Assalamu'alaikum sahabat semua.. sudah lama rasanya saya tidak di blog ini. untuk memanfaatkan waktu luang aku ingin berbagi kisah tentang bidadari bumi, cerita ini saya ambil dari buku 9 kisah wanita sholihah buku yang sangat menarik. meskipun di baca berulang-ulang tak akan pernah bosan. semoga cerita ini mampu memotivasi kita sebagai wanita akhir zaman yang membutuhkan contoh dan tauladan para wanita shalihah masa kini. semoga cerita ini mampu melembutkan hati yang mulai mengeras, menghidupkan hati yang mulai hati. sehingga hati ini mulai bergerak kembali untuk meraih syurga-Nya Allah yang begitu istimewa dan amat berharga.
Lebaran pertamaku di perantauan, tanpa ketupat tanpa opor, tanpa sambal goreng kesukaan, tanpa kue-kue kering makanan khas lebaran. tanpa orang tua, tanpa saudara, tanpa teman-teman sepermainan. tanpa siapapun yang sebelumnya ku kenal kecuali kakak laki-lakiku yg memang bersamanya aku merantau kenegeri orang.
Dengan baju baru yang di belikan kakak semalam, aku berjalan keluar rumah sendirian. kakakku sudah lebih dulu keluar, ada acara Uwadh semacam open hause, silaturahmi antar ulama dan masyarakat.
"Khusus laki-laki" jawabnya ketika ku utarakan niatku ikut bersamanya. maka akupun berjalan sendirian. takbir Idul fitri sudah tidak lagi terdengar. karena selepas solat Ied pagi tadi masjid-masjid sudah berhenti mengumandangkan takbir. dari kejauhan nampak deretan pohon kurma yang sedang tidak berbuah. sekarang musim dingin dan pohon-pohon kurma baru akan berbuah pada musim panas. kabarnya musim panas padang pasir yang biasa di sebut samum itulah yang membuat masak buah kurma, pantas saja pohon kurma tak berbuah di negeri indonesia. angin di sana tidak panas malah sejuk menerpa wajah.
jalanan terlihat lenggang hanya sesekali saja ku lihat mobil-mobil pribadi yg mungkin membawa penumpangnya ber silaturrahmi saling berkunjung pada lebaran seperti ini.
Ku ketuk pintu rumah Ustadzah Zainab Alkhatib seorang Ustadzah dari Taiz, sebuah kota pertanian di daerah Yaman selatan yang kini menetap di Tarim dan mengajar di Daruz Zahro, Ma'had di mana aku bersekolah di sana. suaminya seorang Ustadz dan pengurus Darul Musthofa yayasan yang membawahi Darus Zahro. kebetulan kemarin saat berjumpa dengannya di masjid, sewaktu sama-sama sholat terawih terakhir, beliau mengajakku mungkin karena kasihan terhadap anak baru yang berlebaran sendirian berkunjung kebeberapa orang tua di negeri ini.
senyum Muhammad putra Ustadzah segera menyambutku kala ia membuka pintu.
"kamu halimah dari indonesia yah?" tanyanya dengan dialek arab yang fasih. usianya ku taksir sekitar 7 tahunan.
Aku mangangguk mengiyakan dan iapun segera berlari memberi tahu ibunya setelah sebelumnya mempersilahkan aku masuk dan duduk di ruang tamju. sebuah ruangan tanpa kursi khas negeri arab hanya bantal-bantal tebal tersusun sebagai sandaran.
tak lama ustadzah zainab menemuiku dengan sebaki nampan penuh makanan. ada berbagai jenis halawa, kacang-kacangan, gela dan secangkir teh ni'na minuman khas daerah ini.
Setelah berbasa-basi sebentar menanyakan keadaan dan aku menjawabnya dengan dengan bahasa arab ala kadarnya karena baru kurang lebih satu bulan aku tinggal di negeri ini, ustadzah zainab menerangkan padaku siapa yang akan kami kunjungi hari ini.
"kita biasa memanggilnya Hababah Tiflah katanya.
" Seoarng perempuan tua ahli ibadah yang lisannya tak pernah berhenti berdzikir. orang-orang biasanya memanggilnya dengan nama itu (dalam bahasa arab artinya bayi) mungkin beliau sampai di masa tuanya masih tetap seperti bayi, tak pernah menyakiti siapa pun."
