihatnya, melihat wajahnya, melihat senyumnya, dan mendengar suaranya, saat itu juga aku berjanji pada diriku sendiri kalau aku tidak akan pernah menyia-nyiakannya, begitu dia pulang nanti aku akan bilang kepadanya kalau aku mencintainya. Aku ingin menjadi ibu dari anak-anaknya.

Entah apa yang membuatku ingin masuk kekamarnya. Semenjak aku hidup bersama dengannya aku belum pernah masuk kekamarnya. Rasa rindu kepada-nyalah yg mangantarkan aku memasukinya, aku mengamati kamar nya dari sudut ke sudut, tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah buku berwarna hitam yang bergeletak di atas meja kerjanya. Ku ambil buku itu ku pandangi sekilas karena semakin penasaran dengan isinya aku pun memberanikan diri untuk membukanya. Aku baca lembar demi lembar. Tak terasa airmataku mengalir saat ku baca tulisan itu. Aku tersadar akan sifat ku selama ini. Ternyata selama ini suamiku begitu tersiksa karena ulahku

"...Allah telah menganugerahkan padaku istri yang begitu sempurna, dia cantik, dan pintar, laki-laki mana yang tidak bahagia mendapatkannya, saat pertama kali melihatnya aku sudah menyukainya, meskipun saat ini aku belum bisa mendapatkan cintanya.. Namun aku yakin suatu saat dengan berjalannya waktu dia akan mencintaiku, Begitu rindunya diri ini menyentuhnya, membelai rambut indahnya. Entah kapan itu terjadi tapi yang pasti suatu saat nanti cintanya akan aku dapatkan. Sehingga kami akan saling mencintai hingga anak cucu kami..".


Sekitar pukul 01.00 terdengar pintu depan terbuka, aku yang saat itu masih duduk di sofa ruang depan segera berlari kearahnya dan langsung memeluknya. hamdan begitu terkejut dengan reaksiku, dia masih berdiri di depan pintu diam tanpa kata. air mataku menetes, aku menangis dalam pelukannya. Kini tangan hamdan membelai kepalaku dengan lembut sangat lembut. Seakan-akan dia takut kalau aku menolaknya.

"Nisa, apakah arti pelukan ini?" Tanyanya dengan suara lirih

Aku tidak menjawab pertanyaanya, yang ada aku malah mempererat pelukanku dan airmataku semakin deras mengalir sehingga membasahi dadanya. Tak ada kata yang teucap, kami bak dua insan manusia yang saling mencintai yang sudah lama tidak bertemu, hati kami saling berbicara, menyalurkan kerinduan yang ada. Aku merasa damai dalam pelukannya,

"Bang, Nisa minta maaf karena selama ini Nisa belum bisa menjadi istri yang baik untuk abang, Nisa tidak menjalankan tanggung jawab Nisa sebagai istri abang, Nisa tidak melayani abang dengan baik, maafkan Nisa Bang, betapa nisa selama ini mendurhakai suami Nisa sendiri. Suami yang harusnya di hormati dan di taati. Nisa begitu berdosa kepada abang dan juga kepada Allah, Nisa hampir mengesampingkan aturan Allah. Abang, nisa mohon maafkan Nisa. Nisa mau melakukan apa saja asal abang memaafkan Nisa. Dan nisa pun sudi kalau nisa suruh cium kaki abang asal abang Ridho dan mau memaafkan kesalahan-kesalahan Nisa. Ucap Nisa masih dalam tangisnya."

Tak ada jawaban dari mulut Hamdan, hanya detak jantungnya yang tidak beraturan terdengar keras di telingaku.

"Nisa coba tatap mata abang, " Nisa pun melepaskan pelukannya dan memberanikan diri menatap mata hamdan ini kali pertamanya Nisa melakukan itu, dalam hatinya ia tidak memungkiri betapa indah mata suaminya.

"Apakah Nisa lihat ada sorot mata kebencian dari mata abang? Apakah Nisa lihat di mata abang cinta yang besar untuk Nisa, perlu Nisa tau Abang begitu mencintai Nisa begitu cintanya abang ke nisa abang tidak mau kalau hati Nisa tersakiti. Telah kupendam rasa rindu ini untuk Nisa. Berharap suatu saat Nisa akan menerima abang sebagai suami Nisa tanpa ada paksaan. Setiap bait-bait doa yang abang panjatkan kepada Allah salah satunya adalah agar nisa mau membuka hati untuk Abang. Dan abang yakin suatu saat Allah akan mengabulkan doa abang."

Mendengar kata-kata yang terucap dari mulutnya airmataku semakin deras mengalir diri ini semakin merasa bersalah. Betapa ruginya diri ku telah menyia-nyiakan seorang suami yang begitu baik, yang tak ada celah kekurangan sedikitpun."

"Nisa kini abang minta ucapkan kata itu untuk abang, ucapkan kalau Nisa mencintai abang, ucapkan kalau Nisa mau menjadi ibu untuk anak abang." Pinta Hamdan

"Iya Bang Nisa mencintai abang, Nisa ingin hidup selamanya bersama abang dalam suka dan duka dan Nisa siap menjadi Ibu dari anak-anak abang."

Udara yang dingin, bulan dan bintang yang bersinar terang kini menjadi saksi akan cinta kami, mereka seakan-akan iri akan kebahagiaan kami. Kini cinta itu telah berirama indah. Dengan irama tasbih yang bermuara kepada cinta-Nya.

**********______________**********

"Laki-laki  (suami ) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. maka perempuan-perempuan yang sholeh adalah mereka yang taat  (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga mereka..."(QS an -Nisa :34)