Mentari belum belum terlihat di langit yang indah ketika ku langkahkan kakiku keluar rumah,
jalanan masih basah oleh siraman air hujan semalam, dedaunan di tepi jalan
begitu segar kulihat di tambah embun yang bergelayutan di dahan-dahan menambah
keindahan pemandangan pagi hari.
Ku lalui jalanan yang penuh dengan kerikil batu, sepatu
lusuhku yang mungkin untuk sebagian orang sudah tidak layak pakai lagi aku kenakan sebagai pelindung kakiku dari
menginjak kerikil batu yang tajam.
"Kak sofia
tunggu.." Teriak bocah kecil persis di belakangku.
Aku serta merta
menghentikan langkahku dan memalingkan kepalaku kebelakang. Ku lihat tak jauh
dari tempatku berdiri Mizan dengan tergopoh-gopoh lari menghampiriku.
"Ada apa
Miz, kok sampai berlari-lari seperti itu..". Tanyaku melihat keadaan Mizan
yang terengah-engah karena mengejarku
"Kakak harus
kembali rumah, ibu semakin parah batuknya dan tadi dari mulut ibu keluar darah
kak..Mizan takut, dan sekarang Ibu di temani bik marni karena ibu kini tak
sadarkan diri. " Cerita bocah kecil itu sambil menangis sesenggukan.
Mendengar kabar
itu. Kakiku langsung lemas, aliran darahku seakan berarti mengalir, jantungku
berdetak begitu kencang. Aku hampir terjatuh jika tidak bersandar pada tiang di
sebelahku berdiri. Ku usah wajahku menggunakan kedua tanganku, bermaksud untuk
menenangkan diri, dan usahaku ternyata tidak sia-sia, aku mulai sedikit tenang.
ku rengkuh bocah kecil yang ada di sampingku dengan begitu erat. Sebelum aku
memutuskan untuk berbalik arah kembali ke rumah.
Mizan adalah
adikku satu-satunya. Ia kini menjadi tanggungan hidupku. Semenjak ayahku
meninggal dunia dan ibuku sakit-sakitan semua keperluan hidupnya menjadi
tanggung jawabku. Lima tahun yang lalu ayah pergi meninggalkan kami untuk
selama-lamanya. Pesawat yang ayah tumpangi raib entah kemana bahkan jasad ayah
sampai kini pun tidak di temukan. Berbulan-bulan aku dan ibu selalu menunggu
kabar tentang keberadaan ayah namun tetap sia-sia. Pencarian terus di lakukan
namun tak seorang pun yang berhasil menemukan jejak pesawat tersebut.
Ayah ku anak
orang berada. Orangtuanya tinggal di jakarta dan perusahaan di mana-mana.
Pernikahan ayah dengan ibuku-lah yang membuat ia di usir dari keluarganya.
Bahkan orangtuanya tidak mengakui sebagai anaknya lagi. Menurut cerita ibu,
ayah tidak pernah pulang kerumah orang tuanya semenjak pindah ke kampung ini.
Ibuku memang
hanya seorang gadis kampung, bahkan ia pun bukan orang yang berpendidikan,
namun karena akhlak dan tingkahlakunya yang sopan membuat ayahku jatuh cinta
padanya. Ayahku saat itu sedang menjadi relawan korban banjir di kampung ini.
dari situlah awal pertemuan ayah dan ibu hingga berlanjut ke pelaminan.
*********
Dari jauh nampak
sebuah rumah mungil yang sudah kelihatan tua, itulah tempat dimana aku, ibu dan
adikku tinggal. Jantungku semakin
berdetak tidak beraturan ketika ku lihat banyak orang di rumahku, dari
jauh ku lihat Mang Suryo suami dari Bik Marni mondar-mandir di depan rumah.
Perasaan tidak enak mulai menyeruak di hatiku. Pikiranku mulai berpikir yang
tidak-tidak. Ku percepat langkahku sambil ku gandeng adikku yang sedari tadi
hanya diam membisu.