Rumah itu sangat sederhana kalau tidak malah bisa di bilang papa. tak ada permadani tebal atau sandaran-sandaran empuk layaknya rumah yang lain pada umumnya. hanya karpet tipis yang mulai lapuk menutupi tanah tak bersemen di bawahnya. dindingnya hanya seperoh yang di cat. selebihnya berwarna cokelat asli tanah yang di laburkaan begitu saja. ada tumpukan bantal dan selimut usang di sudut ruang. kurasa di ruangan itu pula mereka biasa tidur dimalam hari. sungguh keadaan yang memprihatinkan. sangat tidak sesuai dengan raut wajah mereka yang menyambut kami kala masuk rumah tadi. senyum mereka begitu lepas tanpa beban, tawa ceria anak-anak kecilpun tetap terdengar, sambutan berupa pelukan di barengi ucapan ahlan wa sahlan terdengar berulang-ulang seolah-olah kami adalah kerabat dekat yang bertandang. sungguh...aku jadi betul-betul menyadari memang benar bahwa kebahagiaan tak selalu di ukur dengan materi.
Sekilar ku dengar Ustadzah Zainab memperkenalkan aku kepada keluarga itu sebelum akhirnya menarik tanganku menemui seorang wanita tua yang bersandar di sudut ruangan.
Wanita itu segera tersenyum demi menyadari keberadaan kami. aku berpikir ini pasti Hubabah Tiflah yang di ceritakan Ustadzah Zainab di rumahnya tadi. Usianya ku taksir di atas tujuh puluhan. kulitnya sawo matang berkeriput.
Dan Ya Allah..
Ternyata dia buta..
Pantas saja dia tidak ikut berdiri bersama yang lain kata menyambut kedatangan kami. aku perhatikan raut wajahnya. dia tidak cantik namun dari raut wajahnya terlihat seolah tak pernah ada beban atau masalah apapun dalam hidupnya. beliau betul-betul seperti bayi. aku diam di hadapannya, tak tahu harus berbuat apa. hingga tat kala ku lihat Ustadzah Zainab duduk dan mencium tangan wanita itu, akupun hanya mengikuti saja di belakangnya. dan sambil ku pegangi tangannya, aku memperkenalkan diri
"Halimah dari indonesia" kataku dengan lahjah yang ketara bukan orang arab tentunya.
Dia membalas memegang erat tanganku lama sekali hingga kurasa hangat tangannya menjalari tanganku. lalu dia meraba-raba wajahku dengan kedua tangannya. mungkin untuk mempermudah dirinya membayangi rupaku.
kemudian di letakkan tangan kanannya di dadaku, dan lalu ia mendoakanku. dia terus berdoa dan tak henti-hentinya berdoa untukku. seolah saat itu tak ada yang lebih penting baginya kecuali aku. perempuan asing yang bahkan baru ia kenal beberapa menit yang lalu. ia masih saja berdoa dengan satunkalimat yang sederhana. Ya, ia berdoa dengan satu kalimat saja. satu kalimat doa yang tak akan pernah ku lupa. apalagi tat kala kemudian diiringinya doa tersebut dengan linangan air mata. sungguh membuat aku terpana, lemas tak mampu bahkan untuk mengangkat tanganku mengaminkan doanya..
"Semoga Allah tak akan pernah tega menyengsarakanmu, anakku..." doa itu terus di ulangnya berkali-kali dengan cucuran airmata...
Ya Allah sampai kapanpun, dimanapun, jangan pernah tega menyengsarakan hidupnya..." katanya lagi dan lagi dengan airmata yang membanjiri wajah tuanya. membuatku tak kuasa membendung luapan airmata dan aku pun ikut menangis terguguk di lantai itu juga.
"Ya Allah kabulkan doanya." teriakku dalam hati. jangan tega menyengsarakan aku sekarang, nanti dan selamanya, disini dan di sana. di dunia ini atau pun hari setelahnya.
Tangisku tumpah ruah. ku kutuki diri dan dosa-dosa yang cukup membuat Allah murka dan berkemungkinan membuatku sengsara. aku malu atas gunung-gunung dosa yang ku timbun tak habis-habisnya.
"Ya Allah, dan maafkan aku yang tak mengerti bagaimana berdoa pada-Mu. maafkan aku yang jika untuk keselamatan diriku sendiri harus ada orang lain yang memohonkan dengan linangan airmatanya. sesuatu yang bahkan tak ku ingat pernah ku lakukan."
"Dan terimakasih Ya Allah...Kau perkenalkan aku pada wanita ini yang berdoa untukku ribuan kali lebih baik dariku."
"Terimakasih untuk airmata kesungguhannya yang tak mungkin ku dapat dari orang-orang yang mengaku mencintaiku sekalipun."
"Terimakasih pulah telah Kau bawa aku kerumah ini. rumah yang aku yakini di mata malaikat-malaikat-MU lebih indah dari rumah bermarmer mewah namun peghuninya tak pandai mensyukuri nikmat-Mu."
"Terimakasih Ya Allah untuk sebuah pelajaran berharga."
Kisah nyata penulis di ambil dari buku Bidadari bumi 9 kisah wanita sholihah penulis Halimah Alaydrus
Lebaran pertamaku di perantauan, tanpa ketupat tanpa opor, tanpa sambal goreng kesukaan, tanpa kue-kue kering makanan khas lebaran. tanpa orang tua, tanpa saudara, tanpa teman-teman sepermainan. tanpa siapapun yang sebelumnya ku kenal kecuali kakak laki-lakiku yg memang bersamanya aku merantau kenegeri orang.
Dengan baju baru yang di belikan kakak semalam, aku berjalan keluar rumah sendirian. kakakku sudah lebih dulu keluar, ada acara Uwadh semacam open hause, silaturahmi antar ulama dan masyarakat.
"Khusus laki-laki" jawabnya ketika ku utarakan niatku ikut bersamanya. maka akupun berjalan sendirian. takbir Idul fitri sudah tidak lagi terdengar. karena selepas solat Ied pagi tadi masjid-masjid sudah berhenti mengumandangkan takbir. dari kejauhan nampak deretan pohon kurma yang sedang tidak berbuah. sekarang musim dingin dan pohon-pohon kurma baru akan berbuah pada musim panas. kabarnya musim panas padang pasir yang biasa di sebut samum itulah yang membuat masak buah kurma, pantas saja pohon kurma tak berbuah di negeri indonesia. angin di sana tidak panas malah sejuk menerpa wajah.
jalanan terlihat lenggang hanya sesekali saja ku lihat mobil-mobil pribadi yg mungkin membawa penumpangnya ber silaturrahmi saling berkunjung pada lebaran seperti ini.
Ku ketuk pintu rumah Ustadzah Zainab Alkhatib seorang Ustadzah dari Taiz, sebuah kota pertanian di daerah Yaman selatan yang kini menetap di Tarim dan mengajar di Daruz Zahro, Ma'had di mana aku bersekolah di sana. suaminya seorang Ustadz dan pengurus Darul Musthofa yayasan yang membawahi Darus Zahro. kebetulan kemarin saat berjumpa dengannya di masjid, sewaktu sama-sama sholat terawih terakhir, beliau mengajakku mungkin karena kasihan terhadap anak baru yang berlebaran sendirian berkunjung kebeberapa orang tua di negeri ini.
senyum Muhammad putra Ustadzah segera menyambutku kala ia membuka pintu.
"kamu halimah dari indonesia yah?" tanyanya dengan dialek arab yang fasih. usianya ku taksir sekitar 7 tahunan.
Aku mangangguk mengiyakan dan iapun segera berlari memberi tahu ibunya setelah sebelumnya mempersilahkan aku masuk dan duduk di ruang tamju. sebuah ruangan tanpa kursi khas negeri arab hanya bantal-bantal tebal tersusun sebagai sandaran.
tak lama ustadzah zainab menemuiku dengan sebaki nampan penuh makanan. ada berbagai jenis halawa, kacang-kacangan, gela dan secangkir teh ni'na minuman khas daerah ini.
Setelah berbasa-basi sebentar menanyakan keadaan dan aku menjawabnya dengan dengan bahasa arab ala kadarnya karena baru kurang lebih satu bulan aku tinggal di negeri ini, ustadzah zainab menerangkan padaku siapa yang akan kami kunjungi hari ini.
"kita biasa memanggilnya Hababah Tiflah katanya.
" Seoarng perempuan tua ahli ibadah yang lisannya tak pernah berhenti berdzikir. orang-orang biasanya memanggilnya dengan nama itu (dalam bahasa arab artinya bayi) mungkin beliau sampai di masa tuanya masih tetap seperti bayi, tak pernah menyakiti siapa pun."
Rumah itu sangat sederhana kalau tidak malah bisa di bilang papa. tak ada permadani tebal atau sandaran-sandaran empuk layaknya rumah yang lain pada umumnya. hanya karpet tipis yang mulai lapuk menutupi tanah tak bersemen di bawahnya. dindingnya hanya seperoh yang di cat. selebihnya berwarna cokelat asli tanah yang di laburkaan begitu saja. ada tumpukan bantal dan selimut usang di sudut ruang. kurasa di ruangan itu pula mereka biasa tidur dimalam hari. sungguh keadaan yang memprihatinkan. sangat tidak sesuai dengan raut wajah mereka yang menyambut kami kala masuk rumah tadi. senyum mereka begitu lepas tanpa beban, tawa ceria anak-anak kecilpun tetap terdengar, sambutan berupa pelukan di barengi ucapan ahlan wa sahlan terdengar berulang-ulang seolah-olah kami adalah kerabat dekat yang bertandang. sungguh...aku jadi betul-betul menyadari memang benar bahwa kebahagiaan tak selalu di ukur dengan materi.