Ku singkap kain
yang menutupi kepala ibu, tak ada suara, tak ada senyum yang menghiasi
bibirnya. Ibuku kini terbujur kaku. Ibuku sudah pulang ke haribaan-Nya. Belum
sempat lisan ini berucap maaf padanya. Belum sempat diri ini membahagiakannya,
namun kini ibu telah pergi untuk selama-lamanya. Tak kuasa aku menahan air mata
ini. Berulang kali ku menghapus airmata yang menetes di pipi. Adikku masih
mendekap ibuku begitu erat ia memanggil namanya sambil menangis tersedu-sedu.
Melihat keadaannya airmata semakin deras mengalir. Namun aku tak mau
ikut-ikutan lemah sepertinya. Aku harus bisa menjadi penguatnya. Kuraih adikku
dan kupeluk ia begitu erat. Airmatanya kini membasahi bahuku, ku belai
kepalanya memberi ketenangan padanya, "Dik jangan menangis lagi yah masih
ada kak yang tetap akan menjaga adik sampai kapan pun. " Bisikku lirih di
telinganya.
Bik Marni yang
yang sedari tadi hanya diam, ia kini angkat bicara.
"Nak sudahlah relakan ibumu pergi,
biarkan dia tenang di sana. Ia sudah terlalu lama menderita karena penyakitnya.
" Ucapnya sambil memegang bahuku dengan tangannya.
"Bik..terimakasih
atas semua bantuan dan kebaikan Bik Marni. Kami tidak tahu bagaimana cara
membalasnya. Kami sangat berhutang budi pada Bik Marni dan Mang Surya. "
Ucapku
"Nak..tidak
perlu berterimakasih. Kalian adalah keluarga ku juga. Sudah menjadi tanggung
jawab Bik Marni untuk membantu. "
"Sof..sekarang
sepertinya sudah waktunya ibumu di makamkan. Cuaca begitu medung. Takutnya
nanti hujan dan bisa menghalangi pemakaman ibumu. " Lanjutnya lagi
Aku hanya
mengangguk tanda menyetujuinya. Ku pandangi ibuku yang kini terbujur kaku
terbungkus selembar kain kafan, matanya terpejam, ku mendekat padanya ku cium
dahinya untuk terakhir kalinya sambil ku berbisik lirih, Bu selamat
jalan..maafkan sofia yang belum bisa membahagiankanmu. Sofia janji akan jadi
kakak yang baik untu Mizan. Air mataku kembali menetes namun secepat mungkin ku
menghapusnya karena aku tak mau air mataku jatuh di jenazah ibuku.
***
Malam kian larut,
suara celoteh anak manusia tak lagi terdengar,
hujan yang sedari tadi sore turun belum lagi berhenti di selingi suara
guntur dan kilat yang menyambar. Suasana yang sepi begitu aku rasakan, sekilas
ku pandangi wajah adikku yang sedang tertidur pulas di sebelahku. Tak tau
kenapa bening-bening kristal kembali menetes. Aku sedih..amat sedih.. Dulu aku
merasa kehilangan ayah dan sekarang aku harus kehilangan ibu. ku beranjak dari
tempat tidurku dan berjalan menuju kamar tidurnya
Sebuah ranjang lusuh
di sudut kamar tempat dimana ibu menghabiskan harinya. Ku pandangi setiap sudut kamar dengan begitu
teliti. Sudut kamar yang mengingatkan ku akan seseorang yang begitu berjasa
dalam hidupku. Namun seseorang kini telah pergi dan tak akan pernah kembali. Kepergiannya
membuat luka di hati dan meninggalkan kenangan yang tak akan pernah bisa di
lupakan oleh hati.
Ku buka lemari
baju tempat ibu menyimpan baju-baju dan barang berharganya. Ku buka laci kecil yang ada di dalamnya. Mataku
tertuju pada sebuah buku kecil berwarna hitam , ku jambil buku itu ku pandangi
sesaat sebelum memutuskan untuk membuka lembar per lembarnya. Di sampul depan
ter pampang foto pernikahan ibu dan ayah, sudah kelihatan lusuh memang namun
melihat foto itu membuat bibir ini tersenyum.
Saat ku buka
bagian tengah buku itu hatiku berdetak lebih kencang, mata ku terbelalak
melihatnya, sebuah tulisan yang ibu tulis khusus untukku. Dengan tangan yang
bergetar aku membacanya :
Untuk anakku sofia
Saat tulisan
ini engkau baca mungkin ibu sudah pergi jauh, saat tulisan engkau temukan
mungkin engkau tidak akan pernah bertemu dengan ibu lagi. Nak, maafkan ibumu yang belum bisa membuatmu
bahagia, penyakit ibu yang tak kunjung sembuh membuat ibu sering meropotkanmu. Sebenarnya
ibu tak tega melihat keadaanmu, di usiamu yang masih belia kamu harus menanggung
beban seberat ini, kamu bekerja siang dan malam untuk menghidupi ibu dan
adikku. Satu yang membuat hati bui miris dan sedih melihatnya, engkau korban
kan hijabmu hanya untuk menafkahi ibu. Kau korbankan hijabmu untuk pekerjaanmu.
Dalam hati ibu amat tidak rela kamu melakukan itu. Ibu merasa menjadi penyebab
hal itu terjadi.
Nak..maafkan
ibumu yang hanya bisa menjadi beban dalam hidupmu, nak kalau ibu boleh pinta
kenakan hijabmu kembali, ibu masih simpan rapi hijab birumu di lemari baju,
kenakan lah kembali, tanggalkan gaya tomboymu, kenakan baju muslimahmu dulu
seperti saat engkau masih duduk di bangku sekolah, penuhilah impian ayah ibumu.
Hijabmu akan menjadi pelindungmu.
Nak..ibu titip
Mizan, jaga adikmu ajari ia ilmu agama agar kelak ia bisa menjadi mujahid
kebanggaan agamanya. Pergilah kekota nak..carilah keluarga ayahmu. Ayahmu mempunyai
seorang adik yang baik hatinya namanya tante Salma, ia pernah menawarkan ibu
untuk tinggal bersamanya namun ibu menolak karena saat itu ibu masih bisa
menghidupi kamu dan adikmu.
Tinggal kan
pekerjaanmu, carilah pekerjaan yang lain bisa menerimamu dengan hijabmu, taati
ajaran agamamu. Hanya itu permintaan terakhir ibu.
Semoga kelak
kita bisa di persatukan di syurga-Nya
Peluk cinta
dari ibu untukmu dan Mizan
Berulang kali aku
baca tulisan itu, berulang kali juga airmata ini menetes. Aku tersadar betapa
selama ini aku telah melupakan-Nya. Melupakan Sang Pemberi hidup aku tak lagi
mengerjakan perintah-Nya, larangan-Nya sering aku kerjakan. Bahkan hanya karena
pekerjaan aku rela melepas hijabku yang sedari kecil aku pertahankan. Ku
pandangi wajahku di depan cermin ku lihat diriku yang sungguh berbeda dari yang
dulu, rambut yang ku potong pendek, kaos ketat dan celana jeans yang aku
kenakan. Aku hampir tak mengenal diriku sendiri. Seperti ini kah diriku??
seperti inikah harus ku jalani hidupku?? Begitu jauh dari syariat agama?? Saat itu
juga aku tersadar.. saat itu juga aku tersungkur sujud dihadapan-Nya. Airmata ini tak berhenti mengalir menyesali perubahan
diri, menyesali tentang dosa-dosa diri.
Ya Allah ampuni segala dosa-dosaku. Bisikku dalam hati. Ibu terimakasih
engkau telah mengingatkan kembali akan jilbab biru pemberian ayah. Jilbab yang
dulu pernah menjadi kebanggaan di hatiku.