Sekilar ku dengar Ustadzah Zainab memperkenalkan aku kepada keluarga itu sebelum akhirnya menarik tanganku menemui seorang wanita tua yang bersandar di sudut ruangan.
Wanita itu segera tersenyum demi menyadari keberadaan kami. aku berpikir ini pasti Hubabah Tiflah yang di ceritakan Ustadzah Zainab di rumahnya tadi. Usianya ku taksir di atas tujuh puluhan. kulitnya sawo matang berkeriput.
Dan Ya Allah..
Ternyata dia buta..
Pantas saja dia tidak ikut berdiri bersama yang lain kata menyambut kedatangan kami. aku perhatikan raut wajahnya. dia tidak cantik namun dari raut wajahnya terlihat seolah tak pernah ada beban atau masalah apapun dalam hidupnya. beliau betul-betul seperti bayi. aku diam di hadapannya, tak tahu harus berbuat apa. hingga tat kala ku lihat Ustadzah Zainab duduk dan mencium tangan wanita itu, akupun hanya mengikuti saja di belakangnya. dan sambil ku pegangi tangannya, aku memperkenalkan diri
"Halimah dari indonesia" kataku dengan lahjah yang ketara bukan orang arab tentunya.
Dia membalas memegang erat tanganku lama sekali hingga kurasa hangat tangannya menjalari tanganku. lalu dia meraba-raba wajahku dengan kedua tangannya. mungkin untuk mempermudah dirinya membayangi rupaku.
kemudian di letakkan tangan kanannya di dadaku, dan lalu ia mendoakanku. dia terus berdoa dan tak henti-hentinya berdoa untukku. seolah saat itu tak ada yang lebih penting baginya kecuali aku. perempuan asing yang bahkan baru ia kenal beberapa menit yang lalu. ia masih saja berdoa dengan satunkalimat yang sederhana. Ya, ia berdoa dengan satu kalimat saja. satu kalimat doa yang tak akan pernah ku lupa. apalagi tat kala kemudian diiringinya doa tersebut dengan linangan air mata. sungguh membuat aku terpana, lemas tak mampu bahkan untuk mengangkat tanganku mengaminkan doanya..
"Semoga Allah tak akan pernah tega menyengsarakanmu, anakku..." doa itu terus di ulangnya berkali-kali dengan cucuran airmata...
Ya Allah sampai kapanpun, dimanapun, jangan pernah tega menyengsarakan hidupnya..." katanya lagi dan lagi dengan airmata yang membanjiri wajah tuanya. membuatku tak kuasa membendung luapan airmata dan aku pun ikut menangis terguguk di lantai itu juga.
"Ya Allah kabulkan doanya." teriakku dalam hati. jangan tega menyengsarakan aku sekarang, nanti dan selamanya, disini dan di sana. di dunia ini atau pun hari setelahnya.
Tangisku tumpah ruah. ku kutuki diri dan dosa-dosa yang cukup membuat Allah murka dan berkemungkinan membuatku sengsara. aku malu atas gunung-gunung dosa yang ku timbun tak habis-habisnya.
"Ya Allah, dan maafkan aku yang tak mengerti bagaimana berdoa pada-Mu. maafkan aku yang jika untuk keselamatan diriku sendiri harus ada orang lain yang memohonkan dengan linangan airmatanya. sesuatu yang bahkan tak ku ingat pernah ku lakukan."
"Dan terimakasih Ya Allah...Kau perkenalkan aku pada wanita ini yang berdoa untukku ribuan kali lebih baik dariku."
"Terimakasih untuk airmata kesungguhannya yang tak mungkin ku dapat dari orang-orang yang mengaku mencintaiku sekalipun."
"Terimakasih pulah telah Kau bawa aku kerumah ini. rumah yang aku yakini di mata malaikat-malaikat-MU lebih indah dari rumah bermarmer mewah namun peghuninya tak pandai mensyukuri nikmat-Mu."
"Terimakasih Ya Allah untuk sebuah pelajaran berharga."
Kisah nyata penulis di ambil dari buku Bidadari bumi 9 kisah wanita sholihah penulis Halimah Alaydrus